- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Sri Mulyani Diminta Jelaskan Subsidi Energi yang Bengkak


TS
sukhoivsf22
Sri Mulyani Diminta Jelaskan Subsidi Energi yang Bengkak
Sabtu, 05 Jan 2019 20:08 WIB
Fadhly Fauzi Rachman -
detikFinance

Menteri Keuangan Sri Mulyani
Indrawati/Foto: Eduardo
Simorangkir
Jakarta - Pengamat Ekonomi
Fuad Bawazier memberi
sejumlah catatan untuk Menteri
Keuangan Sri Mulyani
Indrawati atas laporan kinerja
dan realisasi APBN 2018. Dalam
catatannya, Fuad juga menyoroti
tentang belanja negara.
Khusus untuk belanja negara,
Fuad mengungkapkan, Sri
Mulyani perlu memberi
penjelasan yang mendalam
terkait pembayaran bunga
utang pemerintah yang bengkak
hingga 8,2% dari target APBN.
"Realisasi pembayaran bunga
utang Rp 258,1 triliun sedangkan
anggarannya Rp 238,6 triliun
atau kenaikan sebesar Rp 19,5
triliun (8,2%). Tentu perlu
penjelasan sebab utang adalah
issue yang sensitif," kata Fuad
dalam catatannya seperti
dikutip detikFinance, Sabtu
(5/1/2018).
Kemudian Fuad juga meminta
agar anggaran subsidi energi,
khususnya BBM dan Elpiji yang
jebol hingga 207% dari yang
dialokasikan APBN atau
mencapai Rp 97 triliun tersebut
bisa dihitung kembali.
"Apakah subsidi Rp 97 triliun itu
sudah angka accrual (total
beban 2018) atau baru
berdasarkan cash basis (jumlah
subsidi yang benar benar sudah
dibayarkan kepada Pertamina).
Bila masih ada tunggakan
subsidi BBM & LPG 2018 yang
belum dibayarkan di atas Rp 97
triliun itu berarti total subsidinya
melebihi angka Rp 97 triliun,"
paparnya.
Bila demikian, kata Fuad, maka
kekurangannya seharusnya
tetap diperhitungkan sebagai
beban anggaran 2018. Itu
artinya, defisit anggaran juga
lebih besar dari yang dilaporkan.
"Praktik-praktik licik akuntansi
APBN yang dikenal dengan
istilah window dressing ini harus
diungkapkan secara full
disclosure baik oleh Menkeu
maupun BPK kepada DPR,"
ungkap pria yang pernah
menjabat sebagai Menteri
Keuangan tersebut.
Fuad juga mengatakan, hal itu
juga berlaku untuk subsidi listrik
pada APBN yang dialokasikan
sebesar Rp 47,7 triliun. Namun,
kata Fuad, apakah realisasi
subsidi listrik mencapai Rp 56,5
triliun telah benar-benar meliputi
seluruh subsidi listrik 2018 baik
yang sudah dibayarkan kepada
PLN maupun yang belum
dibayarkan (tunggakan) kepada
PLN.
"Bila masih ada tunggakan
subsidi listrik kepada PLN di
atas angka Rp 56,5 triliun itu
berarti menambah defisit
anggaran (defisit APBN) 2018.
Ini juga perlu diklarifikasi
mengingat sering terjadi
inkonsistensi dalam pelaporan
APBN," jelasnya.
Yang terakhir, tambah Fuad, soal
jumlah utang utang BUMN yang
dijamin negara. Menurutnya,
pemerintah perlu melaporkan
secara rinci besarnya
contingent liability ini sebagai
catatan kaki. Catatan ini, kata
Fuad, penting karena bila BUMN
gagal memenuhi kewajibannya,
maka beban itu akan beralih ke
negara.
"Pemerintah juga tidak bisa
berdalih bahwa jaminan itu demi
pembangunan infrastruktur
sebab infrastruktur itu
seharusnya adalah public goods
yang dibangun oleh negara dan
digunakan oleh publik secara
cuma cuma (gratis) seperti jalan
umum, jembatan, irigasi,
bandara dan lain-lain. Tetapi bila
diubah menjadi private goods/
commercial goods seperti jalan-
jalan tol yang mahal, itu adalah
bisnis biasa," tuturnya.
(fdl/ara)
https://m.detik.com/finance/berita-e...i-yang-bengkak
Fadhly Fauzi Rachman -
detikFinance

Menteri Keuangan Sri Mulyani
Indrawati/Foto: Eduardo
Simorangkir
Jakarta - Pengamat Ekonomi
Fuad Bawazier memberi
sejumlah catatan untuk Menteri
Keuangan Sri Mulyani
Indrawati atas laporan kinerja
dan realisasi APBN 2018. Dalam
catatannya, Fuad juga menyoroti
tentang belanja negara.
Khusus untuk belanja negara,
Fuad mengungkapkan, Sri
Mulyani perlu memberi
penjelasan yang mendalam
terkait pembayaran bunga
utang pemerintah yang bengkak
hingga 8,2% dari target APBN.
"Realisasi pembayaran bunga
utang Rp 258,1 triliun sedangkan
anggarannya Rp 238,6 triliun
atau kenaikan sebesar Rp 19,5
triliun (8,2%). Tentu perlu
penjelasan sebab utang adalah
issue yang sensitif," kata Fuad
dalam catatannya seperti
dikutip detikFinance, Sabtu
(5/1/2018).
Kemudian Fuad juga meminta
agar anggaran subsidi energi,
khususnya BBM dan Elpiji yang
jebol hingga 207% dari yang
dialokasikan APBN atau
mencapai Rp 97 triliun tersebut
bisa dihitung kembali.
"Apakah subsidi Rp 97 triliun itu
sudah angka accrual (total
beban 2018) atau baru
berdasarkan cash basis (jumlah
subsidi yang benar benar sudah
dibayarkan kepada Pertamina).
Bila masih ada tunggakan
subsidi BBM & LPG 2018 yang
belum dibayarkan di atas Rp 97
triliun itu berarti total subsidinya
melebihi angka Rp 97 triliun,"
paparnya.
Bila demikian, kata Fuad, maka
kekurangannya seharusnya
tetap diperhitungkan sebagai
beban anggaran 2018. Itu
artinya, defisit anggaran juga
lebih besar dari yang dilaporkan.
"Praktik-praktik licik akuntansi
APBN yang dikenal dengan
istilah window dressing ini harus
diungkapkan secara full
disclosure baik oleh Menkeu
maupun BPK kepada DPR,"
ungkap pria yang pernah
menjabat sebagai Menteri
Keuangan tersebut.
Fuad juga mengatakan, hal itu
juga berlaku untuk subsidi listrik
pada APBN yang dialokasikan
sebesar Rp 47,7 triliun. Namun,
kata Fuad, apakah realisasi
subsidi listrik mencapai Rp 56,5
triliun telah benar-benar meliputi
seluruh subsidi listrik 2018 baik
yang sudah dibayarkan kepada
PLN maupun yang belum
dibayarkan (tunggakan) kepada
PLN.
"Bila masih ada tunggakan
subsidi listrik kepada PLN di
atas angka Rp 56,5 triliun itu
berarti menambah defisit
anggaran (defisit APBN) 2018.
Ini juga perlu diklarifikasi
mengingat sering terjadi
inkonsistensi dalam pelaporan
APBN," jelasnya.
Yang terakhir, tambah Fuad, soal
jumlah utang utang BUMN yang
dijamin negara. Menurutnya,
pemerintah perlu melaporkan
secara rinci besarnya
contingent liability ini sebagai
catatan kaki. Catatan ini, kata
Fuad, penting karena bila BUMN
gagal memenuhi kewajibannya,
maka beban itu akan beralih ke
negara.
"Pemerintah juga tidak bisa
berdalih bahwa jaminan itu demi
pembangunan infrastruktur
sebab infrastruktur itu
seharusnya adalah public goods
yang dibangun oleh negara dan
digunakan oleh publik secara
cuma cuma (gratis) seperti jalan
umum, jembatan, irigasi,
bandara dan lain-lain. Tetapi bila
diubah menjadi private goods/
commercial goods seperti jalan-
jalan tol yang mahal, itu adalah
bisnis biasa," tuturnya.
(fdl/ara)
https://m.detik.com/finance/berita-e...i-yang-bengkak
0
1.6K
10


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan