- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Heboh Nisan Tanda Salib Dipotong di Yogya, Begini Kronologinya


TS
mendadakranger
Heboh Nisan Tanda Salib Dipotong di Yogya, Begini Kronologinya
Quote:
https://nasional.tempo.co/read/11565...i-kronologinya
TEMPO.CO, Yogyakarta - Sebuah makam dari jenazah umat Katolik, Albertus Slamet Sugiardi, di pemakaman Jambon RT 53 RW 13 Kelurahan Purbayan, Kotagede Yogyakarta menjadi sorotan. Sebab, nisan berbentuk tanda salib yang menancap di pusara Slamet -seperti pusara umat Katolik umumnya- yang dikuburkan pada 17 Desember 2018 itu dalam kondisi terpotong bagian atasnya sehingga hanya membentuk seperti huruf ‘T’.
Tokoh masyarakat Purbayan Kotagede yang mengetahui kronologi pemotongan tanda salib makam warga Katolik itu, Bedjo Mulyono menuturkan di komplek pemakaman itu seluruhnya memang makam warga muslim. “Awalnya saat jenazah pak Slamet mau dikuburkan di situ, oleh warga diperbolehkan meski beliau bukan non muslim, dengan catatan makamnya dipinggirkan,” kata Bedjo saat ditemui Tempo di kampungnya, Selasa, 18 Desember 2018.
Selain makam dipinggirkan, warga meminta tidak ada simbol-simbol Nasrani terpasang di pusara Slamet. “Karena komplek pemakaman itu mau dibuat warga jadi makam muslim,” ujarnya.
Namun, kata Bedjo, karena dari pihak keluarga Slamet sudah terlanjur membawa simbol tanda salib untuk ditancapkan ke pusara itu. Akhirnya oleh warga dan pelayat tanda salib itu dipotong dengan cara digergaji. “Pemotongan salib itu atas kesepakatan warga dengan keluarga almarhum,” ujar Bedjo yang juga mantan Ketua RW 13 itu.
Bedjo mengatakan kesepakatan untuk menggergaji tanda salib itu awalnya tak tertulis. Namun karena peristiwa pemotongan salib itu viral, kata dia, kemudian dari pihak keluarga yang diwakili istri almarhum Slamet, yakni Maria Sutris Winarni baru pada hari ini membuat surat pernyataan tertulis yang menyatakan bahwa pihak keluarga besar Slamet telah ikhlas untuk menghilangkan simbol Kristiani atas saran pengurus makam, tokoh masyarkat dan pengurus kampung.
Surat pernyataan bermaterai itu ditandatangi oleh istri almarhum Slamet, Bedjo Mulyono selaku tokoh masyarakat kampung, Ketua RT 53 Sholeh Wibowo, dan Ketua RW 13 Slamet Riyadi.
Bedjo berdalih pihaknya sadar jika konstitusi menjamin kebebasan warga untuk melaksanakan agama dan kepercayaannya masing-masing.“Tapi kalau warga kampung tidak mendukung bagaimana? Daripada memicu konfllik,” ujarnya.
Menurut Bedjo, di RW 13 ada 150 kepala keluarga. Adapun keluarga yang memeluk agama Nasrani ada tiga kepala keluarga, termasuk keluarga Slamet.
Ketua RT 53 Soleh Rahmad Hidayat mengatakan komplek pemakaman itu sebenarnya memang sebenarnya komplek umum. Namun dalam waktu dekat akan diarahkan menjadi makam khusus muslim.
Menanggapi pemotongan salib itu, Soleh membenarkan memang warganya yang mendesak tak ada simbol Nasrani di pemukiman itu. Alasannya karena di lingkungan itu mayoritas muslim. “Pemotongan salib itu sudah kesepakatan keluarga, permintaan warga kampung, dan aturannya memang begitu, ya sudah memang harus begitu, apa adanya,” ujarnya.
Pihak keluarga Slamet sendiri enggan diwawancara untuk kasus soal makam yang menimpanya itu.
TEMPO.CO, Yogyakarta - Sebuah makam dari jenazah umat Katolik, Albertus Slamet Sugiardi, di pemakaman Jambon RT 53 RW 13 Kelurahan Purbayan, Kotagede Yogyakarta menjadi sorotan. Sebab, nisan berbentuk tanda salib yang menancap di pusara Slamet -seperti pusara umat Katolik umumnya- yang dikuburkan pada 17 Desember 2018 itu dalam kondisi terpotong bagian atasnya sehingga hanya membentuk seperti huruf ‘T’.
Tokoh masyarakat Purbayan Kotagede yang mengetahui kronologi pemotongan tanda salib makam warga Katolik itu, Bedjo Mulyono menuturkan di komplek pemakaman itu seluruhnya memang makam warga muslim. “Awalnya saat jenazah pak Slamet mau dikuburkan di situ, oleh warga diperbolehkan meski beliau bukan non muslim, dengan catatan makamnya dipinggirkan,” kata Bedjo saat ditemui Tempo di kampungnya, Selasa, 18 Desember 2018.
Selain makam dipinggirkan, warga meminta tidak ada simbol-simbol Nasrani terpasang di pusara Slamet. “Karena komplek pemakaman itu mau dibuat warga jadi makam muslim,” ujarnya.
Namun, kata Bedjo, karena dari pihak keluarga Slamet sudah terlanjur membawa simbol tanda salib untuk ditancapkan ke pusara itu. Akhirnya oleh warga dan pelayat tanda salib itu dipotong dengan cara digergaji. “Pemotongan salib itu atas kesepakatan warga dengan keluarga almarhum,” ujar Bedjo yang juga mantan Ketua RW 13 itu.
Bedjo mengatakan kesepakatan untuk menggergaji tanda salib itu awalnya tak tertulis. Namun karena peristiwa pemotongan salib itu viral, kata dia, kemudian dari pihak keluarga yang diwakili istri almarhum Slamet, yakni Maria Sutris Winarni baru pada hari ini membuat surat pernyataan tertulis yang menyatakan bahwa pihak keluarga besar Slamet telah ikhlas untuk menghilangkan simbol Kristiani atas saran pengurus makam, tokoh masyarkat dan pengurus kampung.
Surat pernyataan bermaterai itu ditandatangi oleh istri almarhum Slamet, Bedjo Mulyono selaku tokoh masyarakat kampung, Ketua RT 53 Sholeh Wibowo, dan Ketua RW 13 Slamet Riyadi.
Bedjo berdalih pihaknya sadar jika konstitusi menjamin kebebasan warga untuk melaksanakan agama dan kepercayaannya masing-masing.“Tapi kalau warga kampung tidak mendukung bagaimana? Daripada memicu konfllik,” ujarnya.
Menurut Bedjo, di RW 13 ada 150 kepala keluarga. Adapun keluarga yang memeluk agama Nasrani ada tiga kepala keluarga, termasuk keluarga Slamet.
Ketua RT 53 Soleh Rahmad Hidayat mengatakan komplek pemakaman itu sebenarnya memang sebenarnya komplek umum. Namun dalam waktu dekat akan diarahkan menjadi makam khusus muslim.
Menanggapi pemotongan salib itu, Soleh membenarkan memang warganya yang mendesak tak ada simbol Nasrani di pemukiman itu. Alasannya karena di lingkungan itu mayoritas muslim. “Pemotongan salib itu sudah kesepakatan keluarga, permintaan warga kampung, dan aturannya memang begitu, ya sudah memang harus begitu, apa adanya,” ujarnya.
Pihak keluarga Slamet sendiri enggan diwawancara untuk kasus soal makam yang menimpanya itu.
Komeng TS =
Toleransi

update tambahan kronologi =
Quote:
https://nasional.tempo.co/amp/115654...otagede-pasrah
TEMPO.CO, Yogyakarta- Makam Albertus Slamet Sugiardi di pemakaman Jambon, RT 53 RW 13, Kelurahan Purbayan, Kotagede, Yogyakarta dipotong tanda salibnya dengan cara digergaji karena desakan warga kampung itu. Sehingga nisan itu tinggal membentuk huruf T.
Pengurus Gereja Santo Paulus Pringgolayan Kotagede Agustinus Sunarto menuturkan saat mendengar kabar jemaatnya meninggal pada Senin 17 Desember 2018, pihak keluarga menginginkan agar jenazah Albertus dikuburkan di komplek makam depan gereja itu.
Namun permintaan keluarga itu tak bisa dikabulkan karena almarhum bukan warga setempat. Sunarto berembug dengan Bedjo Mulyono, seorang tokoh masyarakat Purbayan. Dari pembicaraan itu disetujui jasad Slamet dikubur di komplek makam Jambon RT 53 RW 13, Purbayan, Kotagede, tak jauh dari kediamaan almarhum.
“Sekitar pukul 13.00 ada kabar kalau lokasi makamnya almarhum tak boleh di tengah komplek makam, warga minta makam Slamet dipinggirkan. Saya jawab ‘oke, enggak masalah’,” ujar Sunarto.
Namun setelah itu Sunarto mengaku mendapat pesan pendek yang meminta agar saat pemakaman Slamet berlangsung tidak boleh ada doa dan upacara jenazah sesuai permintaan kampung. “Saya jawab juga, ‘enggak masalah tak ada doa dan upacara jenazah',” ujarnya.
Saat pemakaman Slamet usai dan keluarga menancapkan tanda salib di atas pusara, ada keberatan dari warga. Akhirnya nisan salib itu digergaji dan tinggal membentuk huruf T. Pihak gereja dan keluarga tak mempermasalahkan salib itu dipotong.
“Lalu saat malam hari keluarga akan menggelar doa arwah di rumah almarhum Slamet, ternyata dilarang juga oleh kampung. Akhirnya doanya dipindah ke Gereja Santo Paulus ini,” ujarnya.
Sunarto menuturkan, saat keluarga akan menggelar tirakatan untuk doa bersama di depan rumah itu, pihak kampung juga tidak bisa menyediakan perangkat seperti tenda, meja kursi dan lainnya. Alasannya karena saat itu sedang tidak ada yang bisa menyewakan perangkat untuk tirakatan doa. “Jadi akhirnya tidak ada tenda, meja, kursi untuk keluarga almarhum,” ujarnya.
Ketua RT 53 RW 13 Soleh Rahmad Hidayat menuturkan warga memang tak membolehkan ada ibadat dan doa untuk jenazah Slamet di rumahnya. Soleh berdalih hal itu sudah menjadi permintaan warga.
Termasuk tak bolehnya ada simbol kristen di komplek pemakaman itu karena sudah menjadi permintaan warga yang ingin menjadikan komplek makam itu khusus muslim. “Kesepakatan (setuju kalau salib dipotong) itu awalnya tidak tertulis, lalu dibuat tertulis,” ujar Soleh.
Soleh mengatakan tak adanya simbol kritisani di makam itu sudah menjadi aturan tak tertulis dari warga. “Namanya sudah aturan kalau dilanggar nanti malah jadi konflik,” ujarnya
.TEMPO.CO, Yogyakarta- Makam Albertus Slamet Sugiardi di pemakaman Jambon, RT 53 RW 13, Kelurahan Purbayan, Kotagede, Yogyakarta dipotong tanda salibnya dengan cara digergaji karena desakan warga kampung itu. Sehingga nisan itu tinggal membentuk huruf T.
Pengurus Gereja Santo Paulus Pringgolayan Kotagede Agustinus Sunarto menuturkan saat mendengar kabar jemaatnya meninggal pada Senin 17 Desember 2018, pihak keluarga menginginkan agar jenazah Albertus dikuburkan di komplek makam depan gereja itu.
Namun permintaan keluarga itu tak bisa dikabulkan karena almarhum bukan warga setempat. Sunarto berembug dengan Bedjo Mulyono, seorang tokoh masyarakat Purbayan. Dari pembicaraan itu disetujui jasad Slamet dikubur di komplek makam Jambon RT 53 RW 13, Purbayan, Kotagede, tak jauh dari kediamaan almarhum.
“Sekitar pukul 13.00 ada kabar kalau lokasi makamnya almarhum tak boleh di tengah komplek makam, warga minta makam Slamet dipinggirkan. Saya jawab ‘oke, enggak masalah’,” ujar Sunarto.
Namun setelah itu Sunarto mengaku mendapat pesan pendek yang meminta agar saat pemakaman Slamet berlangsung tidak boleh ada doa dan upacara jenazah sesuai permintaan kampung. “Saya jawab juga, ‘enggak masalah tak ada doa dan upacara jenazah',” ujarnya.
Saat pemakaman Slamet usai dan keluarga menancapkan tanda salib di atas pusara, ada keberatan dari warga. Akhirnya nisan salib itu digergaji dan tinggal membentuk huruf T. Pihak gereja dan keluarga tak mempermasalahkan salib itu dipotong.
“Lalu saat malam hari keluarga akan menggelar doa arwah di rumah almarhum Slamet, ternyata dilarang juga oleh kampung. Akhirnya doanya dipindah ke Gereja Santo Paulus ini,” ujarnya.
Sunarto menuturkan, saat keluarga akan menggelar tirakatan untuk doa bersama di depan rumah itu, pihak kampung juga tidak bisa menyediakan perangkat seperti tenda, meja kursi dan lainnya. Alasannya karena saat itu sedang tidak ada yang bisa menyewakan perangkat untuk tirakatan doa. “Jadi akhirnya tidak ada tenda, meja, kursi untuk keluarga almarhum,” ujarnya.
Ketua RT 53 RW 13 Soleh Rahmad Hidayat menuturkan warga memang tak membolehkan ada ibadat dan doa untuk jenazah Slamet di rumahnya. Soleh berdalih hal itu sudah menjadi permintaan warga.
Termasuk tak bolehnya ada simbol kristen di komplek pemakaman itu karena sudah menjadi permintaan warga yang ingin menjadikan komplek makam itu khusus muslim. “Kesepakatan (setuju kalau salib dipotong) itu awalnya tidak tertulis, lalu dibuat tertulis,” ujar Soleh.
Soleh mengatakan tak adanya simbol kritisani di makam itu sudah menjadi aturan tak tertulis dari warga. “Namanya sudah aturan kalau dilanggar nanti malah jadi konflik,” ujarnya
Diubah oleh mendadakranger 18-12-2018 17:50
3
8.5K
Kutip
119
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan