- Beranda
- Komunitas
- News
- Indonesia Update
Menkes: Peranan Multisektor Amat Penting untuk Menurunkan Stunting dan Eliminasi TB


TS
indonesiaupdate
Menkes: Peranan Multisektor Amat Penting untuk Menurunkan Stunting dan Eliminasi TB
[img][/img]
JPP JAKARTA - Pemerintah tengah gencar-gencarnya melakukan upaya penurunan angka stunting dan eliminasi tuberkulosis (TBC) di Indonesia. Kedua program ini pada tahun 2018 telah dijadikan Kementerian Kesehatan sebagai program prioritas pembangunan di sektor kesehatan. Terobosan dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan perlu dilakukan.
Untuk itu, menurut Menkes Nila Moeloek, diperlukan dukungan multisektor, utamanya dalam upaya pencegahan dan pengendalian faktor risiko TBC. Contoh faktor risiko TBC adalah gangguan gizi yang dapat menyebabkan gangguan sistem kekebalan tubuh terhadap penyakit infeksi. Status gizi berpengaruh pada penurunan daya tahan tubuh dalam menghadapi invasi kuman. Stunting merupakan masalah gizi kronis yang disebabkan oleh asupan gizi yang kurang dalam waktu lama. Oleh karena itu, stunting akan berpengaruh pada kemampuan balita dalam melawan kuman TBC. Balita stunting lebih rentan tertular penyakit TBC dibandingkan dengan balita gizi normal.
"Peran multisektor atau multiaktor sangat penting bagi keberhasilan pencapaian derajat kesehatan masyarakat melalui intervensi gizi serta eliminasi penyakit menular khususnya tuberkulosis (TBC). Ini bukan hanya tanggung jawab Kementerian Kesehatan, namun perlu melibatkan semua pihak baik di pusat dan daerah, lembaga sosial kemasyarakatan, akademisi, organisasi profesi, media massa, dunia usaha serta mitra pembangunan melalui penerbitan peraturan perundangan dan pertemuan multisektoral," ujar Menkes Nila Moeloek saat menghadiri Simposium Nasional "Sinergitas Multi-Aktor Dalam Pencegahan Stunting dan Eliminasi TBC" di Jakarta, Kamis (22/11/2018).
Dari hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018 memang sudah terjadi perbaikan, terlihat dari prevalensi balita stunting turun menjadi 30,8% dari 37,2% (2013). Prevalensi stunting sudah mencapai target yang diharapkan pada RPJMN tahun 2019 yaitu 32% walaupun belum mencapai target yang ditetapkan oleh WHO sebesar 20%. Penurunan stunting ini karena adanya upaya penanggulangan gizi buruk yang dibuktikan dengan prevalensi gizi buruk turun menjadi 3,5% dari 5,3% (2013).
Stunting adalah masalah gizi kronis yaitu kegagalan seorang anak untuk tumbuh dan berkembang secara optimal disebabkan dampak dari kekurangan gizi secara kumulatif dan terus menerus, sehingga anak terlalu pendek untuk usianya. Kekurangan gizi kronis terjadi pada 1000 hari pertama kehidupan (HPK), dan baru nampak setelah anak usia 2 tahun. Keluarga dan masyarakat belum merasa bahwa stunting adalah masalah, hal ini dikarenakan belum banyak yang mengetahui dampak dan anak tidak terlihat sakit. Konsekuensi jangka panjang dari stunting pada anak usia dini akan berpengaruh pada kelangsungan hidup, pertumbuhan linear, perkembangan kognitif, kemampuan belajar di sekolah, produktivitas dan berat badan lahir.
Diperlukan upaya mengatasi faktor risiko dari stunting, yaitu kemiskinan, perlindungan kesehatan khususnya pada remaja puteri, ibu dan anak serta kesetaraan dalam keluarga. Perlindungan ini dalam arti penjaminan kecukupan gizi ibu hamil dan tumbuh kembang anak, praktek pemberian makan pada bayi dan anak (PMBA) serta pencegahan dan pengobatan infeksi serta ketersediaan air bersih dan jamban keluarga.
Anak stunting di Indonesia tidak hanya berasal dari rumah tangga/keluarga yang miskin dan kurang mampu, namun anak stunting berasal dari rumah tangga/keluarga tidak miskin/diatas 40% tingkat kesejahteraan sosial dan ekonomi. Walaupun angkanya semakin memburuk pada kelompok masyarakat miskin.
Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memproyeksikan tahun 2035 Indonesia mengalami puncak pertumbuhan jumlah penduduk produktif. Kondisi ini merupakan bonus demografi. Pertumbuhan jumlah penduduk yang produktif lebih banyak dibandingkan negara lain menjadikan Indonesia berpotensi memiliki daya saing tinggi apabila diimbangi dengan kualitas sumber daya manusia (SDM) yang sehat dan mumpuni.
Selain memengaruhi kualitas SDM, kedua penyakit ini berdampak pada kerugian ekonomi negara. Stunting dapat menimbulkan kerugian ekonomi negara sebesar 2%-3% dari Produk Domestik Bruto (PDB). World Bank merilis Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia sebesar Rp13.000 triliun pada tahun 2017. Karena stunting, kerugian yang ditimbulkan diperkirakan sebesar Rp260 triliun sampai Rp390 triliun.
Saat ini berdasarkan data yang dirilis UNICEF, Indonesia merupakan negara kelima tertinggi di dunia dengan jumlah balita yang mengalami stunting dan merupakan salah satu negara dengan stunting tertinggi di Asia Tenggara dan bahkan lebih tinggi dari beberapa negara miskin di Afrika.
Pada Rapat Koordinasi Tingkat Menteri tanggal 9 Agustus 2017, Wakil Presiden Republik Indonesia memutuskan Lima Pilar Percepatan Pencegahan Stunting yaitu: 1) Komitmen dan visi kepemimpinan; 2) Kampanye nasional dan komunikasi perubahan perilaku; 3) Konvergensi, koordinasi, dan konsolidasi program pusat, daerah, dan desa; 4) Gizi dan ketahanan pangan; dan 5) Pemantauan dan evaluasi. Kelima pilar ini diselenggarakan di semua tingkatan pemerintah dengan melibatkan berbagai institusi pemerintah yang terkait dan institusi non-pemerintah seperti swasta, masyarakat madani, dan komunitas
Dampak Sosial dan Ekonomi
Selain stunting, Indonesia adalah negara dengan beban TBC tertinggi ketiga di dunia, setelah India dan China. WHO Global TB Report 2018 memperkirakan insiden TBC sebesar 842.000 kasus dengan mortalitas 107.000 kasus. Risiko penularan TBC dapat dikurangi jika semua pasien TBC dapat ditemukan dan diobati sampai sembuh. Akan tetapi, dewasa ini, dari 842.000 kasus, baru 53% yang ternotifikasi dan diobati, sisanya belum diobati atau sudah diobati namun belum dilaporkan kepada Kementerian Kesehatan. Selain underreporting, MDR TB dan TB HIV juga merupakan masalah terkait tuberkulosis yang perlu mendapat perhatian. Estimasi insiden TB HIV sebesar 36.000 kasus, dengan mortalitas 9.400 kasus, sedangkan MDR TB diperkirakan sebanyak 23.000 kasus.
TBC berdampak besar terhadap sosial dan keuangan pasien, keluarga dan masyarakat. Sebagian besar infeksi terjadi pada usia produktif antara 15 dan 54 tahun. Meskipun diagnosis dan pengobatan tuberkulosis gratis, pasien TB menghadapi biaya transportasi, akomodasi, gizi dan kehilangan penghasilan karena ketidakmampuan untuk bekerja. Beban keuangan yang tinggi dapat menyebabkan pasien tidak mendapatkan diagnosis, tidak memulai pengobatan, bahkan dapat berhenti pengobatan. Kondisi tersebut akan berisiko tinggi menularkan penyakit ke orang lain dan dapat berkembang menjadi Multidrug Resistant TB (MDR-TB).
Beban terbesar dari kerugian TBC diakibatkan kehilangan waktu produktif karena kecacatan dan kematian dini. Beban TBC di Indonesia per tahun sebesar Rp24,7 miliar per orang, sedangkan TB MDR yaitu Rp5,5 miliar. Dampak kerugian ekonomis akibat penyakit TBC sekitar Rp130,5 miliar, TB-MDR sebesar Rp6,2 miliar.
Dalam mencapai Eliminasi TBC tahun 2030, diperlukan strategi akselerasi melalui enam langkah yaitu: (1) penguatan peran dan kepemimpinan program berbasis kabupaten/ kota, (2) peningkatan akses layanan yang bermutu, (3) pengendalian faktor risiko penularan TBC, (4) peningkatan kemitraan, peningkatan kemandirian masyarakat, (5) penguatan manajemen program dan (6) penguatan sistem dan manajemen TBC melalui berbagai upaya termasuk penelitian dan pengembangan.
Simposium ini mengurai dan membahas upaya penajaman dan percepatan pencapaian target penurunan stunting dan eliminasi TBC dari berbagai aspek penyebabnya. (kes)
Sumber : https://jpp.go.id/humaniora/kesehata...n-eliminasi-tb
---
Kumpulan Berita Terkait HUMANIORA :
-
Kementerian LHK: 114 Ribu DAS Harus Dipulihkan, 108 Kritis
-
Hari Ikan Nasional, Momentum Tingkatkan Ketahanan Pangan dan Gizi Nasional
-
KLHK Tegaskan Komitmen Indonesia Terkait Merkuri di COP 2 Swiss
JPP JAKARTA - Pemerintah tengah gencar-gencarnya melakukan upaya penurunan angka stunting dan eliminasi tuberkulosis (TBC) di Indonesia. Kedua program ini pada tahun 2018 telah dijadikan Kementerian Kesehatan sebagai program prioritas pembangunan di sektor kesehatan. Terobosan dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan perlu dilakukan.
Untuk itu, menurut Menkes Nila Moeloek, diperlukan dukungan multisektor, utamanya dalam upaya pencegahan dan pengendalian faktor risiko TBC. Contoh faktor risiko TBC adalah gangguan gizi yang dapat menyebabkan gangguan sistem kekebalan tubuh terhadap penyakit infeksi. Status gizi berpengaruh pada penurunan daya tahan tubuh dalam menghadapi invasi kuman. Stunting merupakan masalah gizi kronis yang disebabkan oleh asupan gizi yang kurang dalam waktu lama. Oleh karena itu, stunting akan berpengaruh pada kemampuan balita dalam melawan kuman TBC. Balita stunting lebih rentan tertular penyakit TBC dibandingkan dengan balita gizi normal.
"Peran multisektor atau multiaktor sangat penting bagi keberhasilan pencapaian derajat kesehatan masyarakat melalui intervensi gizi serta eliminasi penyakit menular khususnya tuberkulosis (TBC). Ini bukan hanya tanggung jawab Kementerian Kesehatan, namun perlu melibatkan semua pihak baik di pusat dan daerah, lembaga sosial kemasyarakatan, akademisi, organisasi profesi, media massa, dunia usaha serta mitra pembangunan melalui penerbitan peraturan perundangan dan pertemuan multisektoral," ujar Menkes Nila Moeloek saat menghadiri Simposium Nasional "Sinergitas Multi-Aktor Dalam Pencegahan Stunting dan Eliminasi TBC" di Jakarta, Kamis (22/11/2018).
Dari hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018 memang sudah terjadi perbaikan, terlihat dari prevalensi balita stunting turun menjadi 30,8% dari 37,2% (2013). Prevalensi stunting sudah mencapai target yang diharapkan pada RPJMN tahun 2019 yaitu 32% walaupun belum mencapai target yang ditetapkan oleh WHO sebesar 20%. Penurunan stunting ini karena adanya upaya penanggulangan gizi buruk yang dibuktikan dengan prevalensi gizi buruk turun menjadi 3,5% dari 5,3% (2013).
Stunting adalah masalah gizi kronis yaitu kegagalan seorang anak untuk tumbuh dan berkembang secara optimal disebabkan dampak dari kekurangan gizi secara kumulatif dan terus menerus, sehingga anak terlalu pendek untuk usianya. Kekurangan gizi kronis terjadi pada 1000 hari pertama kehidupan (HPK), dan baru nampak setelah anak usia 2 tahun. Keluarga dan masyarakat belum merasa bahwa stunting adalah masalah, hal ini dikarenakan belum banyak yang mengetahui dampak dan anak tidak terlihat sakit. Konsekuensi jangka panjang dari stunting pada anak usia dini akan berpengaruh pada kelangsungan hidup, pertumbuhan linear, perkembangan kognitif, kemampuan belajar di sekolah, produktivitas dan berat badan lahir.
Diperlukan upaya mengatasi faktor risiko dari stunting, yaitu kemiskinan, perlindungan kesehatan khususnya pada remaja puteri, ibu dan anak serta kesetaraan dalam keluarga. Perlindungan ini dalam arti penjaminan kecukupan gizi ibu hamil dan tumbuh kembang anak, praktek pemberian makan pada bayi dan anak (PMBA) serta pencegahan dan pengobatan infeksi serta ketersediaan air bersih dan jamban keluarga.
Anak stunting di Indonesia tidak hanya berasal dari rumah tangga/keluarga yang miskin dan kurang mampu, namun anak stunting berasal dari rumah tangga/keluarga tidak miskin/diatas 40% tingkat kesejahteraan sosial dan ekonomi. Walaupun angkanya semakin memburuk pada kelompok masyarakat miskin.
Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memproyeksikan tahun 2035 Indonesia mengalami puncak pertumbuhan jumlah penduduk produktif. Kondisi ini merupakan bonus demografi. Pertumbuhan jumlah penduduk yang produktif lebih banyak dibandingkan negara lain menjadikan Indonesia berpotensi memiliki daya saing tinggi apabila diimbangi dengan kualitas sumber daya manusia (SDM) yang sehat dan mumpuni.
Selain memengaruhi kualitas SDM, kedua penyakit ini berdampak pada kerugian ekonomi negara. Stunting dapat menimbulkan kerugian ekonomi negara sebesar 2%-3% dari Produk Domestik Bruto (PDB). World Bank merilis Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia sebesar Rp13.000 triliun pada tahun 2017. Karena stunting, kerugian yang ditimbulkan diperkirakan sebesar Rp260 triliun sampai Rp390 triliun.
Saat ini berdasarkan data yang dirilis UNICEF, Indonesia merupakan negara kelima tertinggi di dunia dengan jumlah balita yang mengalami stunting dan merupakan salah satu negara dengan stunting tertinggi di Asia Tenggara dan bahkan lebih tinggi dari beberapa negara miskin di Afrika.
Pada Rapat Koordinasi Tingkat Menteri tanggal 9 Agustus 2017, Wakil Presiden Republik Indonesia memutuskan Lima Pilar Percepatan Pencegahan Stunting yaitu: 1) Komitmen dan visi kepemimpinan; 2) Kampanye nasional dan komunikasi perubahan perilaku; 3) Konvergensi, koordinasi, dan konsolidasi program pusat, daerah, dan desa; 4) Gizi dan ketahanan pangan; dan 5) Pemantauan dan evaluasi. Kelima pilar ini diselenggarakan di semua tingkatan pemerintah dengan melibatkan berbagai institusi pemerintah yang terkait dan institusi non-pemerintah seperti swasta, masyarakat madani, dan komunitas
Dampak Sosial dan Ekonomi
Selain stunting, Indonesia adalah negara dengan beban TBC tertinggi ketiga di dunia, setelah India dan China. WHO Global TB Report 2018 memperkirakan insiden TBC sebesar 842.000 kasus dengan mortalitas 107.000 kasus. Risiko penularan TBC dapat dikurangi jika semua pasien TBC dapat ditemukan dan diobati sampai sembuh. Akan tetapi, dewasa ini, dari 842.000 kasus, baru 53% yang ternotifikasi dan diobati, sisanya belum diobati atau sudah diobati namun belum dilaporkan kepada Kementerian Kesehatan. Selain underreporting, MDR TB dan TB HIV juga merupakan masalah terkait tuberkulosis yang perlu mendapat perhatian. Estimasi insiden TB HIV sebesar 36.000 kasus, dengan mortalitas 9.400 kasus, sedangkan MDR TB diperkirakan sebanyak 23.000 kasus.
TBC berdampak besar terhadap sosial dan keuangan pasien, keluarga dan masyarakat. Sebagian besar infeksi terjadi pada usia produktif antara 15 dan 54 tahun. Meskipun diagnosis dan pengobatan tuberkulosis gratis, pasien TB menghadapi biaya transportasi, akomodasi, gizi dan kehilangan penghasilan karena ketidakmampuan untuk bekerja. Beban keuangan yang tinggi dapat menyebabkan pasien tidak mendapatkan diagnosis, tidak memulai pengobatan, bahkan dapat berhenti pengobatan. Kondisi tersebut akan berisiko tinggi menularkan penyakit ke orang lain dan dapat berkembang menjadi Multidrug Resistant TB (MDR-TB).
Beban terbesar dari kerugian TBC diakibatkan kehilangan waktu produktif karena kecacatan dan kematian dini. Beban TBC di Indonesia per tahun sebesar Rp24,7 miliar per orang, sedangkan TB MDR yaitu Rp5,5 miliar. Dampak kerugian ekonomis akibat penyakit TBC sekitar Rp130,5 miliar, TB-MDR sebesar Rp6,2 miliar.
Dalam mencapai Eliminasi TBC tahun 2030, diperlukan strategi akselerasi melalui enam langkah yaitu: (1) penguatan peran dan kepemimpinan program berbasis kabupaten/ kota, (2) peningkatan akses layanan yang bermutu, (3) pengendalian faktor risiko penularan TBC, (4) peningkatan kemitraan, peningkatan kemandirian masyarakat, (5) penguatan manajemen program dan (6) penguatan sistem dan manajemen TBC melalui berbagai upaya termasuk penelitian dan pengembangan.
Simposium ini mengurai dan membahas upaya penajaman dan percepatan pencapaian target penurunan stunting dan eliminasi TBC dari berbagai aspek penyebabnya. (kes)
Sumber : https://jpp.go.id/humaniora/kesehata...n-eliminasi-tb
---
Kumpulan Berita Terkait HUMANIORA :
-

-

-

0
238
1


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan