- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
2019 Lebih Berat, Pemerintah Malah Pangkas Dana


TS
sukhoivsf22
2019 Lebih Berat, Pemerintah Malah Pangkas Dana
Pemerintah menurunkan dana
cadangan risiko fiskal dalam
APBN 2019. Penurunan ini
dinilai tidak sejalan dengan
kemungkinan risiko
perekonomian 2019.
M. Syahran W. Lubis
16 Desember 2018 -
23:56 WIB

Bisnis.com, JAKARTA –
Pemerintah menurunkan dana
cadangan risiko fiskal dalam
APBN 2019 menjadi Rp8,36
triliun dari alokasi pada 2018
sebesar Rp11,86 triliun.
Penurunan ini dinilai tidak
sejalan dengan kemungkinan
risiko perekonomian 2019 yang
akan lebih besar dari tahun ini.
Presiden baru saja
mengeluarkan Perpres No.
129/2018 tentang perincian
anggaran pendapatan dan
belanja negara tahun anggaran
2019. Dalam perpres tersebut,
pemerintah mencantumkan
alokasi anggaran cadangan
risiko fiskal pada 2019 lebih
rendah dari 2018.
Ekonom Universitas Indonesia
Fithra Faisal mengaku tidak
habis pikir dengan cara
pandang pemerintah terkait
dengan penetapan alokasi
anggaran tersebut.
Menurutnya, tantangan dan
risiko perekonomian pada 2019
jauh lebih besar daripada 2018.
"Terus terang saya tidak
mengerti [bagaimana]
pemerintah membuat
formulasinya pada 2019,
tentunya tantangannya tidak
semakin berkurang, malah
semakin bertambah. Faktor
eksternal meskipun kita sudah
lihat tensi perang dagang
China dan Amerika Serikat
mereda, masih ada
kemungkinan terjadi lagi di
2019, belum lagi risiko
domestik," ungkapnya saat
dihubungi Bisnis pada Minggu
(16/12/2018).
Fithra menilai risiko eksteral
pada 2019 terutama karena
adanya gelagat terjadi krisis di
AS dengan pembentukan
kurva inverted pada US
Treasury Bond atau utang
pemerintah AS 10 tahun dan 5
tahun. Menurutnya, dengan
posisi seperti itu, banyak yang
meyakini fenomena ini
mendahului akan terjadinya
krisis.
"Ada kemungkinan krisis juga di
AS, pada 2019 dan 2020. Kalau
AS krisis dunia terimbas, ini
sesuatu yang perlu diwaspadai
pada 2020," ungkapnya.
Di sisi lain, gelagat risiko lebih
besar lanjutnya dapat terlihat
dari perlambatan ekonomi AS
dan China. Sebagai mitra
dagang terbesar Indonesia,
perlambatan ekonomi di kedua
negara tersebut akan
memengaruhi Indonesia.
Sementara itu, lanjutnya,
faktor domestik masih akan
terfokus pada defisit
transaksi berjalan atau current
account deficit (CAD). Kalau
CAD tidak terkontrol dan risiko
eksternal yang memburuk, dia
memprediksi rata-rata nilai
tukar rupiah pada 2019 dapat
mencapai Rp15.400 sementara
pertumbuhan ekonomi hanya
tumbuh 4,8%.
Menurutnya, jika ini terjadi,
pertumbuhan ekonomi
Indonesia akan terus
melambat pada tahun-tahun
selanjut. Namun, jika kondisi
eksternal lebih stabil dan CAD
dapat terkontrol, ekonomi
dapat tumbuh 5,12% dan pada
2020 menjadi 5,3%-5,4%
sementara nilai tukar rupiah di
kisaran Rp14.500 per US$.
"Saya tidak tahu formulasinya,
2019 risikonya lebih besar,
apalagi ada pilpres yang fakto
risiko juga. Kalau dari faktor
risiko, saya akan yakin bilang
2019 jauh lebih berisiko, secara
linier cadangan ini seharusnya
lebih tinggi dari tahun 2018,"
kata Fithra.
Terpisah, ekonom Institute
Development for Economic
and Finance (Indef) Bhima
Yudistira menilai pemerintah
terlalu optimistis dengan
menurunkan cadangan risiko
fiskalnya. Idealnya, pemerintah
menaikkan cadangan tersebut
karena memang risiko 2019
lebih menantang.
"[Pemerintah] Over confidence,
padahal terlihat tanda AS
resesi juga naik. [Namun]
target defisit anggaran turun,
penerimaan pajak
pertumbuhannya tinggi tapi
rasio pajak di bawah 10%,
overall [masih] overshoot,"
ungkapnya saat dihubungi
Bisnis.
Menurutnya, secara
proporsional dengan
tantangan ekonomi makro
pada 2019, dengan kurs rupiah
dan indikator makro lainnya
yang lebih pesimistis dari 2018
harusnya linear dengan
cadangan fiskal yang lebih
besar.
Bhima menuturkan salah satu
faktor optimisme pemerintah
dengan dana cadangan fiskal
menurun itu karena
pemerintah berharap adanya
windfall harga minyak dengan
asumsi harga minyak US$70
per barel. "Jadi, potensi
pelebaran subsidi energi
harapanya bisa ditutup dari
penerimaan migas yang naik.”
Kemudian, lanjutnya soal
cadangan secara umum,
pemerintah memiliki risko
apabila PLN dan BUMN lain
gagal bayar utang seiring
naiknya suku bunga acuan
global dan pelemahan kurs
rupiah. Pemerintah katanya
cukup optimistis PLN bisa
melewati kondisi terburuk.
"Ini yang riskan. Idealnya dana
cadangan fiskal terutama
untuk antisipasi gagal bayar
utang BUMN diperbesar,"
ujarnya.
Sementara itu, pemerintah
pada 2019 mengalokasikan
dana cadangan baru selain
risiko fiskal serta
meningkatkan alokasi dana
cadangan lainnya.
Contohnya, pemerintah
memberikan cadangan-
cadangan baru, seperti pooling
fund bencana sebesar Rp1
triliun, rehabilitasi dan
rekonstruksi menjadi Rp5 triliun
padahal pada 2018 sekitar Rp4
triliun. Selain itu, ada cadangan
bencana alam sebesar Rp10
triliun.
Pemerintah juga meningkatkan
dana cadangan jaminan
kesehatan sosial (JKN)
menjadi sebesar Rp9,49 triliun,
sementara pada 2018 hanya
Rp4,99 triliun.
Pengalokasikan tersebut
diklaim pemerintah sebagai
cadangan-cadangan sesuai
dengan kebutuhan yang tidak
hanya melalui risiko fiskal.
Editor : M. Syahran W. Lubis
cadangan risiko fiskal dalam
APBN 2019. Penurunan ini
dinilai tidak sejalan dengan
kemungkinan risiko
perekonomian 2019.
M. Syahran W. Lubis
16 Desember 2018 -
23:56 WIB

Bisnis.com, JAKARTA –
Pemerintah menurunkan dana
cadangan risiko fiskal dalam
APBN 2019 menjadi Rp8,36
triliun dari alokasi pada 2018
sebesar Rp11,86 triliun.
Penurunan ini dinilai tidak
sejalan dengan kemungkinan
risiko perekonomian 2019 yang
akan lebih besar dari tahun ini.
Presiden baru saja
mengeluarkan Perpres No.
129/2018 tentang perincian
anggaran pendapatan dan
belanja negara tahun anggaran
2019. Dalam perpres tersebut,
pemerintah mencantumkan
alokasi anggaran cadangan
risiko fiskal pada 2019 lebih
rendah dari 2018.
Ekonom Universitas Indonesia
Fithra Faisal mengaku tidak
habis pikir dengan cara
pandang pemerintah terkait
dengan penetapan alokasi
anggaran tersebut.
Menurutnya, tantangan dan
risiko perekonomian pada 2019
jauh lebih besar daripada 2018.
"Terus terang saya tidak
mengerti [bagaimana]
pemerintah membuat
formulasinya pada 2019,
tentunya tantangannya tidak
semakin berkurang, malah
semakin bertambah. Faktor
eksternal meskipun kita sudah
lihat tensi perang dagang
China dan Amerika Serikat
mereda, masih ada
kemungkinan terjadi lagi di
2019, belum lagi risiko
domestik," ungkapnya saat
dihubungi Bisnis pada Minggu
(16/12/2018).
Fithra menilai risiko eksteral
pada 2019 terutama karena
adanya gelagat terjadi krisis di
AS dengan pembentukan
kurva inverted pada US
Treasury Bond atau utang
pemerintah AS 10 tahun dan 5
tahun. Menurutnya, dengan
posisi seperti itu, banyak yang
meyakini fenomena ini
mendahului akan terjadinya
krisis.
"Ada kemungkinan krisis juga di
AS, pada 2019 dan 2020. Kalau
AS krisis dunia terimbas, ini
sesuatu yang perlu diwaspadai
pada 2020," ungkapnya.
Di sisi lain, gelagat risiko lebih
besar lanjutnya dapat terlihat
dari perlambatan ekonomi AS
dan China. Sebagai mitra
dagang terbesar Indonesia,
perlambatan ekonomi di kedua
negara tersebut akan
memengaruhi Indonesia.
Sementara itu, lanjutnya,
faktor domestik masih akan
terfokus pada defisit
transaksi berjalan atau current
account deficit (CAD). Kalau
CAD tidak terkontrol dan risiko
eksternal yang memburuk, dia
memprediksi rata-rata nilai
tukar rupiah pada 2019 dapat
mencapai Rp15.400 sementara
pertumbuhan ekonomi hanya
tumbuh 4,8%.
Menurutnya, jika ini terjadi,
pertumbuhan ekonomi
Indonesia akan terus
melambat pada tahun-tahun
selanjut. Namun, jika kondisi
eksternal lebih stabil dan CAD
dapat terkontrol, ekonomi
dapat tumbuh 5,12% dan pada
2020 menjadi 5,3%-5,4%
sementara nilai tukar rupiah di
kisaran Rp14.500 per US$.
"Saya tidak tahu formulasinya,
2019 risikonya lebih besar,
apalagi ada pilpres yang fakto
risiko juga. Kalau dari faktor
risiko, saya akan yakin bilang
2019 jauh lebih berisiko, secara
linier cadangan ini seharusnya
lebih tinggi dari tahun 2018,"
kata Fithra.
Terpisah, ekonom Institute
Development for Economic
and Finance (Indef) Bhima
Yudistira menilai pemerintah
terlalu optimistis dengan
menurunkan cadangan risiko
fiskalnya. Idealnya, pemerintah
menaikkan cadangan tersebut
karena memang risiko 2019
lebih menantang.
"[Pemerintah] Over confidence,
padahal terlihat tanda AS
resesi juga naik. [Namun]
target defisit anggaran turun,
penerimaan pajak
pertumbuhannya tinggi tapi
rasio pajak di bawah 10%,
overall [masih] overshoot,"
ungkapnya saat dihubungi
Bisnis.
Menurutnya, secara
proporsional dengan
tantangan ekonomi makro
pada 2019, dengan kurs rupiah
dan indikator makro lainnya
yang lebih pesimistis dari 2018
harusnya linear dengan
cadangan fiskal yang lebih
besar.
Bhima menuturkan salah satu
faktor optimisme pemerintah
dengan dana cadangan fiskal
menurun itu karena
pemerintah berharap adanya
windfall harga minyak dengan
asumsi harga minyak US$70
per barel. "Jadi, potensi
pelebaran subsidi energi
harapanya bisa ditutup dari
penerimaan migas yang naik.”
Kemudian, lanjutnya soal
cadangan secara umum,
pemerintah memiliki risko
apabila PLN dan BUMN lain
gagal bayar utang seiring
naiknya suku bunga acuan
global dan pelemahan kurs
rupiah. Pemerintah katanya
cukup optimistis PLN bisa
melewati kondisi terburuk.
"Ini yang riskan. Idealnya dana
cadangan fiskal terutama
untuk antisipasi gagal bayar
utang BUMN diperbesar,"
ujarnya.
Sementara itu, pemerintah
pada 2019 mengalokasikan
dana cadangan baru selain
risiko fiskal serta
meningkatkan alokasi dana
cadangan lainnya.
Contohnya, pemerintah
memberikan cadangan-
cadangan baru, seperti pooling
fund bencana sebesar Rp1
triliun, rehabilitasi dan
rekonstruksi menjadi Rp5 triliun
padahal pada 2018 sekitar Rp4
triliun. Selain itu, ada cadangan
bencana alam sebesar Rp10
triliun.
Pemerintah juga meningkatkan
dana cadangan jaminan
kesehatan sosial (JKN)
menjadi sebesar Rp9,49 triliun,
sementara pada 2018 hanya
Rp4,99 triliun.
Pengalokasikan tersebut
diklaim pemerintah sebagai
cadangan-cadangan sesuai
dengan kebutuhan yang tidak
hanya melalui risiko fiskal.
Editor : M. Syahran W. Lubis
0
1.4K
10


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan