- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Merindukan Surya
TS
riani14
Merindukan Surya
Quote:
Pagi ini, langit masih terlihat sama seperti kemarin. Kami masih kehilangan langit biru kami. Matahari yang dulu terlihat bersinar dengan gagahnya, kini redup lantaran asap yang menyelimuti kota kami sejak sebulan terakhir.
Tak seperti dulu, dulu kami bisa dengan bebas menghirup udara segar gratis pemberian dari Tuhan. Kini kemana – kemana kami harus mengenakan masker penutup hidung agar terhindar dari udara yang telah tercemar gas CO2, hasil dari pembakaran hutan besar – besaran ditahun ini.
Alih – alih membuka lahan baru, mereka dengan mudahnya membakar ribuan pohon yang butuh waktu bertahun – tahun untuk menghijaukan bumi. Kota kami tak lagi senyaman dulu, langit kami tak lagi seindah dulu.
Pikiranku selalu saja melayang jauh kearah sana, setiap aku membuka mata dan melihat keluar jendela, dan mendapati bahwa langit masih kelabu. Sama seperti kemarin. Aku rindu langit biru yang selalu menyapa setiap pagi, aku rindu sinar mentari yang selalu memberikan kehangatannya setiap pagi.
Dan aku rindu Surya, pria yang sukses menerobos masuk dan mengukir namanya tepat didasar hatiku sejak setahun lalu. Pria yang begitu mencintai semesta, pria yang kini sedang berusaha keras mengembalikan keindahan kota kami.
Sudah satu bulan sejak kabut asap ini terjadi, dan sudah satu bulan pula aku tidak bertemu dengannya karena ia sedang sibuk – sibuknya berorasi untuk menyelamatkan hutan kami yang bisa dibilang hampir musnah sebagian.
Bagiku Surya dan teman – temannya didalam komunitas MAPALA, laksana superhero untuk alam ini. Agak berlebihan memang, tapi begitulah penilaianku terhadapnya.
“ Tania...ngapain pagi – pagi berdiri didepan jendela kayak gitu? Udara nggak sesegar dulu lagi Tania.” Kedatangan Mama membuyarkan semua lamunanku pagi ini.
“ Iya, Ma. Langit kita seolah kehabisan warna birunya,” tuturku dengan senyum hambar, miris rasanya melihat alam semesta titipan Tuhan ini dirusak dengan begitu mudahnya oleh orang – orang yang tidak bertanggung jawab, yang hanya memikirkan kepentingan mereka sendiri.
“ Oh...iya, ada yang mau ketemu kamu,” kata mama dengan wajah serius.
“ Siapa, Ma?” tanyaku cepat, dan ingin tahu.
“ Kita keluar dan temuin dia,” ajak Mama, yang seolah memaksa otakku berfikir untuk menebak siapa yang ingin bertemu denganku pagi ini.
Setibanya diruang tamu, aku melihat Heru, sahabat terbaik Surya masih berdiri tepat diambang pintu. Tak seperti biasanya, pria bertubuh bongsor yang biasanya cerewet dan hyperaktif ini, tiba – tiba menjadi pendiam. Ia yang selalu datang kerumahku bersama Surya, kini datang seorang diri dengan wajah penuh kecemasan. Melihat Heru yang seperti ini, aku juga ikut – ikutan cemas.
“ Heru, ada apa? Tumben – tumbenan kamu datang kesini sendiri. Surya mana?” Tanyaku dengan rasa penasaran. Pikirku pasti telah terjadi sesuatu hingga Heru memutuskan datang kesini seorang diri.
" Sur...Surya...” Heru agak terbata – bata menjawab pertanyaan sederhana dariku.
Melihatnya yang seperti ini, aku semakin yakin telah terjadi sesuatu pada Surya. Rasa khawatir menyelimuti hatiku seketika.
“ Sur...Surya ada dirumah sakit, Tania. Dia koma.”
“ Sur...Surya...koma.” Mataku mulai berkaca – kaca, aku tak kuasa lagi menahan cairan hangat itu yang mendesak ingin keluar dari pelupuk mataku.
Aku mulai menangis. Tangisan kekhawatiran pada pria yang sangat aku cintai. Mama merangkulku dan mengusap – usap bahuku berusaha menenangkanku. Aku menangis dalam pelukan mama, berusaha mencari ketenangan di sana.
Heru bilang, Surya mengalami kecelakaan tunggal pagi ini, ia menabrak pembatas jalan. Heru sendiri menduga mungkin Surya kelelahan atau mengantuk hingga ia kehilangan kendali dalam mengendarai sepeda motornya.
Air mataku kian mengalir deras, melihat pria yang aku cintai kini terbaring tak berdaya diranjang rumah sakit. Duniaku seolah mengalami hal yang sama dengan langit hari ini, kelabu tanpa warna birunya, dan kusam tanpa sinar dari Suryanya.
Aku menghela nafas panjang, air mataku kian mengalir deras membasahi pipiku melihat keadaannya dengan segala macam peralatan rumah sakit yang terpasang ditubuhnya. Mulai dari infus, oksigen, dan lain sebagainya yang aku sendiri tidak tahu apa namanya.
Mama yang juga ikut bersamaku dan Heru ke rumah sakit, terus berusaha menenangkanku dengan tetap merangkulku. Disana juga sudah ada beberapa teman Surya dari anggota Mapala. Mereka terlihat sedih melihat ketua mereka terbaring lemah diranjang.
“ Sabar sayang, Surya pasti sembuh,” kata Mama berusaha membuatku tetap tegar.
Perlahan aku genggam erat jari jemari Surya, aku memilih duduk dikursi yang terletak disamping ranjangnya. Walau tak ada respon dari Surya, aku yakin Surya bisa merasakan kehadiranku disini.
“ Cepat sembuh bodoh,” ucapku pelan dengan linangan air mata. Bodoh, kata itu mungkin terdengar agak nyeleneh untuk disebut sebagai panggilan sayang. Tapi memang itulah panggilanku untuknya. Bukan karena Surya benaran bodoh, tidak ia justru lebih pintar dariku, hanya saja ia bodoh dalam hal romantis dengan pasangannya. Tapi justru itulah yang membuatku semakin menyayanginya.
“ Sebelum kecelakaan, Surya bilang setelah langit kembali biru dia punya kejutan buat kamu. Aku nggak tahu kejutan seperti apa. Tapi aku yakin itu special buat kamu, karena dia udah nyiapin dari jauh – jauh hari.” Ungkap Heru yang membuatku semakin tak sanggup berkata – kata. Surya, ditengah kesibukannya ia masih sempat memikirkan kejutan untukku.
Tapi kejutan untuk momen apa yang dia persiapkan? Hari ulang tahunku? Nggak mungkin karena hari ulang tahunku masih beberapa bulan lagi. Sudahlah, aku tak ingin terlalu memikirkan kejutan seperti apa yang dia persiapkan, aku hanya mau dia sembuh. Aku hanya mau Suryaku kembali bersinar.
Satu minggu sudah Surya dirawat, tapi belum ada tanda – tanda Surya akan siuman dari komanya. Aku selalu berusaha meluangkan waktuku setiap hari untuk datang menjenguk Surya. Malah waktuku lebih banyak aku habiskan di rumah sakit ketimbang di rumahku sendiri. Bersama tante Murni, mamanya Surya. Aku selalu berusaha memantau perkembangan kesehatan Surya. Tapi hingga kini belum ada tanda – tanda Surya akan siuman.
Selama Surya belum sadar, selama itu pula duniaku terasa kelabu. Begitu pula dengan langit yang sudah dua bulan masih diselimuti kabut asap, malah semakin hari semakin parah. Kabut asap itu semakin tebal, seolah tak mau beranjak dari kota kami. Kabut asap itu semakin mencemari udara bersih kami. Dan sang Surya seolah kehilangan warna oranyenya, sinarnya kelabu terhalang oleh asap yang membuat mata perih.
Kadang aku berpikir, apa harus dengan membakar hutan mereka membuka lahan? Apa tidak ada cara lain yang tetap bisa membuat alam ini indah? Kenapa mereka hanya mementingkan keuntungan pribadi mereka? Kenapa mereka tidak bisa menjaga alam pemberian Tuhan ini? Sesulit itukah mereka berterima kasih atas anugerah yang sudah diberikan Tuhan pada bumi ini? Hingga mereka dengan tak beradabnya membakar hutan – hutan yang menjadi paru – paru dunia.
Apa yang akan terjadi pada bumi, apa yang akan terjadi pada langit dan daratan, jika kebakaran hutan selalu saja terjadi, dan memusnahkan berhektar – hektar area hijau dibumi setiap tahunnya. Global warming akan semakin parah, lapisan ozon kian menipis, gunung es mencair, air laut semakin naik, dan daratan semakin mengecil.
Jika ini terus saja dibiarkan bukan tidak mungkin, kita akan kehilangan daratan. Bukan tidak mungkin sepanjang mata memandang hanya akan ada hamparan air tak bertepi.
“ Tania...,” panggilan Tante Murni menyadarkanku dari lamunanku. “ Lagi ngelamunin apa? Dari tadi tante panggil – panggil nggak direspon.”
“ Maaf tante. Aku cuman lagi mikir kenapa kabut asap ini belum mau pergi dari kota kita? Apa nggak ada lagi yang peduli dengan peristiwa ini, selain Surya dan teman - temannya? Apa keberadaan hutan sebagai paru – paru dunia udah nggak penting lagi buat mereka? Mau sampai kapan langit kita terus – terusan abu – abu kayak gini?”
“ Kamu tahu sayang, kadang ada beberapa orang yang peduli bahkan mungkin banyak yang punya kepedulian seperti Surya dan teman - temannya. Hanya saja mereka bingung apa yang harus mereka lakukan. Kalian yang tahu apa yang harus dilakukan, maka kalianlah yang berkewajiban membantu mereka.”
Jawaban tante Murni terdengar sangat bijak. Sekarang aku tahu, ternyata kebijaksanaan yang dimiliki Surya, ia dapat dari mamanya.
“ Pola pikir kamu sama persis kayak Surya.” Tante Murni membelai lembut rambut panjangku dengan tersenyum.
Aku tahu itu senyuman paling hambar yang pernah aku lihat dari tante Murni. Hanya bibirnya yang tampak tersenyum bahagia, tapi hatinya tidak sama sekali. Aku tahu betul tante Murni sangat mengkhawatirkan keadaan Surya. Semenjak papa Surya meninggal setahun lalu, satu – satunya keluarga yang dimiliki tante Murni hanya Surya.
“ Aku kangen langit biru kita, tante. Aku rindu sang surya yang selalu bersinar cerah mendampingi mega dilangit. Dan aku juga rindu Surya yang ada dihadapanku sekarang.”
Mataku kembali berkaca – kaca, tak sanggup rasanya melihat keadaan Surya yang hingga kini masih belum siuman dari komanya.
" Tania...” Kedatangan Heru secara mendadak dan tiba – tiba membuatku dan tante Murni agak kaget.
“ Heru, kebiasaan deh. Ucapin salam dulu kek,” protesku dengan merengut kesal.
“ Maaf...maaf...aku terlalu bersemangat aja, Tania.”
“ Ada apa emangnya?”
“ Aku nemuin sesuatu dalam tas Surya yang dia pakai dihari kecelakaan itu.”
“ Kamu nemuin apa?” tanyaku dengan rasa penasaran.
“ Tunggu sebentar”
Aku hanya diam memperhatikan Heru yang sedang mencari barang yang ia maksud dari dalam tas Surya.
“ Ini barang yang mungkin bisa membantu kita menyelamatkan langit kita." Heru memberikan sebuah kepingan VCD padaku.
Alisku bertaut. Sebenarnya aku masih tak mengerti sepenting apa VCD ini untuk keselamatan alam. Tanpa banyak bicara Heru mengambil kembali kepingan VCD dari tanganku. Dan kemudian memutar VCD lewat laptopnya. Dari layar komputernya, aku dan tante Murni melihat sebuah rekaman video bagaimana kebakaran hutan bisa menghancurkan segalanya. Didalam rekaman itu, ada seorang anak kecil berumur sekitar 5 tahunan, yang harus kehilangan kedua orang tuanya akibat terjebak dalam kebakaran hutan. Miris memang, seorang anak kecil harus hidup sebatang kara diusianya yang masih teramat muda.
Tanpa sadar, air mataku tumpah membanjiri kedua kelopak mataku. Iba melihat bocah lugu, yang masih tak mengerti dengan semua situasi ini, tapi malah harus mendapat dampak buruk dari semua yang terjadi. Aku juga ingin tahu, di mana Surya menemukannya. Aku juga ingin tahu ada dimana bocah itu sekarang. Mungkin hanya Surya yang sanggup menjawab setiap pertanyaanku.
“ Dengan video ini, kita bisa membuat semua orang mengerti kalau hutan bukan hanya sebagai aksesoris alam. Tapi lebih dari itu,” papar Heru dengan penuh semangat.
“ Aku yakin Surya pasti berniat untuk mempublikasikan video ini. Kita harus melanjutkannya, Tania.”
“ Ya, kamu benar.” Aku mengangguk pelan. Aku berjalan mendekati ranjang tidur Surya, “ Bahkan dalam ketidakberdayaan kamu sekarangpun, kamu masih bisa memberi titik cerah itu kepada kami. Cepat sadar ya, sinar Surya diluar sana nggak lama lagi akan kembali. Kamu juga jangan mau kalah donk,” ucapku pada Surya, seolah memberikannya sugesti agar segera siuman.
***
Langit terlihat mendung pagi ini. Angin juga terasa dingin menyentuh kulit. Apa ini pertanda akan turun hujan? Entahlah, karena semenjak asap dengan angkuhnya menghiasi cakrawala, kami tak ingat lagi kapan terakhir hujan turun dibumi khatulistiwa ini, dan kami juga tak bisa lagi membedakan mendung pertanda hujan atau ini hanya mendung karena kabut asap yang semakin menebal.
“ Semoga saja hari ini hujan ya, Tan.” Mama menghampiriku diteras, yang kini sedang mengikat tali sepatuku, bersiap – siap berangkat kerumah sakit.
“ Iya Ma, mudah – mudahan aja. Seenggaknya bisa menghilangkan sedikit polusi kabut asap ini,” jawabku penuh harap.
Video yang kami posting lewat jejaring sosial, sedikit banyak memberi dampak baik. Kebakaran sudah tak terjadi lagi, titik api juga sudah berhasil dipadamkan. Tapi asapnya masih menyelimuti kota kami, hujan menjadi satu – satunya harapan terakhir kami untuk mendapatkan langit biru kami kembali. Pemerintah sendiri juga sudah melakukan upaya dengan membuat hujan buatan, tapi itu masih belum cukup tangguh untuk menaklukkan asap ini.
Tiba – tiba ponselku berdering, dari layar ponsel tertera jelas nama Heru disana. Aku segera menjawab teleponnya, pikirku ini pasti ada hubungannya dengan kondisi Surya, yang hingga kini masih belum siuman.
Tania...keadaan Surya kembali kritis. Kamu harus kesini sekarang.Suara Heru dari ujung telepon terdengar sangat panik.
“ Iya…iya….aku on the way sekarang.”
Aku bergegas berangkat kerumah sakit dengan skuterku, setelah berpamitan dengan mama. Rinai hujan perlahan tapi pasti mulai membasahi setiap jengkal jalanan yang aku lewati. Tak kupedulikan lagi hujan yang kian lama, kian deras membasahi bumi. Yang ada dipikiranku sekarang hanya tentang keadaan Surya. Hanya Surya.
Aku tiba dirumah sakit dalam keadaan basah kuyup. Baru saja aku menginjakkan kakiku di lobby rumah sakit, aku sudah dibuat tercengang dengan apa yang kudapati dihadapanku. Dua orang perawat mendorong brankar rumah sakit dengan pasien yang tubuhnya telah diselimuti kain putih. Kakiku nyaris tak sanggup lagi menopang tubuhku, saat kulihat tante Murni dan Heru berjalan beriringan dengan mereka. Tidak. Ini pasti mimpi.
“ Tante, mana Surya??” tanyaku dengan mata yang mulai berkaca – kaca, saat kudapati tante Murni dalam linangan air mata. Aku semakin mengkhawatirkan keadaan Surya.
“ Tania...” Tante Murni memelukku dengan sesenggukan.
“ Tante, Surya baik – baik ajakan?” tanyaku pelan. Air mata mulai tumpah membasahi kedua pipiku.
“ Tania, sebelum jenazah Surya dibawa pulang. Ada baiknya kamu lihat dulu keadaannya.” Heru mulai angkat suara.
“ Jenazah? Nggak. Surya baik – baik aja, Her. Dia itu nggak selemah ini.”
Tingkahku mungkin sudah terlihat aneh dimata pengunjung rumah sakit. Aku berlari mendekati brankarnya yang akan dimasukkan ke dalam mobil ambulance.
“ Berhenti!!” seruku dengan mata nanar, hingga kedua orang perawat tadi mengurungkan niatnya.
Aku membuka selimut yang menutupi Surya. Kudapati wajah pucatnya tampak tak bersinar lagi. Hujan deras kini turut membasahi tubuhnya. Air mataku kian deras mengalir membasahi pipiku beriringan dengan hujan yang turun. Aku tak ingin jadi seperti langit yang harus kehilangan Suryanya. Aku ingin Suryaku kembali.
“ Bangun bodoh...kamu bilang kamu punya kejutan buat aku setelah langit kita kembali mendapatkan warna birunya.”
Aku memeluk jenazahnya dengan deraian air mata yang tak bisa aku kendalikan lagi. Sementara itu tante Murni, Heru, dan semua orang yang ada disekitarku hanya diam jadi penonton. Mereka pasti mengira aku telah kehilangan akal.
“ Kamu nggak boleh pergi! Surya…aku minta kamu bangun sekarang. Bercanda kamu nggak lucu.”
Aku terus mengisak, hatiku masih tak terima kalau aku telah benar – benar kehilangan Surya yang aku rindukan. Pandanganku mulai gelap, kakiku sudah tak sanggup lagi menopang tubuhku. Kepergian Surya benar – benar membuatku seperti dihantam balok besar. Sakit dan membekas disudut hati. Hujan yang kian deras seolah turut merasakan kesedihanku dan orang – orang terdekat Surya.
***
Satu minggu setelah hari itu, perasaanku masih tetap sama. Kehadirannya seolah masih bisa aku rasakan. Aku melihat pria itu masih berdiri tepat diambang pintu rumahku dan tersenyum ke arahku. Pria berkulit putih, berhidung bangir dan punya senyum termanis itu kini ada dihadapanku.
“ Surya!!!” seruku dan berjalan mendekat ke arahnya. “ Aku kangen kamu, bodoh.” Mataku kembali terasa hangat, air mata ini kembali membanjiri sudut mataku.
“ Aku juga kangen kamu.” Ucapnya dengan tetap tersenyum. “ Kamu nggak boleh sedih, aku akan baik – baik aja, selama kamu bahagia disini.” Dengan lembut ia menyeka air mataku. Bisa kurasakan tangannya yang dingin menyentuh kulitku.
“ Aku cuma mau kamu tetap disini. Seperti dulu.”
Surya menggelengkan kepalanya, “ Nggak bisa, Tania. Ini waktunya aku harus pergi. Kamu baik – baik ya disini.” Surya tersenyum ke arahku.
Hingga perlahan bayangannya menghilang dari pandanganku. Aku terbangun dari tidurku, dan menyadari kalau kehadirannya tadi tidak nyata. Ia hanya datang mengisi alam bawah sadarku untuk menghiburku akan kesedihanku yang telah kehilangannya. Aku beranjak bangun dari kasurku yang empuk, dan berjalan mendekati jendela. Langit telah mendapatkan Suryanya kembali, seperti harapan semua orang ia dengan gagahnya bersinar mendampingi mega dilangit. Kini aku bisa lmenghirup udara segar lagi tanpa harus takut terserang ISPA atau semacamnya.
Senyumku mengembang mendapati langit telah cerah kembali, walau ada sedikit kepalsuan disana. Duka itu masih terasa hingga kini, tapi aku tetap harus mengikhlaskan kepergiannya. Karena aku yakin Surya juga menginginkan hal yang sama.
“ Kakak…,” sapaan seorang bocah lucu membuyarkan lamunanku. Tangan mungilnya meraih jemariku.
“ Bintang…,” sahutku dengan tersenyum.
Dialah anak kecil yang ada dalam video Surya. Berkat bantuan teman – teman Surya, kami berhasil menemukan keberadaannya. Kini Bintang telah mendapatkan keluarga baru, ia diangkat oleh tante Murni. Kehadiran bocah lucu nan menggemaskan ini seolah mengakhiri duka kami akan kepergian Surya.
Seperti Surya, ia juga turut memberikan kehangatan pada kehidupan kami. Mungkin Bintang adalah kejutan yang Surya janjikan.
Terima kasih, Surya. Aku akan tetap merindukanmu!!.
( END )
Diubah oleh riani14 13-01-2019 09:22
anasabila memberi reputasi
3
1.2K
Kutip
6
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan