- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Masa Silam & Indera Keenam


TS
djendradjenar
Masa Silam & Indera Keenam
Bagian 1
Sebuah cermin kuno, bentuknya lonjong seperti telur, pinggirannya dilapisi besi bercat hitam, tepat di sisi bagian tengahnya ada engsel yang tersambung pada dua tiang sejajar dan mengapit cermin kuno itu, yang entah dari mana asalnya. Cermin yang hidup. Cermin yang dihuni oleh senyawa tak kasat mata. Menurut Parit, penghuninya adalah Serupa Perempuan Tanpa Pakaian, ia menyebutnya begitu. Tak ada penjelasan lebih selain hal itu. Si penghuni cermin kuno tak suka interogasi. Hanya kembang kamboja yang sangat ia sukai. Kembang yang kebanyakan tumbuh subur di area pemakaman, tempat yang dihuni manusia-manusia yang jiwanya telah mati.
Sebelumnya, disalah satu kamar yang selalu nampak terlihat pucat meski bercat putih dalam apartemen itu, di mana cermin kuno itu diletakan beralas sehelai kain putih berbahan sutera, kain itu menutupi keseluruhan meja bundar. Dan ada sepasang lilin dalam dua wadah kuno bergambar seorang Dewi yang kepalanya dihiasi rangkaian kembang. Parit meyakini, rangkaian kembang bak mahkota itu adalah juga kamboja. Semalam, beberapa jam sebelum tepat tengah malam, Parit terlebih dahulu memanjakan si penghuni dengan puluhan kembang kamboja yang ditaruhnya mengelilingi cermin kuno. Hanya itu sesajen yang dibutuhkan agar cermin kuno mampu bekerja dengan baik. Bekerja secara luar biasa dengan cara memperlihatkan hal-hal yang berhubungan dengan dunia supranatural yang tak ternalar oleh akal.
Setelah semuanya selesai dilakukan, cermin kuno yang diletakan berdiri di antara dua tiang itu kembali terasa beraura suram dan menghitam. Si penghuni cermin kuno pun keluar. Seperti asap yang menggumpal secara perlahan. Serupa Perempuan Tanpa Pakaian itu melesat menuju tempat lain yang juga berada di ruangan itu. Sebuah kursi goyang. Terbuat dari rotan. Mungkin umurnya sudah lebih dari seabad. Parit selalu bergetar manakala itu terjadi, ketika segumpal asap hitam itu mewujud menjadi kelebatan berupa helaian-helaian rambut yang panjang. Kira-kira tiga meter panjang rambut itu. Rambut yang kemudian menutupi bagian vital wujud serupa perempuan itu, yang memang tanpa pakaian.
Sebelum menghilang dari sepasang mata yang memandang, Serupa Perempuan Tanpa Pakaian itu mencabut sisir dari atas kepalanya. Wajahnya tak pernah terlihat. Sepertinya itu adalah sesuatu yang terlarang. Dan sisir itu lebih menyerupai tulang belulang yang tipis, mungkin tulang ikan zaman purbakala, namun lebih berkesan seram. Parit kemudian berjalan mundur. Pelan. Perlahan. Serupa Perempuan Tanpa Pakaian itu sesaat menyisir rambutnya, namun meski telah berjam-jam melakukannya, rambut sepanjang tiga meter itu tak pernah rapi.
Lalu, Parit keluar dari dalam kamar yang resmi ia keramatkan itu seminggu setelah ia memutuskan untuk membeli cermin kuno dan kursi goyang itu di sebuah toko antik yang di kelola orang keturunan Tionghoa di jalan Braga, Bandung. Awalnya ia mendapatkan tekanan berupa dorongan yang begitu kuat untuk memiliki cermin kuno dan kursi goyang itu karena kerap kali melewati toko yang menjual barang antik itu hampir setiap malam, dulu ketika ia masih menjadi berandalan malam. Setelah lewat beberapa tahun, Parit rela menguras tabungan karena kedua benda kuno itu dibandrol dengan harga tinggi, Parit justru mendapatkan ragam penglihatan bernuansa keganjilan yang mau tidak mau sangat menguras pikirannya untuk hanya memecahkan teka teki penglihatan itu.
Dulu, karena dihinggapi rasa penasaran, Parit pernah sengaja mengintip, Serupa Perempuan Tanpa Pakaian itu dilihatnya sedang menari. Rambut panjangnya digunakan sebagai selempang dan dimainkannya dengan gerakan gemulai. Tarian itu seperti Ronggeng. Dan di lain hari, ia pun kembali pernah melakukan hal yang sama, ketika mengintip, yang dilihatnya sosok itu sedang menduduki kursi goyang sambil bersenandung. Tak ubahnya seperti Sinden.
Suatu hari, beberapa bulan setelah membeli cermin kuno dan kursi goyang itu, Parit merasakan empati yang mendalam terhadap Serupa Perempuan Tanpa Pakaian. Empati itu adalah selangkah wujud rasa simpati yang muncul dari dalam hati karena Parit merasa banyak mendapatkan penglihatan. Parit, karena perasaannya yang mendalam itu kemudian memberikan beragam sesajen yang dibelinya di pasar tradisional, di sebuah lapak tukang rampe, tentu saja selain kembang kamboja. Namun, si penghuni cermin kuno itu tidak menyukainya. Padahal dalam dunia gaib, hampir semua mahluk tak kasat mata selalu menyukai sesajen.
Menurut kepercayaan para orang tua zaman dulu, tentu saja dengan kegiatan serupa yang selalu diperlihatkan para dukun, cenayang dan ahli nujum, ada hari-hari tertentu untuk menyuguhkan sesajen, malam selasa dan malam jumat. Terlebih lagi menjelang malam kliwon di antara dua hari yang dikhususkan itu. Konon, orang yang memberikan sesajen harus bersih lahir batinnya, tidak boleh ada hubungan birahi sebelumnya, dan jika diperlukan, seharian itu tak boleh meninggalkan rumah, atau tempat di mana sesajen itu diletakan.
“Apa ini tidak musrik?” Kata sang kekasih pada suatu hari ketika mendapati Parit sibuk menyiapkan sesajen.
“Tentu saja tidak. Ini adalah bentuk ucapan terima kasih kepada si penghuni cermin kuno.” Kata Parit meyakinkan. “Di dunia ini tidak hanya ada kita, manusia.” Katanya lagi.
“Tapi hal semacam ini dilarang.” Ucap sang kekasih menegaskan.
“Siapa yang melarang? Agama? Agamamu tentunya. Aku ini tidak beragama. Aku tidak punya Tuhan.” Kata Parit dengan tenang.
“Jangan sembarangan!” Sang kekasih merasa jengah.
“Itu benar. Di mana Tuhan ketika hidupku menderita? Ketika aku terpaksa mencari sesuap nasi di jalanan yang
kehidupannya keparat itu. Lebih jauh lagi, di mana Tuhan ketika seorang ibu tega membuangku?” Jantung Parit berdebar.
“Parit, sudahlah. Jangan diteruskan.” Kata sang kekasih dengan suara lirih.
Perempuan yang menjadi kekasihnya itu selalu terganggu jika Parit mulai membicarakan masa lalu. Sebuah masa yang bagi Parit adalah semacam kutukan. Dan anehnya, Parit sama sekali tak memperbolehkan kekasihnya untuk sekedar melihat ritual yang dilakukannya di dalam kamar yang dikeramatkan. Kamar itu terkunci rapat dan terlarang bagi sang kekasih yang kerap dihinggapi rasa penasaran mendalam.
“Tidak, Tuhan tidak ada!” Nada suara Parit meninggi. Meski dalam hatinya ia meyakini sesuatu yang gaib, seperti halnya si penghuni cermin kuno. Tetapi untuk ukuran Tuhan, entahlah, Parit masih menyimpan dendam di masa lalu, sesuatu yang membuatnya berpikir bahwa hidup itu tidak adil.
Sang kekasih diam. Situasi yang kerap terulang itu kembali memaksanya bungkam. Ia tahu harus segera mengakhiri percakapan dan membiarkan laki-laki di hadapannya melakukan apa yang diinginkannya. Memberikan sesajen. Hal itu kemudian dilakukan Parit seorang diri selepas pukul tujuh malam. Setelahnya, ia tidak meninggalkan apartemen. Ia tidak tidur. Juga tidak bercengkerama mesra karena kekasihnya bekerja giliran malam sebagai perawat di sebuah rumah sakit kenamaan di kota Bandung.
Hingga berjam-jam lamanya yang dilakukan Parit hanya merokok dan minum kopi hitam yang pemanisnya menggunakan gula merah. Ia duduk di ruang tengah dalam keadaan lampu temaram. Dan menahan kantuk. Tiba-tiba, dari balik kamar yang ia keramatkan terdengar kegaduhan. Parit pun terjaga. Rasa kantuk hilang entah ke mana. Ada yang lain yang dirasakannya. Ia merasa tidak enak hati, kegaduhan yang mengganggu pendengarannya lebih menyerupai aksi seseorang yang sedang mengamuk dan membanting barang-barang. Namun Parit hanya diam. Ia tak berani untuk sekedar membuka pintu kamar itu.
Menjelang subuh. Parit merasa itu adalah waktu yang tepat untuk membuka pintu, masuk ke dalam kamar yang dikeramatkan. Dengan perlahan pintu itu dibukanya. Jantung berdegup kencang. Keringat bercucuran. Dan, terbukalah pintu kamar itu. Parit kaget dan tersentak. Sejenak yang dilakukannya hanya berdiri mematung. Seluruh otot tubuhnya menjadi kaku. Sesajen yang disajikan Parit berantakan di atas lantai. Semuanya. Tak terkecuali.
Kemudian kursi goyang terlihat bergerak perlahan. Parit, yang kedalaman pandangan matanya mampu menembus alam tak kasat mata itu mendapati Serupa Perempuan Tanpa Pakaian duduk di kursi goyang dengan posisi membelakangi. Tiga meter panjang rambutnya terjuntai melalui leher kursi. Ujung-ujung rambut itu lebih menyerupai ijuk. Begitu tebal dan kasar. Sekian detik yang menegangkan itu perlahan dikuasai Parit. Ia memberanikan diri untuk bertanya, dengan napas terengah-engah.
“Maaf, apa Mbok tidak suka?” Tanya Parit. Suaranya datar. Namun bergetar.
Sebenarnya pertanyaan itu sudah terjawab dengan sesajen yang berantakan di atas lantai. Parit hanya penasaran, ia ingin mendengar suara Serupa Perempuan Tanpa Pakaian yang berkelebatan di hadapannya itu. Kemudian ujung-ujung rambut itu bergerak. Persis seperti ular. Dan gerakan bak tanaman liar merambat itu membentuk huruf-huruf. Lalu, Parit dengan jelas mengetahui bahwa sosok tak beraga itu tak menyukai sesajen.
“Iya. Saya minta maaf, Mbok.” Ucap Parit lalu menelan ludah. “Kalau boleh tahu, siapa nama Mbok?” Katanya lagi dengan perasaan berdebar-debar.
Untuk kedua kalinya ujung-ujung rambut itu memberikan jawaban mencengangkan.
“Ah, Nuningsih. Mbok Nuningsih.” Ucap Parit pelan. Kedengarannya seperti nama orang Jawa. Katanya dalam hati. Dan ia sangat yakin. “Berapa umur Mbok Nuningsih? Kalau saya boleh tahu.” Tanyanya lagi penasaran.
Ada jeda cukup lama sebelum akhirnya ujung-ujung rambut itu memberikan jawaban yang diinginkan Parit. Delapan puluh dua tahun. Usia yang terbilang masih muda. Bahkan belum mencapai angka seratus tahun, karena ia berpikir sudah mencapai ratusan tahun. Lalu melintaslah sebuah pemikiran. Parit, entah kenapa merasa mendapatkan keyakinan, bahwa Mbok Nuningsih itu korban pembunuhan. Dan mengingat sosok perempuan itu tidak mengenakan pakaian, bisa jadi sebelumnya adalah korban pemerkosaan.
Hati Parit menyalak. “Ya, ia pasti dirudapaksa sebelum dibunuh. Dan ia perempuan Jawa.”
Naluri Parit kemudian menghubungkan dugaan-dugaan itu. Dan ia teringat pula penjelasan si pemilik toko barang antik itu, keturunan ras Tionghoa itu mengatakan bahwa cermin kuno dan kursi goyang itu didapatkan dari daerah perkampungan di Jawa, dekat sungai Brantas. Kemudian rasa penasaran memaksa Parit untuk mendapatkan kebenaran yang diyakininya itu.
“Apa, Mbok korban pembantaian massal?” Parit melontarkan pertanyaan. Dan nampaknya itu adalah hal yang menyakitkan karena membuka luka lama. Parit merobek luka itu dan membuatnya menganga.
Dalam hitungan detik, suasana berubah penuh ketegangan, ujung-ujung rambut itu menjelma bak kipas raksasa. Serupa Perempuan Tak Berpakaian itu marah. Ia mengibaskan kipas raksasa itu dengan sekali hentakan. Parit tersungkur keluar dari dalam kamar. Ia jatuh terjerembab di atas lantai. Dan pintu itu kemudian tertutup rapat. Parit kaget setengah mati, napasnya kembali terengah-engah. Jantungnya berdebar kencang.
Dan, dalam kondisi yang luar biasa tak karuan itulah ia yakin telah mendapatkan jawabannya. Bahwa apa yang sejenak lalu dipikirkannya adalah sebuah kebenaran pahit yang menyakitkan. Kebenaran yang membuat arwah Mbok Nuningsih bergentayangan. Ada dendam yang belum terbalaskan. Dan sejak kejadian itu, Parit diam-diam tergerak untuk mencaritahu, apapun itu. Ia merasa sudah terikat dan bertanggung jawab dengan apa yang terjadi pada Serupa Perempuan Tanpa Pakaian itu. Ada beban berat yang kemudian terpikul dipundaknya, seolah Mbok Nuningsih selalu mengikuti ke manapun Parit pergi. Dan dalam waktu tertentu, sosok itu menjelma dalam wujud seorang sinden Jawa.
Adakah ia yang dipilih, untuk membalaskan dendam di masa silam? Parit diam. Namun hatinya geram. Sebuah ingatan kemudian datang menghantam, Parit diingatkan memori yang datang dari masa silam, ketika dirinya masih kecil dimana melukis adalah bakatnya yang terpendam. Parit pun tak kuasa mengingat gambaran masa lalu itu yang baginya adalah masa-masa yang begitu jahanam.

Sebuah cermin kuno, bentuknya lonjong seperti telur, pinggirannya dilapisi besi bercat hitam, tepat di sisi bagian tengahnya ada engsel yang tersambung pada dua tiang sejajar dan mengapit cermin kuno itu, yang entah dari mana asalnya. Cermin yang hidup. Cermin yang dihuni oleh senyawa tak kasat mata. Menurut Parit, penghuninya adalah Serupa Perempuan Tanpa Pakaian, ia menyebutnya begitu. Tak ada penjelasan lebih selain hal itu. Si penghuni cermin kuno tak suka interogasi. Hanya kembang kamboja yang sangat ia sukai. Kembang yang kebanyakan tumbuh subur di area pemakaman, tempat yang dihuni manusia-manusia yang jiwanya telah mati.
Sebelumnya, disalah satu kamar yang selalu nampak terlihat pucat meski bercat putih dalam apartemen itu, di mana cermin kuno itu diletakan beralas sehelai kain putih berbahan sutera, kain itu menutupi keseluruhan meja bundar. Dan ada sepasang lilin dalam dua wadah kuno bergambar seorang Dewi yang kepalanya dihiasi rangkaian kembang. Parit meyakini, rangkaian kembang bak mahkota itu adalah juga kamboja. Semalam, beberapa jam sebelum tepat tengah malam, Parit terlebih dahulu memanjakan si penghuni dengan puluhan kembang kamboja yang ditaruhnya mengelilingi cermin kuno. Hanya itu sesajen yang dibutuhkan agar cermin kuno mampu bekerja dengan baik. Bekerja secara luar biasa dengan cara memperlihatkan hal-hal yang berhubungan dengan dunia supranatural yang tak ternalar oleh akal.
Setelah semuanya selesai dilakukan, cermin kuno yang diletakan berdiri di antara dua tiang itu kembali terasa beraura suram dan menghitam. Si penghuni cermin kuno pun keluar. Seperti asap yang menggumpal secara perlahan. Serupa Perempuan Tanpa Pakaian itu melesat menuju tempat lain yang juga berada di ruangan itu. Sebuah kursi goyang. Terbuat dari rotan. Mungkin umurnya sudah lebih dari seabad. Parit selalu bergetar manakala itu terjadi, ketika segumpal asap hitam itu mewujud menjadi kelebatan berupa helaian-helaian rambut yang panjang. Kira-kira tiga meter panjang rambut itu. Rambut yang kemudian menutupi bagian vital wujud serupa perempuan itu, yang memang tanpa pakaian.
Sebelum menghilang dari sepasang mata yang memandang, Serupa Perempuan Tanpa Pakaian itu mencabut sisir dari atas kepalanya. Wajahnya tak pernah terlihat. Sepertinya itu adalah sesuatu yang terlarang. Dan sisir itu lebih menyerupai tulang belulang yang tipis, mungkin tulang ikan zaman purbakala, namun lebih berkesan seram. Parit kemudian berjalan mundur. Pelan. Perlahan. Serupa Perempuan Tanpa Pakaian itu sesaat menyisir rambutnya, namun meski telah berjam-jam melakukannya, rambut sepanjang tiga meter itu tak pernah rapi.
Lalu, Parit keluar dari dalam kamar yang resmi ia keramatkan itu seminggu setelah ia memutuskan untuk membeli cermin kuno dan kursi goyang itu di sebuah toko antik yang di kelola orang keturunan Tionghoa di jalan Braga, Bandung. Awalnya ia mendapatkan tekanan berupa dorongan yang begitu kuat untuk memiliki cermin kuno dan kursi goyang itu karena kerap kali melewati toko yang menjual barang antik itu hampir setiap malam, dulu ketika ia masih menjadi berandalan malam. Setelah lewat beberapa tahun, Parit rela menguras tabungan karena kedua benda kuno itu dibandrol dengan harga tinggi, Parit justru mendapatkan ragam penglihatan bernuansa keganjilan yang mau tidak mau sangat menguras pikirannya untuk hanya memecahkan teka teki penglihatan itu.
Dulu, karena dihinggapi rasa penasaran, Parit pernah sengaja mengintip, Serupa Perempuan Tanpa Pakaian itu dilihatnya sedang menari. Rambut panjangnya digunakan sebagai selempang dan dimainkannya dengan gerakan gemulai. Tarian itu seperti Ronggeng. Dan di lain hari, ia pun kembali pernah melakukan hal yang sama, ketika mengintip, yang dilihatnya sosok itu sedang menduduki kursi goyang sambil bersenandung. Tak ubahnya seperti Sinden.
Suatu hari, beberapa bulan setelah membeli cermin kuno dan kursi goyang itu, Parit merasakan empati yang mendalam terhadap Serupa Perempuan Tanpa Pakaian. Empati itu adalah selangkah wujud rasa simpati yang muncul dari dalam hati karena Parit merasa banyak mendapatkan penglihatan. Parit, karena perasaannya yang mendalam itu kemudian memberikan beragam sesajen yang dibelinya di pasar tradisional, di sebuah lapak tukang rampe, tentu saja selain kembang kamboja. Namun, si penghuni cermin kuno itu tidak menyukainya. Padahal dalam dunia gaib, hampir semua mahluk tak kasat mata selalu menyukai sesajen.
Menurut kepercayaan para orang tua zaman dulu, tentu saja dengan kegiatan serupa yang selalu diperlihatkan para dukun, cenayang dan ahli nujum, ada hari-hari tertentu untuk menyuguhkan sesajen, malam selasa dan malam jumat. Terlebih lagi menjelang malam kliwon di antara dua hari yang dikhususkan itu. Konon, orang yang memberikan sesajen harus bersih lahir batinnya, tidak boleh ada hubungan birahi sebelumnya, dan jika diperlukan, seharian itu tak boleh meninggalkan rumah, atau tempat di mana sesajen itu diletakan.
“Apa ini tidak musrik?” Kata sang kekasih pada suatu hari ketika mendapati Parit sibuk menyiapkan sesajen.
“Tentu saja tidak. Ini adalah bentuk ucapan terima kasih kepada si penghuni cermin kuno.” Kata Parit meyakinkan. “Di dunia ini tidak hanya ada kita, manusia.” Katanya lagi.
“Tapi hal semacam ini dilarang.” Ucap sang kekasih menegaskan.
“Siapa yang melarang? Agama? Agamamu tentunya. Aku ini tidak beragama. Aku tidak punya Tuhan.” Kata Parit dengan tenang.
“Jangan sembarangan!” Sang kekasih merasa jengah.
“Itu benar. Di mana Tuhan ketika hidupku menderita? Ketika aku terpaksa mencari sesuap nasi di jalanan yang
kehidupannya keparat itu. Lebih jauh lagi, di mana Tuhan ketika seorang ibu tega membuangku?” Jantung Parit berdebar.
“Parit, sudahlah. Jangan diteruskan.” Kata sang kekasih dengan suara lirih.
Perempuan yang menjadi kekasihnya itu selalu terganggu jika Parit mulai membicarakan masa lalu. Sebuah masa yang bagi Parit adalah semacam kutukan. Dan anehnya, Parit sama sekali tak memperbolehkan kekasihnya untuk sekedar melihat ritual yang dilakukannya di dalam kamar yang dikeramatkan. Kamar itu terkunci rapat dan terlarang bagi sang kekasih yang kerap dihinggapi rasa penasaran mendalam.
“Tidak, Tuhan tidak ada!” Nada suara Parit meninggi. Meski dalam hatinya ia meyakini sesuatu yang gaib, seperti halnya si penghuni cermin kuno. Tetapi untuk ukuran Tuhan, entahlah, Parit masih menyimpan dendam di masa lalu, sesuatu yang membuatnya berpikir bahwa hidup itu tidak adil.
Sang kekasih diam. Situasi yang kerap terulang itu kembali memaksanya bungkam. Ia tahu harus segera mengakhiri percakapan dan membiarkan laki-laki di hadapannya melakukan apa yang diinginkannya. Memberikan sesajen. Hal itu kemudian dilakukan Parit seorang diri selepas pukul tujuh malam. Setelahnya, ia tidak meninggalkan apartemen. Ia tidak tidur. Juga tidak bercengkerama mesra karena kekasihnya bekerja giliran malam sebagai perawat di sebuah rumah sakit kenamaan di kota Bandung.
Hingga berjam-jam lamanya yang dilakukan Parit hanya merokok dan minum kopi hitam yang pemanisnya menggunakan gula merah. Ia duduk di ruang tengah dalam keadaan lampu temaram. Dan menahan kantuk. Tiba-tiba, dari balik kamar yang ia keramatkan terdengar kegaduhan. Parit pun terjaga. Rasa kantuk hilang entah ke mana. Ada yang lain yang dirasakannya. Ia merasa tidak enak hati, kegaduhan yang mengganggu pendengarannya lebih menyerupai aksi seseorang yang sedang mengamuk dan membanting barang-barang. Namun Parit hanya diam. Ia tak berani untuk sekedar membuka pintu kamar itu.
Menjelang subuh. Parit merasa itu adalah waktu yang tepat untuk membuka pintu, masuk ke dalam kamar yang dikeramatkan. Dengan perlahan pintu itu dibukanya. Jantung berdegup kencang. Keringat bercucuran. Dan, terbukalah pintu kamar itu. Parit kaget dan tersentak. Sejenak yang dilakukannya hanya berdiri mematung. Seluruh otot tubuhnya menjadi kaku. Sesajen yang disajikan Parit berantakan di atas lantai. Semuanya. Tak terkecuali.
Kemudian kursi goyang terlihat bergerak perlahan. Parit, yang kedalaman pandangan matanya mampu menembus alam tak kasat mata itu mendapati Serupa Perempuan Tanpa Pakaian duduk di kursi goyang dengan posisi membelakangi. Tiga meter panjang rambutnya terjuntai melalui leher kursi. Ujung-ujung rambut itu lebih menyerupai ijuk. Begitu tebal dan kasar. Sekian detik yang menegangkan itu perlahan dikuasai Parit. Ia memberanikan diri untuk bertanya, dengan napas terengah-engah.
“Maaf, apa Mbok tidak suka?” Tanya Parit. Suaranya datar. Namun bergetar.
Sebenarnya pertanyaan itu sudah terjawab dengan sesajen yang berantakan di atas lantai. Parit hanya penasaran, ia ingin mendengar suara Serupa Perempuan Tanpa Pakaian yang berkelebatan di hadapannya itu. Kemudian ujung-ujung rambut itu bergerak. Persis seperti ular. Dan gerakan bak tanaman liar merambat itu membentuk huruf-huruf. Lalu, Parit dengan jelas mengetahui bahwa sosok tak beraga itu tak menyukai sesajen.
“Iya. Saya minta maaf, Mbok.” Ucap Parit lalu menelan ludah. “Kalau boleh tahu, siapa nama Mbok?” Katanya lagi dengan perasaan berdebar-debar.
Untuk kedua kalinya ujung-ujung rambut itu memberikan jawaban mencengangkan.
“Ah, Nuningsih. Mbok Nuningsih.” Ucap Parit pelan. Kedengarannya seperti nama orang Jawa. Katanya dalam hati. Dan ia sangat yakin. “Berapa umur Mbok Nuningsih? Kalau saya boleh tahu.” Tanyanya lagi penasaran.
Ada jeda cukup lama sebelum akhirnya ujung-ujung rambut itu memberikan jawaban yang diinginkan Parit. Delapan puluh dua tahun. Usia yang terbilang masih muda. Bahkan belum mencapai angka seratus tahun, karena ia berpikir sudah mencapai ratusan tahun. Lalu melintaslah sebuah pemikiran. Parit, entah kenapa merasa mendapatkan keyakinan, bahwa Mbok Nuningsih itu korban pembunuhan. Dan mengingat sosok perempuan itu tidak mengenakan pakaian, bisa jadi sebelumnya adalah korban pemerkosaan.
Hati Parit menyalak. “Ya, ia pasti dirudapaksa sebelum dibunuh. Dan ia perempuan Jawa.”
Naluri Parit kemudian menghubungkan dugaan-dugaan itu. Dan ia teringat pula penjelasan si pemilik toko barang antik itu, keturunan ras Tionghoa itu mengatakan bahwa cermin kuno dan kursi goyang itu didapatkan dari daerah perkampungan di Jawa, dekat sungai Brantas. Kemudian rasa penasaran memaksa Parit untuk mendapatkan kebenaran yang diyakininya itu.
“Apa, Mbok korban pembantaian massal?” Parit melontarkan pertanyaan. Dan nampaknya itu adalah hal yang menyakitkan karena membuka luka lama. Parit merobek luka itu dan membuatnya menganga.
Dalam hitungan detik, suasana berubah penuh ketegangan, ujung-ujung rambut itu menjelma bak kipas raksasa. Serupa Perempuan Tak Berpakaian itu marah. Ia mengibaskan kipas raksasa itu dengan sekali hentakan. Parit tersungkur keluar dari dalam kamar. Ia jatuh terjerembab di atas lantai. Dan pintu itu kemudian tertutup rapat. Parit kaget setengah mati, napasnya kembali terengah-engah. Jantungnya berdebar kencang.
Dan, dalam kondisi yang luar biasa tak karuan itulah ia yakin telah mendapatkan jawabannya. Bahwa apa yang sejenak lalu dipikirkannya adalah sebuah kebenaran pahit yang menyakitkan. Kebenaran yang membuat arwah Mbok Nuningsih bergentayangan. Ada dendam yang belum terbalaskan. Dan sejak kejadian itu, Parit diam-diam tergerak untuk mencaritahu, apapun itu. Ia merasa sudah terikat dan bertanggung jawab dengan apa yang terjadi pada Serupa Perempuan Tanpa Pakaian itu. Ada beban berat yang kemudian terpikul dipundaknya, seolah Mbok Nuningsih selalu mengikuti ke manapun Parit pergi. Dan dalam waktu tertentu, sosok itu menjelma dalam wujud seorang sinden Jawa.
Adakah ia yang dipilih, untuk membalaskan dendam di masa silam? Parit diam. Namun hatinya geram. Sebuah ingatan kemudian datang menghantam, Parit diingatkan memori yang datang dari masa silam, ketika dirinya masih kecil dimana melukis adalah bakatnya yang terpendam. Parit pun tak kuasa mengingat gambaran masa lalu itu yang baginya adalah masa-masa yang begitu jahanam.
***



anasabila memberi reputasi
1
6K
27


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan