- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Iress Tolak Revisi PP 23/2010 - DINILAI MELANGGAR UU MINERBA


TS
sukhoivsf22
Iress Tolak Revisi PP 23/2010 - DINILAI MELANGGAR UU MINERBA
Oleh: Firdaus Baderi Rabu,
19/12/2018
Jakarta-Indonesian Resources
Studies (Iress) menolak
rencana pemerintah kembali
merevisi Peraturan Pemerintah
(PP) Nomor 23 Tahun 2010
tentang Pelaksanaan Kegiatan
UsahaPertambangan Mineral
dan Batu bara. Pasalnya, revisi
tersebut bertentangan
dengan undang-undang.
NERACA
Sebelumnya, Kementerian
akan mengatur mekanisme
perubahan Perjanjian Karya
Pengusahaan Pertambangan
Batu bara (PKP2B) menjadi Izin
Usaha Produksi Khusus (IUPK).
Selain itu, Kementerian ESDM
juga mengusulkan pemegang
PKP2B bisa mengajukan
perpanjangan kontrak lima
tahun sebelum masa berlaku
kontrak berakhir.
Pelaksanaan kegiatan usaha
pertambangan diatur dalam PP
Nomor 23 Tahun 2010. Dalam
perjalanannya, PP 23/2010
telah direvisi sebanyak lima
kali. Terakhir, revisi dilakukan
dengan menerbitkan PP
Nomor 8 Tahun 2018 tentang
Perubahan Kelima PP 23/2010.
Menurut Direktur Eksekutif
Iress Marwan Batubara, sejak
awal PP 23/2010 telah
melanggar Undang-undang
Dasar 1945 dan Undang-
undang (UU) Nomor 4 Tahun
2009 Mineral dan Batu bara.
Pasalnya, menurut Marwan,
PP23/2010 hingga revisi
terakhirnya masih
mengutamakan kepentingan
kontraktor untuk
mempertahankan dominasi
pengelolaan tambang di
Indonesia.
Faktanya, sesuai UUD 1945, UU
Nomor 30/2007 dan UU 4/2009,
sumber daya energi maupun
sumber daya minerba diatur
oleh negara dan dimanfaatkan
untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat. "Kami
mengingatkan draf PP itu
melanggar UU, oleh sebab itu
dalam makalah lress minta
revisi PP dibatalkan dan
konsisten dengan regulasi
sebelumnya, kalau kontrak
berakhir bisa dikembalikan ke
negara," ujar Marwan dalam
sebuah acara diskusi di
Jakarta, pekan ini.
Dari draf revisi keenam
PP23/2010, Marwan
menemukan pasal yang
bertentangan dengan Pasal
83, Pasal 169, dan Pasal 171
UU Nomor 4/2009. Dalam hal
ini, Pasal 83 UU 4/2009
membatasi luas maksimal IUPK
Operasi Produksi hanya 15 ribu
hektare. Sementara itu, draf
revisi tersebut memungkinkan
untuk melebihi ketentuan
tersebut.
Usai berakhirnya KK atau
PKP2B, pemerintah memiliki
wewenang penuh untuk tidak
memperpanjang kontrak.
Seluruh wilayah kerja tambang
yang tadinya dikelola
kontraktor harus dikembalikan
kepada negara.
Setelah itu, status WK diubah
menjadi Wilayah Pencadangan
Negara (WPN). Pengelolaan
lebih lanjut atas WPN diproses
melalui tender dan
persetujuan DPR dengan
menawarkan terlebih dahulu
kepada Badan Usaha Milik
Negara (BUMN).
Pemegang kontrak KK dan
PKP2B tidak mempunyai hak
untuk memperoleh
perpanjangan usaha
pertambangan secara
otomatis saat kontrak berakhir
meski bentu kerja samanya
berubah menjadi IUPK.
Misalnya untuk batu bara,
setelah menjadi WPN,
pengelolaan tambang dapat
diserahkan kepada BUMN.
Dengan demikian, ketahanan
energi negara lebih terjamin
mengingat pasokan energi
batu bara untuk
ketenagalistristrikan lebih
terjamin, bertarif khusus
berkelanjutan dan bebas dari
potensi penyelewengan.
Marwan menilai rencana revisi
PP 23/2010 diduga bertujuan
untuk mengakomodasi
perpanjangan pengelolaan
operasi sejumlah tambang
besar batu bara oleh
pengusaha PKP2B generasi
pertama yang masa
kontraknya akan segera
berakhir. Dalam hal ini,
perpanjangan pengelolaan
dilakukan dengan penerbitan
IUPK yang berlaku hingga dua
puluh tahun.
Sebagai catatan, perusahaan
yang merupakan pemegang
PKP2B generasi pertama, di
antaranya PT Tanito Harum
yang masa kontraknya habis
pada 2019, PT Arutmin
Indonesia (2020), PT Kaltim
Prima Coal (2021), PT BHP
Kendilo Coal Indonesia (2021),
PT Adaro Energy (2022), PT
Multi Harapan Utama (2022),
PT Kideco Jaya Agung (2023),
PT Berau Coal (2025).
Marwan meyakini rente yang
terkumpul dan dan beredar
untuk memuluskan rencana
perubahan PP 23/2010 dapat
dimanfaatkan oleh oknum
penguasa sebagai sumber
logistik untuk memenangkan
Pemilu dan Pilpres 2019.
Abai Kepentingan Publik
Dia menjelaskan bahwa Pasal 3
UU No.30/2007 tentang Energi
menyatakan; pengelolaan
energi dilakukan guna
mendukung pembangunan
nasional berkelanjutan dan
meningkatkan ketahanan
energi nasional, dengan tujuan
antara lain untuk pencapaian
kemandirian pengelolaan
energi, terjaminnya
ketersediaan energi,
pemenuhan kebutuhan energi
dalam negeri, pemenuhan
kebutuhan bahan baku industri
dalam negeri, peningkatan
devisa negara, terjaminnya
pengelolaan sumber daya
energi secara optimal,
terpadu, dan berkelanjutan,
terciptanya lapangan kerja, dan
terjaganya kelestarian fungsi
lingkungan hidup.
Kemudian dalam Pasal 2 UU
No.4/2009 tentang
Pertambangan Minerba telah
ditetapkan tujuan pengelolaan
minerba antara lain untuk; a)
menjamin efektivitas
pelaksanaan dan pengendalian
kegiatan usaha pertambangan
secara berdaya guna, berhasil
guna, dan berdaya saing, b)
menjamin manfaat
pertambangan secara
berkelanjutan dan berwawasan
lingkungan hidup, c) menjamin
tersedianya minerba sebagai
bahan baku dan/atau sebagai
sumber energi dalam negeri,
dan meningkatkan pendapatan
masyarakat lokal, daerah, dan
negara, serta menciptakan
lapangan kerja untuk sebesar-
besar kesejahteraan rakyat.
Guna mencapai tujuan-tujuan
ketentuan Pasal 3 UU
No.30/2007 dan Pasal 2 UU
No.4/2009 kata Marwan, maka
diatur tentang dominasi
negara atas kekayaan alam
yang dimiliki sesuai Pasal 4 UU
No.30/2007 dan Pasal 4 UU
No.4/2009. Secara umum
tegas Marwan, kedua pasal
dalam UU No.30/2007 dan UU
No.4/2009 menyebutkan
bahwa sumber daya energi
maupun sumber daya minerba
diatur oleh negara dan
dimanfaatkan untuk sebesar-
besar kemakmuran rakyat.
Penguasaan negara atas
seluruh sumber daya tersebut
diselenggarakan oleh
Pemerintah Pusat dan/atau
pemerintah daerah.
“Jika merujuk pada prinsip
penguasaan negara sesuai
amanat Pasal 33 UUD 1945
yang menjamin dominasi
pengelolaan oleh BUMN,
ternyata praktek pengelolaan
sumber daya alam, belum
sepenuhnya terlaksana. Dalam
penambangan batubara
misalnya, BUMN hanya
menguasai sekitar 6%. Begitu
pula dengan sektor mineral,
BUMN (Holding BUMN
Tambang) kita diperkirakan
hanya menguasai pengelolaan
tambang sekitar 20-30%,” ujar
Marwan.
Pada bagian lain, mantan Dirjen
Minerba Simon Sembiring
merasa heran atas kebijakan
pemerintah saat ini. Dia
menceritakan saat dirinya
masih menjabat sebagai
Dirjen, kebijakannya berupaya
mengurangi ekspor batubara
dan meningkatkan konsumsi
domestik, namun
pemerintahan saat ini malah
jor-joran melakukan ekspor
batubara.
“Pemerintah harus jernih
melihat persoalan ini dan
mendasarkannya pada
ketahanan energi. Saat ini jor-
joran ekspor batubara, energi
murah kita ekspor ke China,
India, Jepang. Sementara kita
impor energi mahal (Minyak
dan Gas). Sombong nggak
kita? Kami buat kebijakan
sampai 2020 tapi diinjak injak,
kita inginnya ekspor dikurang
untuk penuhi kebutuhan dalam
negeri. Tapi tidak jalan-jalan,”
ujarnya seperti dikutip laman
Aktual.com.
Dia menilai kondisi ketahanan
energi nasional saat ini dalam
kategori rentan. Saat ini
ujarnya, PLN tidak memiliki stok
batubara yang cukup
memadai, dengan begitu, jika
terjadi kendala produksi dari
kontraktor, dalam hitungan
relatif singkat listrik PLN akan
mengalami pemadaman.
Di tempat sama, pengamat
pertambangan dari Universitas
Tarumanegara Ahmad Redi
menambahkan revisi PP ini
berpotensi menggerus
penerimaan negara baik dari
sisi pajak maupun penerimaan
negara bukan pajak (PNBP)
dalam bentuk royalti.
Mengingat tarif pajak dan
royaltinya hanya sekitar 35
persen atau lebih rendah dari
sebelumnya yang bisa
mencapai 40%. bari/mohar/
fba.
http://www.neraca.co.id/article/1104...visi-pp-232010
19/12/2018
Jakarta-Indonesian Resources
Studies (Iress) menolak
rencana pemerintah kembali
merevisi Peraturan Pemerintah
(PP) Nomor 23 Tahun 2010
tentang Pelaksanaan Kegiatan
UsahaPertambangan Mineral
dan Batu bara. Pasalnya, revisi
tersebut bertentangan
dengan undang-undang.
NERACA
Sebelumnya, Kementerian
akan mengatur mekanisme
perubahan Perjanjian Karya
Pengusahaan Pertambangan
Batu bara (PKP2B) menjadi Izin
Usaha Produksi Khusus (IUPK).
Selain itu, Kementerian ESDM
juga mengusulkan pemegang
PKP2B bisa mengajukan
perpanjangan kontrak lima
tahun sebelum masa berlaku
kontrak berakhir.
Pelaksanaan kegiatan usaha
pertambangan diatur dalam PP
Nomor 23 Tahun 2010. Dalam
perjalanannya, PP 23/2010
telah direvisi sebanyak lima
kali. Terakhir, revisi dilakukan
dengan menerbitkan PP
Nomor 8 Tahun 2018 tentang
Perubahan Kelima PP 23/2010.
Menurut Direktur Eksekutif
Iress Marwan Batubara, sejak
awal PP 23/2010 telah
melanggar Undang-undang
Dasar 1945 dan Undang-
undang (UU) Nomor 4 Tahun
2009 Mineral dan Batu bara.
Pasalnya, menurut Marwan,
PP23/2010 hingga revisi
terakhirnya masih
mengutamakan kepentingan
kontraktor untuk
mempertahankan dominasi
pengelolaan tambang di
Indonesia.
Faktanya, sesuai UUD 1945, UU
Nomor 30/2007 dan UU 4/2009,
sumber daya energi maupun
sumber daya minerba diatur
oleh negara dan dimanfaatkan
untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat. "Kami
mengingatkan draf PP itu
melanggar UU, oleh sebab itu
dalam makalah lress minta
revisi PP dibatalkan dan
konsisten dengan regulasi
sebelumnya, kalau kontrak
berakhir bisa dikembalikan ke
negara," ujar Marwan dalam
sebuah acara diskusi di
Jakarta, pekan ini.
Dari draf revisi keenam
PP23/2010, Marwan
menemukan pasal yang
bertentangan dengan Pasal
83, Pasal 169, dan Pasal 171
UU Nomor 4/2009. Dalam hal
ini, Pasal 83 UU 4/2009
membatasi luas maksimal IUPK
Operasi Produksi hanya 15 ribu
hektare. Sementara itu, draf
revisi tersebut memungkinkan
untuk melebihi ketentuan
tersebut.
Usai berakhirnya KK atau
PKP2B, pemerintah memiliki
wewenang penuh untuk tidak
memperpanjang kontrak.
Seluruh wilayah kerja tambang
yang tadinya dikelola
kontraktor harus dikembalikan
kepada negara.
Setelah itu, status WK diubah
menjadi Wilayah Pencadangan
Negara (WPN). Pengelolaan
lebih lanjut atas WPN diproses
melalui tender dan
persetujuan DPR dengan
menawarkan terlebih dahulu
kepada Badan Usaha Milik
Negara (BUMN).
Pemegang kontrak KK dan
PKP2B tidak mempunyai hak
untuk memperoleh
perpanjangan usaha
pertambangan secara
otomatis saat kontrak berakhir
meski bentu kerja samanya
berubah menjadi IUPK.
Misalnya untuk batu bara,
setelah menjadi WPN,
pengelolaan tambang dapat
diserahkan kepada BUMN.
Dengan demikian, ketahanan
energi negara lebih terjamin
mengingat pasokan energi
batu bara untuk
ketenagalistristrikan lebih
terjamin, bertarif khusus
berkelanjutan dan bebas dari
potensi penyelewengan.
Marwan menilai rencana revisi
PP 23/2010 diduga bertujuan
untuk mengakomodasi
perpanjangan pengelolaan
operasi sejumlah tambang
besar batu bara oleh
pengusaha PKP2B generasi
pertama yang masa
kontraknya akan segera
berakhir. Dalam hal ini,
perpanjangan pengelolaan
dilakukan dengan penerbitan
IUPK yang berlaku hingga dua
puluh tahun.
Sebagai catatan, perusahaan
yang merupakan pemegang
PKP2B generasi pertama, di
antaranya PT Tanito Harum
yang masa kontraknya habis
pada 2019, PT Arutmin
Indonesia (2020), PT Kaltim
Prima Coal (2021), PT BHP
Kendilo Coal Indonesia (2021),
PT Adaro Energy (2022), PT
Multi Harapan Utama (2022),
PT Kideco Jaya Agung (2023),
PT Berau Coal (2025).
Marwan meyakini rente yang
terkumpul dan dan beredar
untuk memuluskan rencana
perubahan PP 23/2010 dapat
dimanfaatkan oleh oknum
penguasa sebagai sumber
logistik untuk memenangkan
Pemilu dan Pilpres 2019.
Abai Kepentingan Publik
Dia menjelaskan bahwa Pasal 3
UU No.30/2007 tentang Energi
menyatakan; pengelolaan
energi dilakukan guna
mendukung pembangunan
nasional berkelanjutan dan
meningkatkan ketahanan
energi nasional, dengan tujuan
antara lain untuk pencapaian
kemandirian pengelolaan
energi, terjaminnya
ketersediaan energi,
pemenuhan kebutuhan energi
dalam negeri, pemenuhan
kebutuhan bahan baku industri
dalam negeri, peningkatan
devisa negara, terjaminnya
pengelolaan sumber daya
energi secara optimal,
terpadu, dan berkelanjutan,
terciptanya lapangan kerja, dan
terjaganya kelestarian fungsi
lingkungan hidup.
Kemudian dalam Pasal 2 UU
No.4/2009 tentang
Pertambangan Minerba telah
ditetapkan tujuan pengelolaan
minerba antara lain untuk; a)
menjamin efektivitas
pelaksanaan dan pengendalian
kegiatan usaha pertambangan
secara berdaya guna, berhasil
guna, dan berdaya saing, b)
menjamin manfaat
pertambangan secara
berkelanjutan dan berwawasan
lingkungan hidup, c) menjamin
tersedianya minerba sebagai
bahan baku dan/atau sebagai
sumber energi dalam negeri,
dan meningkatkan pendapatan
masyarakat lokal, daerah, dan
negara, serta menciptakan
lapangan kerja untuk sebesar-
besar kesejahteraan rakyat.
Guna mencapai tujuan-tujuan
ketentuan Pasal 3 UU
No.30/2007 dan Pasal 2 UU
No.4/2009 kata Marwan, maka
diatur tentang dominasi
negara atas kekayaan alam
yang dimiliki sesuai Pasal 4 UU
No.30/2007 dan Pasal 4 UU
No.4/2009. Secara umum
tegas Marwan, kedua pasal
dalam UU No.30/2007 dan UU
No.4/2009 menyebutkan
bahwa sumber daya energi
maupun sumber daya minerba
diatur oleh negara dan
dimanfaatkan untuk sebesar-
besar kemakmuran rakyat.
Penguasaan negara atas
seluruh sumber daya tersebut
diselenggarakan oleh
Pemerintah Pusat dan/atau
pemerintah daerah.
“Jika merujuk pada prinsip
penguasaan negara sesuai
amanat Pasal 33 UUD 1945
yang menjamin dominasi
pengelolaan oleh BUMN,
ternyata praktek pengelolaan
sumber daya alam, belum
sepenuhnya terlaksana. Dalam
penambangan batubara
misalnya, BUMN hanya
menguasai sekitar 6%. Begitu
pula dengan sektor mineral,
BUMN (Holding BUMN
Tambang) kita diperkirakan
hanya menguasai pengelolaan
tambang sekitar 20-30%,” ujar
Marwan.
Pada bagian lain, mantan Dirjen
Minerba Simon Sembiring
merasa heran atas kebijakan
pemerintah saat ini. Dia
menceritakan saat dirinya
masih menjabat sebagai
Dirjen, kebijakannya berupaya
mengurangi ekspor batubara
dan meningkatkan konsumsi
domestik, namun
pemerintahan saat ini malah
jor-joran melakukan ekspor
batubara.
“Pemerintah harus jernih
melihat persoalan ini dan
mendasarkannya pada
ketahanan energi. Saat ini jor-
joran ekspor batubara, energi
murah kita ekspor ke China,
India, Jepang. Sementara kita
impor energi mahal (Minyak
dan Gas). Sombong nggak
kita? Kami buat kebijakan
sampai 2020 tapi diinjak injak,
kita inginnya ekspor dikurang
untuk penuhi kebutuhan dalam
negeri. Tapi tidak jalan-jalan,”
ujarnya seperti dikutip laman
Aktual.com.
Dia menilai kondisi ketahanan
energi nasional saat ini dalam
kategori rentan. Saat ini
ujarnya, PLN tidak memiliki stok
batubara yang cukup
memadai, dengan begitu, jika
terjadi kendala produksi dari
kontraktor, dalam hitungan
relatif singkat listrik PLN akan
mengalami pemadaman.
Di tempat sama, pengamat
pertambangan dari Universitas
Tarumanegara Ahmad Redi
menambahkan revisi PP ini
berpotensi menggerus
penerimaan negara baik dari
sisi pajak maupun penerimaan
negara bukan pajak (PNBP)
dalam bentuk royalti.
Mengingat tarif pajak dan
royaltinya hanya sekitar 35
persen atau lebih rendah dari
sebelumnya yang bisa
mencapai 40%. bari/mohar/
fba.
http://www.neraca.co.id/article/1104...visi-pp-232010
-1
1.3K
4


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan