- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Pemerintah Klaim PHK pada 2019 Pecahkan Rekor Terendah, Pengusaha Tak Percaya


TS
sukhoivsf22
Pemerintah Klaim PHK pada 2019 Pecahkan Rekor Terendah, Pengusaha Tak Percaya
11 Desember 2018
Oleh : Yanita Petriella

korban PHK PT
Freeport Indonesia berunjuk
rasa di Cek Point Mile 28, Timika,
Papua, Sabtu (19/8). - ANTARA/
Spedy Paereng
Bisnis.com, JAKARTA
Jumlah korban pemutusan
hubungan kerja (PHK) di
Indonesia hingga akhir tahun ini
diproyeksikan tidak akan
mencapai 4.000 orang, alias
rekor terendah sejak 2014.
Direktur Jenderal Pembinaan
Hubungan Industrial dan
Jaminan Sosial Ketenagakerjaan
(PHI-Jamsos) Kementerian
Ketenagakerjaan Haiyani
Rumondang mengatakan, jumlah
korban PHK sepanjang Januari
hingga September 2018
mencapai 3.362 orang tenaga
lerja.
Sepanjang tahun lalu, menurut
data Kemenaker, jumlah korban
PHK di Tanah Air menyentuh
9.822 orang tenaga kerja.
“Tahun ini jumlah PHK jauh lebih
sedikit bila dibandingkan dengan
tahun lalu dan tahun-tahun
sebelumnya. Kami perkirakan
hingga akhir tahun ini, jumlah
[korban] PHK tak mencapai 4.000
orang,” ujarnya kepada Bisnis,
Senin (10/12/2018).
Menurutnya, rekor penurunan
jumlah PHK pada tahun ini
dipengaruhi oleh berbagai
faktor.
Pertama, terdapat peningkatan
partisipasi tenaga kerja di
berbagai sektor industri. Kedua,
semakin banyak perusahaan
yang telah memiliki hubungan
industrial yang baik sehingga
mereka tidak perlu melalukan
tindakan sepihak berupa PHK.
Selain itu, lanjutnya, banyak
perusahaan menyiasati dampak
tekanan ekonomi pada tahun ini
dengan melakukan efisiensi
seperti mengurangi gaji dan
fasilitas pekerja di level atas,
mengurangi jumlah shift atau
jam lembur, mengurangi jam dan
hari kerja, serta meliburkan
pekerja secara bergilir untuk
sementara waktu agar
mencegah terjadinya PHK.
“Apabila PHK tidak bisa dihindari,
ada langkah-langkah yang harus
dilakukan seperti musyawarah.
Kan tidak bisa mem-PHK orang
begitu saja. Harus ada dialog
hingga mencapai kesepakatan
dengan serikat pekerja. Hak
pekerja harus dipenuhi,” kata
Haiyani.
Menanggapi laporan tersebut,
Menteri Ketenagakerjaan Hanif
Dhakiri menuturkan, pemerintah
masih mengkaji aturan
tunjangan bagi korban PHK
melalui dua program, yaitu
Unemployment Benefit (UB)
dan Skill Development Fund
(SDF).
“Prinsipnya ini menjadi bantalan
sosial bagi korban PHK. Kedua
jaminan ini ditujukan untuk
menghadapi adanya
kemungkinan perubahan
lapangan pekerjaan yang
tersedia dan menyesuaikan
tuntutan kemampuan tenaga
kerja yang diperlukan,” ucapnya.
Program SDF, lanjutnya, dapat
membantu mengatasi
kekhawatiran angkatan kerja
karena kekurangan keahlian.
Hal ini dilakukan agar seseorang
yang telah di-PHK dapat segera
pindah tempat kerja atau
mencari mata pencarian baru.
“Nantinya orang itu akan
mengalami re-training dan re-
skilling. Tujuannya adalah agar
dapat memiliki kemampuan
yang diperlukan guna memasuki
lapangan pekerjaan yang akan
dituju. Ada kebebasan pelatihan
yang diminati baik milik
pemerintah maupun swasta,
dan pembiayaannya dilakukan
oleh pemerintah,” terangnya.
Sementara itu, sambungnya,
program UB merupakan
tunjangan yang diberikan bagi
korban PHK untuk pemenuhan
biaya hidup.
Hal itu akan diberikan selama
pekerja yang mengalami PHK
melakukan peningkatan
kemampuan dan masa
pencarian kerja kembali.
Menurut Hanif, kedua jaminan itu
nantinya akan diberikan dalam
kurun waktu tertentu.
Hal tersebut bertujuan untuk
mencegah agar korban PHK
tidak hanya menggantungkan
diri pada pada dua jaminan
tersebut.
“Nanti diberikan dalam kurun
waktu tertentu, yaitu antara
enam bulan sampai satu tahun,”
ujar Hanif.
ENGGAN MELAPOR
Sementara itu, Ketua Bidang
Ketenagakerjaan Asosiasi
Pengusaha Indonesia (Apindo)
Harijanto berpendapat, klaim
penurunan jumlah PHK
sebenarnya terjadi karena masih
banyak perusahaan yang
enggan melaporkan angka pasti
pekerjanya yang di-PHK.
“Banyak yang kompromi karena
membayar orang yang kena PHK
demikian mahal, enggak ada
yang lapor, bayar 30 bulan gaji,
siapa yang sanggup bayar?”
katanya.
Dia pun mengakui kenaikan upah
yang terbilang tinggi di tengah
situasi ekonomi yang masih tak
menentu sebenarnya menjadi
beban bagi para pengusaha.
Dampaknya, tindakan PHK pun
tak terhindarkan karena hanya
itu satu-satunya upaya efisiensi
yang paling memugnkinkan bagi
pengusaha untuk
mempertahankan geliat
industrinya.
“Dengan Vietnam, produktivitas
tenaga kerja Indonesia kalah
bersaing. Produktivitas tenaga
kerja di Indonesia rendah, tetapi
upahnya tinggi. Ini yang menjadi
beban para pengusaha,” ucap
Harijanto.
Saat dihubungi terpisah, Wakil
Ketua Umum Kamar Dagang dan
Industri (Kadin) Indonesia Bidang
Ketenagakerjaan dan Hubungan
Industrial Anton J. Supit juga
membenarkan, tak semua kasus
PHK dilaporkan kepada
pemerintah.
Menurutnya, tindakan PHK yang
terjadi selama ini dilakukan
dengan cara pemberhentian
secara baik-baik atas dasar
persetujuan bersama antara
perusahaan dan pekerja, dengan
tetap memenuhi semua
ketentuan perundang-
undangan.
“Sering kali [alasan perusahaan
melakukan PHK adalah] karena
alasan efisiensi. Namun, pekerja
yang keluar ini tidak dicarikan
pengganti [pekerjaan] tetapi
produktivitasnya tetap di
pertahankan,” ujarnya.
Oleh karena itu, dia
menegaskan, dibutuhkan peran
pemerintah dan para pelaku
usaha untuk membuka lebih
banyak lapangan pekerjaan bagi
2,5 juta angkatan kerja baru
setiap tahunnya.
“Ini penting untuk dilakukan agar
mengurangi jumlah
pengangguran akibat PHK.”
Sekretaris Jenderal Organisasi
Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI)
Timboel Siregar menambahkan,
pihaknya meragukan data
penurunan jumlah tenaga kerja
korban PHK yang dilansir
Kemenaker pada tahun ini.
Terlebih lagi, sebutnya, tahun ini
adalah tahun yang berat bagi
pelaku industri seiring dengan
gejolak nilai tukar rupiah dan
kondisi ekonomi yang tak
menentu. Akibatnya, dia
meyakini kasus PHK sebenarnya
masih banyak terjadi.
“Proses PHK ada yang selesai di
tingkat bipartit, mediasi, atau
berakhir sebagai kasus
perselisihan hubungan industrial
[PHI] dan Mahkamah Agung [MA].
Saya nilai, kasus PHK yang
diproses secara bipartit
biasanya luput terdata [oleh
Kemenaker]. Demikian juga di
tingkat PHI dan MA juga sering
luput dari pendataan di Dinas
Ketenagakerjaan,” tuturnya.
Sepanjang tahun ini, OPSI telah
menangani sebanyak 150 kasus
pekerja yang terkena PHK.
Angka ini lebih banyak
dibandingkan dengan tahun lalu
yang hanya mencapai 120 kasus
PHK.
“Selain itu, data Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial
Ketenagakerjaan [BPJS-TK] dari
Januari sampai dengan Oktober
tahun ini menunjukkan, jumlah
tenaga kerja yang [mencairkan]
klaim jaminan hari tua mencapai
1,6 juta orang. Sebanyak 480.000
orang di antaranya merupakan
korban PHK,” ucap Timboel.
Sebelumnya, DPR RI juga
mendesak Kemenaker untuk
segera menyelesaikan
rancangan Peraturan Menteri
Ketenagakerjaan (permenaker)
tentang Jaminan Sosial bagi
Pekerja Migran Indonesia pada
tahun ini.
Ketua Komisi IX DPR RI Dede
Yusuf mengatakan, permenaker
tersebut mendesak untuk
segera diterbitkan agar
pelayanan jaminan sosial ke
pekerja menjadi optimal.
”Kami meminta agar akhir tahun
ini dapat segera selesai karena
memang sudah terlalu lama.
Hampir 6 bulan yang lalu dan
sampai saat ini belum turun,”
ujarnya, akhir November.
Menurutnya, permenaker
tersebut akan menjadi
pegangan dan memperjelas
ketentuan layanan perlindungan
sosial yang dilakukan BPJS
Ketenaggakerjan.
Pasalnya, ada beberapa hal yang
tak bisa dilakukan BPJS -TK
saat ini akibat belum selesainya
permenaker tersebut. Salah
satunya yakni klaim saat pekerja
migran mengalami sakit di
negera penempatan.
“Ketika di-PHK, mereka tidak
bisa mendapatkan manfaat dan
saat sakit tidak bisa di-cover.
Klaim baru bisa dilakukan di
Tanah Air. Kami berharap ini bisa
diakomodasi di permenaker dan
segera diselesaikan,” katanya.
Editor : Wike Dita Herlinda
Oleh : Yanita Petriella

korban PHK PT
Freeport Indonesia berunjuk
rasa di Cek Point Mile 28, Timika,
Papua, Sabtu (19/8). - ANTARA/
Spedy Paereng
Bisnis.com, JAKARTA
Jumlah korban pemutusan
hubungan kerja (PHK) di
Indonesia hingga akhir tahun ini
diproyeksikan tidak akan
mencapai 4.000 orang, alias
rekor terendah sejak 2014.
Direktur Jenderal Pembinaan
Hubungan Industrial dan
Jaminan Sosial Ketenagakerjaan
(PHI-Jamsos) Kementerian
Ketenagakerjaan Haiyani
Rumondang mengatakan, jumlah
korban PHK sepanjang Januari
hingga September 2018
mencapai 3.362 orang tenaga
lerja.
Sepanjang tahun lalu, menurut
data Kemenaker, jumlah korban
PHK di Tanah Air menyentuh
9.822 orang tenaga kerja.
“Tahun ini jumlah PHK jauh lebih
sedikit bila dibandingkan dengan
tahun lalu dan tahun-tahun
sebelumnya. Kami perkirakan
hingga akhir tahun ini, jumlah
[korban] PHK tak mencapai 4.000
orang,” ujarnya kepada Bisnis,
Senin (10/12/2018).
Menurutnya, rekor penurunan
jumlah PHK pada tahun ini
dipengaruhi oleh berbagai
faktor.
Pertama, terdapat peningkatan
partisipasi tenaga kerja di
berbagai sektor industri. Kedua,
semakin banyak perusahaan
yang telah memiliki hubungan
industrial yang baik sehingga
mereka tidak perlu melalukan
tindakan sepihak berupa PHK.
Selain itu, lanjutnya, banyak
perusahaan menyiasati dampak
tekanan ekonomi pada tahun ini
dengan melakukan efisiensi
seperti mengurangi gaji dan
fasilitas pekerja di level atas,
mengurangi jumlah shift atau
jam lembur, mengurangi jam dan
hari kerja, serta meliburkan
pekerja secara bergilir untuk
sementara waktu agar
mencegah terjadinya PHK.
“Apabila PHK tidak bisa dihindari,
ada langkah-langkah yang harus
dilakukan seperti musyawarah.
Kan tidak bisa mem-PHK orang
begitu saja. Harus ada dialog
hingga mencapai kesepakatan
dengan serikat pekerja. Hak
pekerja harus dipenuhi,” kata
Haiyani.
Menanggapi laporan tersebut,
Menteri Ketenagakerjaan Hanif
Dhakiri menuturkan, pemerintah
masih mengkaji aturan
tunjangan bagi korban PHK
melalui dua program, yaitu
Unemployment Benefit (UB)
dan Skill Development Fund
(SDF).
“Prinsipnya ini menjadi bantalan
sosial bagi korban PHK. Kedua
jaminan ini ditujukan untuk
menghadapi adanya
kemungkinan perubahan
lapangan pekerjaan yang
tersedia dan menyesuaikan
tuntutan kemampuan tenaga
kerja yang diperlukan,” ucapnya.
Program SDF, lanjutnya, dapat
membantu mengatasi
kekhawatiran angkatan kerja
karena kekurangan keahlian.
Hal ini dilakukan agar seseorang
yang telah di-PHK dapat segera
pindah tempat kerja atau
mencari mata pencarian baru.
“Nantinya orang itu akan
mengalami re-training dan re-
skilling. Tujuannya adalah agar
dapat memiliki kemampuan
yang diperlukan guna memasuki
lapangan pekerjaan yang akan
dituju. Ada kebebasan pelatihan
yang diminati baik milik
pemerintah maupun swasta,
dan pembiayaannya dilakukan
oleh pemerintah,” terangnya.
Sementara itu, sambungnya,
program UB merupakan
tunjangan yang diberikan bagi
korban PHK untuk pemenuhan
biaya hidup.
Hal itu akan diberikan selama
pekerja yang mengalami PHK
melakukan peningkatan
kemampuan dan masa
pencarian kerja kembali.
Menurut Hanif, kedua jaminan itu
nantinya akan diberikan dalam
kurun waktu tertentu.
Hal tersebut bertujuan untuk
mencegah agar korban PHK
tidak hanya menggantungkan
diri pada pada dua jaminan
tersebut.
“Nanti diberikan dalam kurun
waktu tertentu, yaitu antara
enam bulan sampai satu tahun,”
ujar Hanif.
ENGGAN MELAPOR
Sementara itu, Ketua Bidang
Ketenagakerjaan Asosiasi
Pengusaha Indonesia (Apindo)
Harijanto berpendapat, klaim
penurunan jumlah PHK
sebenarnya terjadi karena masih
banyak perusahaan yang
enggan melaporkan angka pasti
pekerjanya yang di-PHK.
“Banyak yang kompromi karena
membayar orang yang kena PHK
demikian mahal, enggak ada
yang lapor, bayar 30 bulan gaji,
siapa yang sanggup bayar?”
katanya.
Dia pun mengakui kenaikan upah
yang terbilang tinggi di tengah
situasi ekonomi yang masih tak
menentu sebenarnya menjadi
beban bagi para pengusaha.
Dampaknya, tindakan PHK pun
tak terhindarkan karena hanya
itu satu-satunya upaya efisiensi
yang paling memugnkinkan bagi
pengusaha untuk
mempertahankan geliat
industrinya.
“Dengan Vietnam, produktivitas
tenaga kerja Indonesia kalah
bersaing. Produktivitas tenaga
kerja di Indonesia rendah, tetapi
upahnya tinggi. Ini yang menjadi
beban para pengusaha,” ucap
Harijanto.
Saat dihubungi terpisah, Wakil
Ketua Umum Kamar Dagang dan
Industri (Kadin) Indonesia Bidang
Ketenagakerjaan dan Hubungan
Industrial Anton J. Supit juga
membenarkan, tak semua kasus
PHK dilaporkan kepada
pemerintah.
Menurutnya, tindakan PHK yang
terjadi selama ini dilakukan
dengan cara pemberhentian
secara baik-baik atas dasar
persetujuan bersama antara
perusahaan dan pekerja, dengan
tetap memenuhi semua
ketentuan perundang-
undangan.
“Sering kali [alasan perusahaan
melakukan PHK adalah] karena
alasan efisiensi. Namun, pekerja
yang keluar ini tidak dicarikan
pengganti [pekerjaan] tetapi
produktivitasnya tetap di
pertahankan,” ujarnya.
Oleh karena itu, dia
menegaskan, dibutuhkan peran
pemerintah dan para pelaku
usaha untuk membuka lebih
banyak lapangan pekerjaan bagi
2,5 juta angkatan kerja baru
setiap tahunnya.
“Ini penting untuk dilakukan agar
mengurangi jumlah
pengangguran akibat PHK.”
Sekretaris Jenderal Organisasi
Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI)
Timboel Siregar menambahkan,
pihaknya meragukan data
penurunan jumlah tenaga kerja
korban PHK yang dilansir
Kemenaker pada tahun ini.
Terlebih lagi, sebutnya, tahun ini
adalah tahun yang berat bagi
pelaku industri seiring dengan
gejolak nilai tukar rupiah dan
kondisi ekonomi yang tak
menentu. Akibatnya, dia
meyakini kasus PHK sebenarnya
masih banyak terjadi.
“Proses PHK ada yang selesai di
tingkat bipartit, mediasi, atau
berakhir sebagai kasus
perselisihan hubungan industrial
[PHI] dan Mahkamah Agung [MA].
Saya nilai, kasus PHK yang
diproses secara bipartit
biasanya luput terdata [oleh
Kemenaker]. Demikian juga di
tingkat PHI dan MA juga sering
luput dari pendataan di Dinas
Ketenagakerjaan,” tuturnya.
Sepanjang tahun ini, OPSI telah
menangani sebanyak 150 kasus
pekerja yang terkena PHK.
Angka ini lebih banyak
dibandingkan dengan tahun lalu
yang hanya mencapai 120 kasus
PHK.
“Selain itu, data Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial
Ketenagakerjaan [BPJS-TK] dari
Januari sampai dengan Oktober
tahun ini menunjukkan, jumlah
tenaga kerja yang [mencairkan]
klaim jaminan hari tua mencapai
1,6 juta orang. Sebanyak 480.000
orang di antaranya merupakan
korban PHK,” ucap Timboel.
Sebelumnya, DPR RI juga
mendesak Kemenaker untuk
segera menyelesaikan
rancangan Peraturan Menteri
Ketenagakerjaan (permenaker)
tentang Jaminan Sosial bagi
Pekerja Migran Indonesia pada
tahun ini.
Ketua Komisi IX DPR RI Dede
Yusuf mengatakan, permenaker
tersebut mendesak untuk
segera diterbitkan agar
pelayanan jaminan sosial ke
pekerja menjadi optimal.
”Kami meminta agar akhir tahun
ini dapat segera selesai karena
memang sudah terlalu lama.
Hampir 6 bulan yang lalu dan
sampai saat ini belum turun,”
ujarnya, akhir November.
Menurutnya, permenaker
tersebut akan menjadi
pegangan dan memperjelas
ketentuan layanan perlindungan
sosial yang dilakukan BPJS
Ketenaggakerjan.
Pasalnya, ada beberapa hal yang
tak bisa dilakukan BPJS -TK
saat ini akibat belum selesainya
permenaker tersebut. Salah
satunya yakni klaim saat pekerja
migran mengalami sakit di
negera penempatan.
“Ketika di-PHK, mereka tidak
bisa mendapatkan manfaat dan
saat sakit tidak bisa di-cover.
Klaim baru bisa dilakukan di
Tanah Air. Kami berharap ini bisa
diakomodasi di permenaker dan
segera diselesaikan,” katanya.
Editor : Wike Dita Herlinda
1
1.6K
14


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan