Nisan Salib, Status Makam, dan Jejak Intoleransi di Yogyakarta
TS
tanah.liat
Nisan Salib, Status Makam, dan Jejak Intoleransi di Yogyakarta
Quote:
tirto.id - Nisan salib di makam Albertus Slamet Sugihardi dipotong bagian atasnya oleh warga RT 53 RW 13, Purbayan, Kotagede, Yogyakarta. Meski warga menyebut sudah ada kesepakatan atas pemotongan itu dan keluarga disebut ikhlas, akan tetapi hal ini tetap jadi perbincangan banyak orang di sosial media dan di dunia nyata.
Misalnya di sebuah angkringan yang letaknya kira-kira satu kilometer dari makam, Rabu (19/12/2018) siang. Dua orang membicarakan itu sembari menyeruput teh.
"Pertama di-posting di Facebook," kata salah seorang dari mereka, seorang pengemudi ojek daring.
"Iya, tapi sepertinya yang posting itu enggak tahu persoalannya. Itu kan sudah ada kesepakatan dengan warga," kata yang lain, menimpali.
Pemotongan nisan salib itu terjadi Senin (17/12/2018) lalu. Ketua RW 13 Selamet Riyadi menyebut pemotongan dilakukan oleh pengurus makam setelah adanya kesepakatan antara warga, pihak gereja, hingga keluarga almarhum.
Lurah Purbayan, Suradi, mengatakan tanah yang digunakan sebagai pemakaman Albertus merupakan tanah turun temurun yang dikelola oleh masyarakat sekitar.
Ada dua jenis pemakaman berdasarkan Peraturan Daerah (Perda) Kota Yogyakarta Nomor 7/1996. Pertama adalah Tempat Pemakaman Umum yang disediakan untuk setiap orang tanpa membedakan agama dan golongan. Ini dikelola Pemerintah Daerah. Kedua adalah Tempat Pemakaman Bukan Umum yang pengelolaannya dilakukan oleh Badan Sosial dan atau Badan Keagamaan.
Menurut Suradi, makam di Purbayan tidak tergolong ke dalam keduanya. Maka dari itu pengelolaannya diserahkan ke pengurus kampung.
Status makam itu dipertegas oleh Kepala Dinas Pekerjaan Umum, Perumahan dan Kawasan Permukiman (DPUPKP) Yogyakarta, Agus Tri Haryono. Ia menyebut yang ada di Kelurahan Purbayan itu bukan makam umum yang dikelola oleh pemerintah.
"Itu bukan pemakaman milik [pemerintah] kota," katanya kepada reporter Tirto.
Tidak ketatnya aturan ini yang turut memungkinkan pemotongan salib terjadi. Ketua RW 13 Selamet Riyadi mengatakan pemotongan salib itu dilakukan karena jenazah yang dikubur di makam kampung itu seluruhnya Muslim. Warga menghendaki tidak ada simbol agama lain, termasuk salib, ada di kuburan itu.
"[Itu pemakaman] umum. Tapi kebetulan di sini mayoritas Muslim. Kebetulan warga kita yang di RW 13/RT 53 itu kan pendatang. [Ada] tiga [kepala keluarga] KK termasuk almarhum itu non Muslim," kata Selamet kepada reporter Tirto.
Selamet mengakui memang tidak ada aturan tertulis yang menyebut bahwa makam di kampungnya itu adalah makam khusus Muslim. Namun secara kultural, klaimnya, lantaran mayoritas warga beragama Islam dan belum pernah ada non Muslim yang dimakamkan di sana, maka makam itu sama saja dengan makam Muslim.
"Itu [jadi makam Muslim] kesepakatan lokal, namanya kearifan lokal ada yang tertulis ada yang tidak. Mungkin dengan adanya kejadian ini akan diformalkan oleh warga makam itu sebagai makam apa," tambahnya.
Jejak Intoleransi di Yogya
Forum Persaudaraan Umat Beragama (FPUB) Yogyakarta menilai insiden pemotongan salib ini telah mencederai hak konstitusi warga negara.
Sekjen FPUB Yogyakarta Timotius Apriyanto mengatakan seharusnya konstitusi negara berlaku apa adanya, yaitu menjamin dengan tegas hak setiap warga negara untuk bebas berekspresi, termasuk dalam beragama.
"Termasuk di dalamnya menggunakan simbol keagamaan. Baik pada acara upacara keagamaan maupun pada ritual kehidupan, misalnya berkaitan dengan kelahiran, pernikahan, dan juga kematian," kata Apriyanto usai menggelar pertemuan di Pesantren Nurul Ummahat, Kotagede, Yogyakarta, Selasa (18/12/2018)
Namun demikian, menurut Apriyanto pemahaman itu belum meresap ke seluruh masyarakat. Maka yang terjadi saat ini adalah kuasa mayoritas terhadap minoritas. Mayoritas bisa memaksakan apa yang mereka kehendaki.
"Misalnya tadi dikemukakan bahwa makam mayoritas adalah Islam, tapi kemudian ada mayoritas menyelenggarakan pemakaman di makam umum, [tetapi] harus menyesuaikan, terpaksa mengorbankan simbol keagamaannya," katanya. Padahal, tambah Apriyanto, simbol salib sangat penting bagi umat Kristiani.
Kuasa mayoritas sudah terjadi bertahun-tahun. Maka tak heran kalau kasus intoleransi terjadi berkali-kali. Apriyanto mengatakan sepanjang tahun ini saja sudah ada beberapa kasus intoleransi terjadi di Yogyakarta, misalnya penyerangan terhadap seorang romo—imam Katolik—di Gereja Sleman.
Empat tahun lalu, Gereja Pangukan Tridadi Sleman pernah diserang sekelompok orang. Tempat ibadah ini kemudian ditutup.
Masih pada tahun yang sama, rumah Direktur penerbit Galang Press, Julius Felicianus, yang tengah dipakai belasan umat Katolik untuk doa bersama dan latihan paduan suara, juga diserang. Julius Felicianus sendiri dikeroyok.
Meski kejadian serupa terus berulang, Sri Sultan Hamengkubawana X mengatakan Yogyakarta tetap tak bisa disebut intoleran, terutama dalam kasus ini.
"Masalah tidak seperti yang diucapkan di situ [media, ada demonstrasi. Jika Yogya dianggap intoleran itu tidak. Itu konsekuensi karena diviralkan. Sebenarnya tidak ada masalah," katanya
"Barang Siapa Menyakiti Kafir Dzimmi, Maka Aku (Rasulullah) Akan Menjadi Lawannya di Hari Kiamat" (HR. Muslim).
Ane percaya hadits itu....
=======
Akhir2 ini intoleransi keknya menjadi isu yg masif di perbincangkan
Mulai dari bangke yg tidak di sholatkan,ulama yg ijtima',Ulama yg di kriminalisasi dan lain sebagainya...
Ane mencoba melihat dari sudut pandang politik,kepentingan2 politik...
Intoleransi adalah akibat dari identitas2,identitas2 sepertinya sengaja di ciptakan utk sebuah kepentingan politik,kita faham bahwa politik di Indonesia semakin tidak terarah...ane bahas dalam konteks ideologi
Partai politik kita krisis ideologi,tidak lagi ada program2 yg mempunyai landasan ideologi,semua hanya normatif,gimana agar rakyat tertarik....dalam arti di permudah,di fasilitasi hidupnya
Ini sangat jauh berbeda dgn pemilu2 sebelumya,yg bertarung adalah program visi misi...
Ane melihat ada yg kebingungan karena hal itu...menganggap masyarakat masih bodoh
Karena itu mereka menciptkan sekat2..identitas2...
yg ras ini pilih dia..yg agama itu pilih mereka,karena cuman dgn menciptakan identitas2 tersebut,akan mudah utk memobilisasi...
Jujur dari awal ane ndak menyangka hal itu akan berhasil,karena kita faham muslim di Indonesia itu mayoritas,dan yg mayoritas itu adalah yg TOLERAN... Yg jarang main medsos,jarang terekspos...seperti cak nun,Gus Mus,kiai2 pedalaman dgn ribuan santri dll
Tapi ternyata sangkaan ane salah...isu2 identitas ternyata masif di goreng baik di medsos dan forum2 tengil..
Ini menurut ane sangat efektif utk kepentingan politik,peta politik semakin jelas....
Yg ini pilih itu..yg ono pilih anu
=======
Yg menang siapa?? Ya mereka2 yg memainkan isu identitas...
Nalar saja...ane seorang muslim yg kalau elu...elu...elu... non muslim dari suku apapun..kalau main kerumah...silahkan makan tidur sepuasnya...
Tapi karena elu terpancing SARA,menggeneralisir bahwa Islam itu begitu...ndak menutup kemungkinan akan berbalik arah, cuman melihat saat kalian di diskriminasi..
karena berpandangan elu...elu....elu...itu sama dengan mereka yg mendiskriminasi,cuman kalian belum ada kesempatan
Dan itu tentu saja bukan hanya ane yg berpandangan demikian,karena bagi ane dan semua yg beriman...agama adalah jalan hidup
=======
Stoplah terpancing isu intoleransi yg menurut ane dengan masif,struktur dan sistematis terus di hembuskan utk sebuah kepentingan politik....
Masyarakat kudunya sudah semakin maju dalam pola pikir...hentikan semua diskriminasi dan hapus semua identitas...kita yg toleran ini MAYORITAS...masa kalah sama buzzer2 yg cuman segelintir