- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Ada Apa di Balik Tembok?


TS
ray707
Ada Apa di Balik Tembok?

Aku menendang standar sepeda besiku pelan. Matahari masih malu-malu. Aku berdiri di trotoar, kemudian memandang bingung tembok kokoh menjulang yang tingginya setara empat kali tinggi badanku. Tembok itu mengelilingi sebuah petak tanah. Aku mengembuskan napas pelan. Kemudian, aku meraih botol air mineralku yang terpasang di rangka sepedaku. Aku duduk dan meneguk air, kemudian melepaskan kata 'ah' tanda kesegaran.
Sepeda onthel tiba-tiba melintas di hadapanku. Pengendaranya memberi senyum kepadaku, kubalas dengan senyuman pula. Pria paruh baya itu tampaknya tengah dalam perjalanan ke pasar. Aku mengenalnya. Ia adalah penjual bakso di kompleksku. Tentunya ia akan membeli sayur dan daging sapi di pasar nanti. Sekadar informasi, dagangannya selalu laris manis -- harganya murah serta rasanya yang nikmat, siapa yang tak mau?.
Dua orang remaja tanggung lewat begitu saja di depanku. Nampak di kedua telinga mereka disumpal, entah benda apa aku tak mengerti. Di lengan atasnya pula terdapat benda bentuk persegi panjang yang berisi angka-angka statistik. Tapak kaki mereka sangat mantap laiknya atlet berprestasi.
Embusan napasku kembali muncul. Aku memandang sekali lagi tembok besar ini. Apa yang ada di balik tembok ini? Pikirku penasaran. Dulu sewaktu aku masih kecil, aku sering melewati kawasan ini. Dulu masih sawah. Beberapa tahun yang lalu, ada sekumpulan orang sibuk membangun tembok panjang, tinggi, nan kokoh ini. Baru hari ini lah aku penasaran apa yang ada di balik tembok ini.
Pernah suatu kesempatan aku bertanya kepada penjual soto yang tak jauh dari tembok itu, ia mengaku tak tahu menahu soal perkara itu. Soal sotonya, relatif nikmat karena aku suka soto dan bakso.
Asam laktat pun sirna perlahan, aku segera menaruh kembali botol air mineralku di rangka sepeda. Standar sepeda kuposisikan semirip mungkin dengan knalpot kendaraan bermotor. Aku bergegas mengayuh sepeda pulang. Sekitar lima ratus ribu sentimeter dari rumah. Aku mengayuh dengan kencang.
Sampai di rumah, ibuku dengan raut wajah yang aku bingungkan mengajakku duduk bersamanya di depan televisi.
"Telah ditemukan ledakan besar di balik tembok ini, pihak kepolisian tengah menyelidikinya dan berusaha masuk ke dalam," ucap reporter tenang.
"Nggak ada yang tahu apa yang ada di balik tembok itu, Za," tutur Ibu lembut kepadaku yang kubalas dengan anggukan pelan.
Keesokan harinya, aku bersama sepedaku melaju seperti biasa, kemudian berhenti di depan tembok itu. Tembok itu kini telah berubah warna dari sebelumnya abu menjadi hijau, entah siapa yang menggantinya dengan cepat. Pihak kepolisian kah? Aku tak mengerti sama sekali.
Aku duduk untuk beristirahat sambil meminum air mineralku. Dua remaja tanggung melintas seperti biasa dengan gawai canggihnya -- tetap tak menyapaku.
"Tumben hari ini Pak Man -- penjual bakso -- tak lewat," pikirku dalam hati.
Tak lama kemudian, sepeda onthel Pak Man melintas di depanku, tetapi pengendaranya bukan Pak Man, melainkan orang lain yang aku sendiri tak mengerti identitas, apalagi jati dirinya. Aku lantas berdiri dan memberhentikannya.
"Di mana Pak Man?" tanyaku lembut.
Ia tak langsung menjawab dan justru malah tak mengacuhkanku dengan tega. Akhirnya, aku memutuskan mengendarai sepedaku menuju penjual soto. Aku lapar, sekalian ingin berdiskusi terkait ledakan di tembok kemarin.
Sayangnya, penjual soto itu pun hari ini tidak berjualan. Tak tampak gerobaknya apalagi batang hidungnya. Aku bingung setengah mati. Ada apa gerangan hari ini? Mengapa hari ini aneh sekali pascaledakan kemarin? Kuputuskan untuk pulang ke rumah dengan segera karena ingin bertemu dengan ibuku.
Aku mengetuk pintu rumahku dan aku terkaget sekali bahwa yang menjawab salam bukan ibuku!
"Wa'alaikumussalam," ucap Pak Man. Aku hafal sekali dengan suaranya ini. Ia kerap kali lupa kala aku memberitahukannya untuk tidak pakai penyedap rasa.
Pak Man membukakanku pintu. Wajahnya seperti kelelahan. Aku kebingungan mengapa Pak Man ada di rumahku.
"Mengapa Pak Man ada di ..." suaraku terpotong oleh sebuah pisau tajam yang tiba-tiba muncul dari jantungku.
Aku menengok ke arah belakang dan melihat penjual soto tempo hari menyunggingkan senyuman yang menurutku agak sedikit menyeramkan.
"Bawa dia," ucap Pak Man kini dengan wajah yang ceria -- setelah sebelumnya seperti kelelahan.
Dalam sekaratku itu, aku dipapah oleh Pak Man dan penjual soto. Aku berusaha mencari ibu selama perjalanan itu. Aku dimasukkan ke dalam tong di halaman rumahku. Ditutup. Oksigen telah habis. Aku pun mati.
***
Aku terbangun. Di depanku ada dua orang tinggi besar dengan muka agak menyeramkan menanyaiku tentang perkara-perkara dunia. Alhamdulillah, aku bisa menjawabnya dengan sangat mudah. Setelah itu, mereka berdua pun pergi, kemudian kembali lagi dengan membawa ibuku! Ibu! Ibu! Ibu! Ibu ku pun sontak memelukku dengan erat, aku pun membalasnya dengan sepadan bahkan melebihinya. Kusaksikan dua orang tinggi besar tadi memberikan senyuman seakan turut bahagia melihat momen langka ini -- baginya kemungkinan begitu.
"Soto dan Bakso bersekongkol dengan tertutup supaya bahagia dunia," kalimat puitis keluar dari bibir ibu yang indah itu.
Aku mengangguk. Aku memahami Ibu. Ibu sering sekali membacakanku puisi semenjak aku kecil.
Diubah oleh ray707 19-12-2018 07:18


anasabila memberi reputasi
2
1.2K
6


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan