P r o l o g
Uang. Ya uang. Dengan uang segalanya lancar. Itu kata semua orang yang kukenal termasuk istriku yang setiap hari mengomel dan menjadikan rumah kami bagaikan neraka. Apalagi sebabnya kalau bukan gara gara uang.
Aku benci uang. Aku benci realita hidup di mana uang yang memegang kendali. Aku akan menantang mereka para pemuja uang yang telah berubah menjadi monster monster berwujud manusia lalu kuludahi muka muka mereka yang rela melakukan apa saja demi uang.
Ini hidupku. Ini kisahku dan izin kan aku untuk bercerita. Cerita yang kujanjikan akan berlangsung singkat karena sebenarnya aku malas bercerita karena aku sibuk mencari uang. Sialan!
- Hadi -
Satu
Quote:
PENGECUT
"Lo pikir semua yang udah terjadi ke elo di kantor selama ini kebetulan? Elo ini naif atau udah mulai gila Bang? Heran gue sama elo. Kalo gue jadi lo, enggak pake banyak cincong lagi langsung gue tampol bos elo yang gila itu kagak BANCIdan nyerah seperti ELO!"
Suasana siang yang panas menjemukan saat itu dikejutkan oleh keributan yang berasal dari sosok pria berusia tiga puluhan awal berambut agak gondrong tebal. Pria itu bernama Hadi. Permadi Hadiwijaya lengkapnya. Kumis tipis dan jenggotnya tumbuh sembarangan tanpa diurus menambah kesan sangar pada parasnya yang lumayan ganteng dan akan terlihat lebih ganteng kalau saja dia tidak mengenakan kemeja kerah lengan pendek kotak kotak dan jeans belel yang kusam penuh dengan noda hitam mengotori hampir seluruh celananya.
Hadi nyaris berteriak dengan ledakan penuh kemarahan sambil menunjuk nunjuk wajah seorang pria yang bisa terlihat lebih tua beberapa tahun dari dirinya. Seorang pria berpenampilan rapih namun dengan wajah yang kusam dan kusut seperti banyak pikiran. Bagian matanya yang cekung menghitam menandakan pria itu juga kurang tidur, entah sudah berapa lama.
Pria itu hanya diam menerima semua muntahan teriakan dan makian dari Hadi yang tanpa henti terus mengoceh dengan geram dan sesekali menggebrak gebrak meja tempat mereka menikmati makan siang di depan warung nasi yang dibuka di pekarangan sebuah rumah yang terletak di pinggir jalan sebuah kawasan jalan raya yang selalu ramai dilintasi oleh truk truk besar yang mengangkut muatan barang.
Dengan tatapan kosong yang seolah olah mampu menembus semua objek di hadapannya pria itu kembali menghisap rokok yang terselip di jari tangan kirinya. Sekali, dua kali, tiga kali rokok di tangannya itu dihisapnya pendek pendek dan dihembuskannya sembarangan tanpa terlihat sedikit pun menikmati racun nikotin yang merasuki rongga pernapasannya.
Yang ada di pikirannya saat ini cuma satu. Segera angkat kaki dari tempat laknat itu dan pergi sejauh mungkin menghilang tanpa jejak dan tak perlu seorang pun tahu. Termasuk sahabatnya Hadi yang masih saja meracau dan mengomeli dirinya tanpa putus.
Lebih baik menyerah dan pergi daripada melawan kemudian mati konyol. Itu prinsipnya.
Diraihnya pundak Hadi dengan kedua tangannya seraya menyunggingkan sebuah senyum kepasrahan. Mungkin senyuman yang terakhir kali bisa diberikan untuk sahabatnya itu.
"Sori Di, I'm done. I give up. Elo teruskan aja, gue udah gak bisa. Selamat tinggal bro."
Hadi menatap tak percaya dengan ucapan sahabatnya itu. Sahabat yang dianggapnya sebagai panutan dan tolak ukur dirinya di pekerjaan dan juga urusan rumah tangga.
"Jadi begitu keputusan lo Bapak Arif yang terhormat? Setelah semua yang udah kita alami bersama selama ini? Setelah semua pengorbanan elo?!!"
"PENGECUT!!!"
Hadi merangsek wajah Arif dengan sebuah tinju yang tepat mengenai hidungnya. Arif terjungkal dari bangku panjang milik warung nasi dan langsung tersungkur dengan hidung yang patah disertai tetesan darah yang mengalir membasahi sekujur mulut dan kemejanya. Di sebelah berserakan pecahan beling tajam dari gelas dan tatakan kopi yang terlempar dari meja.
Hadi berjalan santai kemudian berdiri menatap Arif sahabatnya dengan tatapan datar tanpa ekspresi. Tak sedikit pun ada rasa menyesal tampak dari wajahnya yang ganteng namun tak terawat itu. Sepatu pantofel Hadi bergerak menyapu seluruh pecahan beling dari sisi tubuh Arif dan tanpa mempedulikan sahabatnya itu Hadi membalikkan tubuhnya berjalan keluar dari pekarangan warung nasi melangkah tegas tanpa ragu.
Drama siang itu pun diakhiri dengan perpisahan dua orang sahabat yang memutuskan menempuh jalan hidupnya masing masing seiring dengan perubahan prinsip hidup yang mereka yakini.
"Maaf Di, semoga elo selamat. Gw cuma bisa doain lo dari jauh. Maafin gue."gumam Arif dalam hati.
★★★★★
Quote:
Kalau berkenan ane minta dilemparin BATAdong gan. Thanks yaa. 
