- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Dana Asing


TS
LordFaries
Dana Asing
Pembalikan modal asing (reverse outflow) adalah gejala yang ditakutkan oleh negara-negara emerging markets, termasuk Indonesia. Gelombang arus modal keluar terjadi sejak Bank Sentral Amerika Serikat (The Fed) menormalisasi kebijakan moneter lewat kenaikan suku bunga. Kebijakan The Fed akan diikuti oleh normalisasi kebijakan moneter di Eropa dan sejumlah negara maju lainnya.
Langkah tersebut bakal menyeret pada ketidakpastian finansial global, sehingga berujung pada tingginya premi risiko investasi ke emerging markets, khususnya investasi portofolio. Diperburuk oleh sengketa dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok, hot money cenderung kembali ke negara maju, utamanya Amerika Serikat, yang dianggap aman.
Sebagai ilustrasi, aliran modal asing ke emerging markets yang pada 2017 mencapai US$ 101,16 miliar, turun tajam tahun ini menjadi hanya sekitar US$ 6,54 miliar per pertengahan November 2018. Demikian pula untuk Indonesia, aliran investasi portofolio yang pada 2017 menembus US$ 24,7 miliar, kemudian mendadak keluar sejak Februari 2018 dengan jumlah yang masif. Akumulasi penjualan bersih (net selling) asing di pasar saham memuncak pada Oktober lalu dengan nilai Rp 54,6 triliun (year to date).
Beruntung keadaan berubah. Sejak November, asing kembali masuk ke Indonesia. Selama November, terjadi net buying asing di pasar saham dengan nilai Rp 5,6 triliun. Hal itu membuat net selling asing Januari-November menurun jadi Rp 45,6 triliun. Net buying asing masih terjadi selama Desember. Asing juga memburu Surat Berharga Negara (SBN) yang selama November saja mencapai Rp 35 triliun.
Berlanjutnya arus capital inflow dipengaruhi oleh sejumlah sentimen global maupun domestik. Dari faktor global, pernyataan Gubernur The Fed Jerome Powell bahwa The Fed akan mengurangi kadar kenaikan suku bunga acuan dan mengakhiri siklus pengetatan moneter disambut positif oleh pelaku pasar finansial global.
Sentimen positif lain adalah "gencatan senjata" antara Presiden AS Donald Trump dan Presiden Tiongkok Xi Jinping. Mereka sepakat untuk tidak memberlakukan tarif bea masuk (BM) tambahan terhadap barang impor dari masing-masing negara setelah 1 Januari 2019 sebagaimana direncanakan sebelumnya. Selama 90 hari ke depan, AS dan Tiongkok akan bernegosiasi secara intensif guna menyelesaikan sejumlah sengketa dagang yang melibatkan kedua negara.
Sedangkan dari dalam negeri, tiga kebijakan penting yang dicakup dalam Paket Kebijakan Ekonomi ke-16 juga mendapat persepsi positif dari investor. Selain itu, pernyataan Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo untuk selalu ahead the curve dan mengkalibrasi suku bunga memberikan sinyal bahwa BI akan senantiasa menjaga daya saing instrumen keuangan di Indonesia.
Ke depan, agar investor asing semakin percaya terhadap Indonesia, pemerintah dan Bank Indonesia harus senantiasa menjaga kebijakan makro yang prudent dan memperkokoh fundamental perekonomian. Asing akan selalu melihat bagaimana fundamental perekonomian sebuah negara. Defisit neraca transaksi berjalan (current account deficit/CAD) yang selama ini memberikan cacat terhadap fundamental makro kita mesti serius dibenahi.
Pemerintah terlihat memiliki komitmen untuk menekan defisit tersebut di bawah 3% dari produk domestik bruto (PDB). Konsistensi menurunkan CAD harus didukung oleh seluruh pemangku kepentingan.
Selain fundamental makro, yang tidak kalah penting adalah fundamental emiten. Asing ketika memborong saham akan melihat kinerja keuangan emiten, bukan hanya jangka pendek, tapi juga jangka menengah-panjang. Fundamental bukan hanya dipengaruhi oleh kemampuan manajemen dan governance yang baik, tapi juga kondisi perekonomian secara keseluruhan, di samping iklim bisnis yang kondusif.
Dalam konteks itu, pemerintah harus mendorong agar ekonomi tumbuh tinggi dan berkelanjutan. Kecuali itu, sejumlah masalah yang selama menghambat investasi mesti dihilangkan, mulai dari sistem perizinan yang berbelit, infrastruktur yang lemah, biaya logistik yang mahal, kualitas birokrasi yang buruk, peraturan yang tumpang-tindih, inkonsistensi kebijakan, dan sebagainya.
Selama fundamental makro ekonomi dan fundamental emiten terjaga dengan baik, kita optimistis capital inflow akan deras mengalir ke Indonesia, khususnya ke pasar saham. Meski belakangan ini peran investor domestik semakin penting dalam menjaga kejatuhan indeks harga saham, asing tetap sangat kita butuhkan. Kiprah asing bahkan masih menjadi barometer. Bagaimanapun, ketergantungan kita terhadap asing masih tinggi, karena menguasai sekitar 50% di pasar saham dan hampir 40% di SBN.
http://www.beritasatu.com/tajuk/6212-dana-asing.html
Fix uantik assing
Langkah tersebut bakal menyeret pada ketidakpastian finansial global, sehingga berujung pada tingginya premi risiko investasi ke emerging markets, khususnya investasi portofolio. Diperburuk oleh sengketa dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok, hot money cenderung kembali ke negara maju, utamanya Amerika Serikat, yang dianggap aman.
Sebagai ilustrasi, aliran modal asing ke emerging markets yang pada 2017 mencapai US$ 101,16 miliar, turun tajam tahun ini menjadi hanya sekitar US$ 6,54 miliar per pertengahan November 2018. Demikian pula untuk Indonesia, aliran investasi portofolio yang pada 2017 menembus US$ 24,7 miliar, kemudian mendadak keluar sejak Februari 2018 dengan jumlah yang masif. Akumulasi penjualan bersih (net selling) asing di pasar saham memuncak pada Oktober lalu dengan nilai Rp 54,6 triliun (year to date).
Beruntung keadaan berubah. Sejak November, asing kembali masuk ke Indonesia. Selama November, terjadi net buying asing di pasar saham dengan nilai Rp 5,6 triliun. Hal itu membuat net selling asing Januari-November menurun jadi Rp 45,6 triliun. Net buying asing masih terjadi selama Desember. Asing juga memburu Surat Berharga Negara (SBN) yang selama November saja mencapai Rp 35 triliun.
Berlanjutnya arus capital inflow dipengaruhi oleh sejumlah sentimen global maupun domestik. Dari faktor global, pernyataan Gubernur The Fed Jerome Powell bahwa The Fed akan mengurangi kadar kenaikan suku bunga acuan dan mengakhiri siklus pengetatan moneter disambut positif oleh pelaku pasar finansial global.
Sentimen positif lain adalah "gencatan senjata" antara Presiden AS Donald Trump dan Presiden Tiongkok Xi Jinping. Mereka sepakat untuk tidak memberlakukan tarif bea masuk (BM) tambahan terhadap barang impor dari masing-masing negara setelah 1 Januari 2019 sebagaimana direncanakan sebelumnya. Selama 90 hari ke depan, AS dan Tiongkok akan bernegosiasi secara intensif guna menyelesaikan sejumlah sengketa dagang yang melibatkan kedua negara.
Sedangkan dari dalam negeri, tiga kebijakan penting yang dicakup dalam Paket Kebijakan Ekonomi ke-16 juga mendapat persepsi positif dari investor. Selain itu, pernyataan Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo untuk selalu ahead the curve dan mengkalibrasi suku bunga memberikan sinyal bahwa BI akan senantiasa menjaga daya saing instrumen keuangan di Indonesia.
Ke depan, agar investor asing semakin percaya terhadap Indonesia, pemerintah dan Bank Indonesia harus senantiasa menjaga kebijakan makro yang prudent dan memperkokoh fundamental perekonomian. Asing akan selalu melihat bagaimana fundamental perekonomian sebuah negara. Defisit neraca transaksi berjalan (current account deficit/CAD) yang selama ini memberikan cacat terhadap fundamental makro kita mesti serius dibenahi.
Pemerintah terlihat memiliki komitmen untuk menekan defisit tersebut di bawah 3% dari produk domestik bruto (PDB). Konsistensi menurunkan CAD harus didukung oleh seluruh pemangku kepentingan.
Selain fundamental makro, yang tidak kalah penting adalah fundamental emiten. Asing ketika memborong saham akan melihat kinerja keuangan emiten, bukan hanya jangka pendek, tapi juga jangka menengah-panjang. Fundamental bukan hanya dipengaruhi oleh kemampuan manajemen dan governance yang baik, tapi juga kondisi perekonomian secara keseluruhan, di samping iklim bisnis yang kondusif.
Dalam konteks itu, pemerintah harus mendorong agar ekonomi tumbuh tinggi dan berkelanjutan. Kecuali itu, sejumlah masalah yang selama menghambat investasi mesti dihilangkan, mulai dari sistem perizinan yang berbelit, infrastruktur yang lemah, biaya logistik yang mahal, kualitas birokrasi yang buruk, peraturan yang tumpang-tindih, inkonsistensi kebijakan, dan sebagainya.
Selama fundamental makro ekonomi dan fundamental emiten terjaga dengan baik, kita optimistis capital inflow akan deras mengalir ke Indonesia, khususnya ke pasar saham. Meski belakangan ini peran investor domestik semakin penting dalam menjaga kejatuhan indeks harga saham, asing tetap sangat kita butuhkan. Kiprah asing bahkan masih menjadi barometer. Bagaimanapun, ketergantungan kita terhadap asing masih tinggi, karena menguasai sekitar 50% di pasar saham dan hampir 40% di SBN.
http://www.beritasatu.com/tajuk/6212-dana-asing.html
Fix uantik assing

Diubah oleh LordFaries 06-12-2018 07:31
0
835
2


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan