bocahlugu14Avatar border
TS
bocahlugu14
Siapa yang Bertanggungjawab atas Defisit BPJS?





Kesehatan merupakan salah satu aspek penting bagi kehidupan. Bila sistem kesehatan di suatu negara tidak diperhatikan, jangan berharap negara itu akan maju dari negara berkembang. Hal ini yang menjadikan kesehatan begitu diperhatikan di berbagai negara. Indonesia, salah satunya, sedang berusaha membangun sistem kesehatan yang bisa terjangkau oleh seluruh rakyat. Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) untuk memenuhi kebutuhan dasar kesehatan masyarakat berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang SJSN. Berdasarkan UU No. 40 Tahun 2004 tersebut, SJSN diselenggarakan dalam bentuk asuransi kesehatan sosial yang bersifat wajib. BPJS Kesehatan dibentuk pemerintah dengan tujuan untuk memberikan Jaminan Kesehatan untuk Masyarakat dan seluruh warga negara Indonesia secara bertahap. Peserta BPJS adalah setiap orang yang telah membayar iuran. Pada dasarnya, semua orang bisa menjadi peserta BPJS, dengan membayar iuran. Berikut adalah jumlah Iuran bagi kerabat lain dari pekerja penerima upah dan peserta pekerja bukan penerima upah serta iuran peserta bukan pekerja adalah. Sebesar Rp. 25.500,- (dua puluh lima ribu lima ratus rupiah) per orang per bulan dengan manfaat pelayanan di ruang perawatan Kelas III. Sebesar Rp. 51.000,- (lima puluh satu ribu rupiah) per orang per bulan dengan manfaat pelayanan di ruang perawatan Kelas II. Sebesar Rp. 80.000,- (delapan puluh ribu rupiah) per orang per bulan dengan manfaat pelayanan di ruang perawatan Kelas I. dengan membayar iuran tersebut, para peserta dapat mendapatkan seluruh jaminan dan manfaat layanan kesehatan yang ditawarkan BPJS kesehatan. Berbicara mengenai jaminan sosial untuk masyarakat, kita semua tahu bahwa di Indonesia, rakyat begitu heterogen dengan tingkat ekonomi yang berbeda-beda, dan kesenjangan yang cukup tinggi. Oleh karena itu, kepesertaan BPJS dibagi menjadi Penerima Bantuan Iuran (PBI), Pekerja Penerima Upah (PPU), Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) atau Peserta Mandiri, dan Bukan Pekerja. Namun selama beroperasi BPJS Kesehatan mengalami defisit anggaran yang besar dan dikhawatirkan akan berdampak pada pelayanan kesehatan masyarakat. Meski demikian, pemerintah juga terus mencari berbagai cara untuk menyelamatkan keuangan lembaga ini, mulai dari suntikan dana hingga perbaikan sistem manajemen. Tahun lalu defisit BPJS Kesehatan mencapai Rp 10,4 triliun. Tahun ini defisit itu membengkak hingga Rp 16,5 triliun. Padahal, September lalu, pemerintah telah memberikan tambahan dana kepada BPJS Kesehatan sebesar Rp 4,9 triliun. Dana bantuan pemerintah ini memang tidak cukup menambal defisit. Masih ada triliunan rupiah lagi utang yang harus dibayarkan BPJS Kesehatan kepada fasilitas kesehatan seperti rumah sakit. Belum lagi utang kepada perusahaan farmasi yang hingga Juli lalu tercatat Rp 3,5 triliun. Kondisi ini membuat BPJS Kesehatan dianggap tidak mampu mengelola keuangan lembaganya. Padahal, BPJS dan Kemenkes telah berkomitmen untuk segera melakukan beberapa langkah perbaikan. Terdapat beberapa penyebab defisit BPJS Kesehatan yang merupakan warisan sejak sistem ini dibentuk. Akar persoalannya yaitu defisit iuran peserta BPJS Kesehatan yang terlalu rendah (underpriced), yang tidak sepadan dengan rata-rata biaya klaim per orang per bulan. Pada 2016, rata-rata premi Rp 33.776 per bulan, sedangkan rata-rata biaya Rp 35.802 per bulan. Tahun lalu, rata-rata premi Rp 34.119 per bulan, sedangkan rata-rata biaya Rp 39.774 per bulan. Jadi, tiap bulan pada 2016 terdapat selisih Rp 2.026 dan meningkat dua kali lipat setahun kemudian menjadi Rp 5.625. Masalah lainnya adalah tingginya tunggakan peserta, tingginya rujukan ke rumah sakit dan kurangnya pengawasan dari manajemen BPJS Kesehatan. Di samping itu juga adanya digaan fraud (kecurangan) oleh oknum rumah sakit. Mereka diduga menggelembungkan (mark up) biaya pelayanan rumah sakit dan menggandakan klaim peserta BPJS. Hal ini menyebabkan tagihan kepada BPJS Kesehatan membengkak dan membuat defisit anggaran hingga triliunan rupiah. Sebenarnya hal yang dibutuhkan dalam mengatasi defisit ini adalah  hanya dengan adanya kontribusi seluruh lapisan masyarakat, tujuannya agar BPJS tetap pada tujuan awal untuk menjamin kehidupan sosial yang layak bagi setiap orang. Tetapi, apakah bisa tujuan ini tercapai tanpa kontribusi dari semua golongan? Hal inilah yang seringkali terlupakan karena BPJS yang dicap kurang bagus. Padahal bila kita masih belum membuka mata. Jadi, salah siapa? Mungkin saat bertanya seperti itu, tidak pernah terbesit bahwa diri kita merupakan salah satu orang yang “bersalah” dalam masalah ini. Kita cenderung melihat keluar, dan ke atas (pemerintah). Padahal, sebenarnya kita juga punya tanggung jawab akan hal itu. Yang ingin saya tekankan di sini sebenarnya adalah bukan siapa yang salah, namun, sadarkah diri kita bahwa kita juga memiliki peran?
0
484
0
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan