- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
TUMBAL [CERPEN HOROR]


TS
nostruicidal
TUMBAL [CERPEN HOROR]
TUMBAL
![TUMBAL [CERPEN HOROR]](https://s.kaskus.id/images/2018/11/07/9481683_20181107011157.jpg)
Pardi termenung diberanda rumahnya. Matanya menerawang jauh, kosong. Lelaki berusia kepala empat itu masih tak mengerti kenapa sepanjang hidupnya hanya melulu soal nestapa. Segala macam pekerjaan tak pernah sungkan ia kerjakan, namun, roda nasib seperti enggan berputar, membawa ia dan keluarga kecilnya naik ke taraf hidup yang lebih baik.
“mas, nganu, mau ke lho, pak suprapto akon ngerewangi panenan sesok.” (mas, anu, tadi itu pak suprapto nyuruh bantuin panen besok.).
Suara Ratmi, istrinya yang melesap dari dapur membuyarkan lamunan Pardi.
“iyo, gasik to lekase?”(iya, Pagi kan mulainya?). Pardi mengangguk sambil mengubah arah duduknya demi menatap Ratmi yang tengah melewati pintu dan menuju kearahnya. Ditangan istirnya itu, secangkir kopi hitam mengepul.
“ora semang nggowo opo-opo, alate wis disediakno karo pak Suprapto kabeh mas.” (tidak usah bawa apa-apa, semua alatnya sudah disediakan sama pak suprapto mas.) ratmi berujar lirih. Dengan perlahan ia meletakkan secangkir kopi yang masih panas di hadapan suaminya. Ia letakkan juga tubuhnya di samping suaminya.
Pardi mengangguk. Sementara matanya tak berhenti menatap wajah Ratmi yang halus dan perut istrinya itu yang kian membesar dari hari ke hari. Pardi membayangkan lagi, bagaimana kelak masa depan anak pertamanya yang sebentar lagi lahir jika Pardi tetap tak bisa mengubah keadaan? Bagaimana jika nanti anaknya tak bisa bersekolah? Dan lusinan pertanyaan-pertanyaan lain yang selalu menggerayangi isi kepalanya.
“mas, nganu, mau yo mbok Suyat teko. Nagih duit sing sasi wingine kae mas.” (mas, anu, tadi juga mbok Suyat datang, nagih uang yang bulan kemarin itu mas.” Ratmi tertunduk, tak berani ia menatap pardi. Nafasnya memberat. Ia tahu persis bagaimana kondisi suaminya saat ini yang hanya bekerja serabutan kesana kemari.
Pardi tak menjawab. Ada gemuruh hebat yang melanda jiwanya ketika ia mendengar ketidakberdayaan dan kepasrahan yang menelusup masuk bersama suara istrinya yang lembut. Daripada menanggapi apa yang barusaja disampaikan istrinya, Pardi lebih memilih untuk memejamkan mata, merasakan hembus angin yang berderak menuju kepekatan malam, mendengar derit dari balik rimbun pohonan dikejauhan. Sementara Ratmi menarik diri dari hadapan Pardi yang masih terpejam.
.....
Matahari belum menggantungkan diri ketika Pardi beranjak pergi, meninggalkan Ratmi yang sejak tadi sudah berjibaku dengan hangatnya api tungku. Disepanjang langkahnya menuju rumah pak Suprapto, dingin meniup tubuhnya. Pak Suprapto, Pardi menggumam sembari menyebulkan asap rokok lintingannya dan membayangkan wajah Pak Suprapto. Laki-laki berusia 73 tahunan itu adalah orang terkaya dikampungnya. Dan kekayaan itu telah melahirkan desas-desus disepenjuru kampungya, bahkan sampai ke kampung lain.
Menurut desas-desus yang ada, dahulu pak Suprapto adalah orang yang serba kekurangan, apalagi setelah ia memiliki anak, hidupnya kian melarat, ditambah hutang yang tumbuh subur disana-sini. Ketika anaknya baru berusia 4 tahun, pak Suprapto pergi meninggalkan kampung sekitar dua minggu. Ada seorang kawan yang mengajaknya berbisnis di kota, katanya. Namun baru tiga hari pak Suprapto pergi, anaknya meninggal tanpa sebab yang pasti. Sejak kematian anaknya itu, kehidupan pak Suprapto berubah 360 derajat. Berangsur-angsur, kondisi keuangannya membaik dan dalam waktu sekejap, bahkan dalam kurun waktu kurang dari lima tahun, pak Suprapto sudah mengukuhkan diri sebagai orang terkaya dikampungnya.
Banyak orang yang mengamini desas-desus itu, mengingat kekayaan yang datang setelah kematian anaknya yang tiba-tiba. Namun tak sedikit juga yang menganggap bahwa kekayaan yang pak Suprapto dapatkan murni karena kerja keras yang terus ia lakukan, dan oleh kematian anaknya itu pak Suprapto semakin termotifasi untuk membalikkan keadaan. Pardi sendiri berada di pihak yang tidak percaya oleh desas-desus di kampungnya tentang pak Suprapto. Karena menurut Pardi, orang tua mana yang tega menumbalkan anaknya hanya demi kekayaan semata? Terlebih lagi, ia juga akrab betul dengan sosok pak Suprapto yang selalu memberikan dorongan agar Pardi terus bertahan dan tidak menyarah pada keadaan. Dimata pardi, pak Suprapto adalah sosok yang baik dan sangat mengayomi. Tidak mungkin sosok macam pak Suprapto akan tega melakukan tindakan diluar nalar manusia itu.
.....
Setelah nyaris seharian Pardi membiarkan terik dan hembus angin menjilati peluh ditubuhnya, ia bersiap untuk beranjak dari rumah pak Suprapto yang kini sudah penuh oleh ratusan kilo kentang yang barusaja dipanen. Disaku bajunya, telah terselip beberapa lembar uang untuk menyambung hidup dan membuat dapurnya akan tetap mengepul untuk beberapa hari kedepan. Memang tidak seberapa yang ia dapatkan hari ini, namun Pardi bisa bernafas lega, bahkan jika besok tidak ada yang menyuruhnya untuk mengerjakan sesuatu.
Setelah Pardi menyesap tetes kopi terakhir yang disuguhkan oleh pak Suprapto kepada orang-orang yang ia pekerjakan hari ini, Pardi pamit untuk segera kembali kerumahnya. Ia yakin jika Ratmi telah menanti. Namun ketika Pardi baru saja mengambil langkahnya yang pertama, Pak Suprapto menahannya.
“Par, pardi!” seru Pak Suprapto memanggil Pardi yang langsung membalikkan badannya.
“nggih pak?” (iya pak?). timpal Pardi agak keheranan mendapati pak Suprapto yang tiba-tiba saja memanggilnya.
“nganu Par, ngko mbengi ono acara ra kowe?” (anu Par, nanti malam ada acara gak kamu?).
“mboten e pak, enten nopo nggih?” (nggak pak, memangnya ada apa ya pak?) Pardi bertanya semakin heran.
“yo wis, ngko bar iso rene yo Par? Ono sing arep tak omongke karo kowe.” (ya sudah, nanti habis isya kesini ya Par? Ada yang mau aku obrolin sama kamu.).
“oh ngih pak nggih..” Pardi mengangguk menyanggupi permintaan pak Suprapto kepadanya untuk datang malam nanti.
“yo wis ngono ae Par. Oh yo iki nganu, ono panganan nggo kowe karo bojomu yo!” (ya sudah gitu aja Par,. Oh iya ini ada makanan buat kamu sama istrimu ya!). pak Suprapto mengulurkan rantang yang penuh oleh opor ayam panas didalamnya. Senyum hangatnya mengembang menatap mata Pardi yang berkaca-kaca.
“matursuwun engast lho pak niki, matursuwun engast pak.!” (termakasih banyak lho ini pak, terimakasih banyak pak!). ada keharuan yang dalam ketika Pardi menerima rantang berisi opor ayam dari pak Suprapto. Sesuatu yang bagi pak Suprapto mungkin adalah hal yang biasa saja, namun bagi Pardi, rantang ditangannya ini adalah satu hal yang luar biasa mewah.
Disepanjang perjalanan pulangnya, Pardi tak berhenti mengucap sykur. Ada tetes air mata yang menggantung dan siap jatuh dari kelopak matanya. Dalam benaknya, terbayang Ratmi yang akan tersenyum girang ketika tahu bahwa Pardi membawa makanan kesukaanya. Seingatnya, Ia dan Ratmi sudah lama sekali tak menemui makanan semewah ini.
.....
Adzan isya merayapi langit yang menua. Purnama menggantung disalah satu sisinya. Awan berderak sewarna perak. Namun Pardi masih juga belum beranjak menuju rumah pak Suprapto. Ratmi duduk disampingnya, menjambal paha ayam. Diantara mereka, sepiring ubi dan secangkir teh pahit terdiam bisu, menunggu ada yang menjamahnya.
“ono acara opo to mas nang umahe pak Suprapto?” (ada acara apa sih mas dirumah pak Suprapto?). tanya Ratmi disela kesibukan melepaskan daging dari tulang paha yang ia genggam.
Pardi menggeleng, matanya mengawang. “mberuh, aku mung dikon rono bar isya iki.” (gak tahu, aku Cuma disuruh kesana habis isya ini.) jawab pardi yang kali ini menjatuhkan pandangannya pada Ratmi, pada anak pertamanya yang meringkuk hangat dikedalaman perut istrinya.
“yo wis ndang to mas!” (ya sudah, siap-siap kalo begitu mas!).
Pardi mengangguk ia bangkit seraya menyesap teh pahitnya yang mulai kehilangan kehangatan. Setelah Ratmi mencium punggung tangannya, Pardi pamit untuk pergi memenuhi undangan pak Suprapto.
Jaket tebal dan sehalai sarung yang ia kerudungkan ketubuhnya ternyata tak cukup melawan gigilnya udara malam. Namun, gigil itu juga tak cukup kuat untuk mengurangi langkah Pardi yang begitu mantap. Satu belokan lagi, ia akan tiba di rumah pak Suprapto. Walau Pardi tak tahu pasti kenapa pak Suprapto menyuruhnya untuk datang malam ini, ia berharap bahwa mungkin pak Suprapto akan membantunya melewati titik paling sulit dalam kehidupannya ini. Semoga. Lirih Pardi berucap sembari menengadahkan kepalanya pada rimbun cahaya bulan.
.....
Malam masih ranum ketika Pardi dan pak Suprapto mengobrol di ruang tamu yang nyaris sepenuhnya bercat hijau itu. Ada sepiring ubi goreng dan dua cangkir kopi hitam yang masih sama-sama menguarkan uapnya peraknya ke udara pegunungan yang dingin.
Keduanya tampak membicarakan satu hal yang serius. namun ada perbedaan yang sangat kental diantara keduanya. Pak Suprapto dengan air wajah yang menyala-nyala dengan kata-kata yang keluar dari mulutnya. Sementara Pardi menunduduk, seluruh tubuhnya bergetar hebat, dan air wajahnya landa dan berwarna pucat. Obrolan serius itu berlangsung selama hampir satu jam. Dan setelah itu, Pardi pamit untuk pulang, masih dengan tubuh gemetar entah karena apa dan wajahnya kelihatan tambah pucat. Disepanjang perjalanannya kembali menuju rumah, Pardi berusaha menguraikan apa saja yang telah pak Suprapto bicarakan kepadanya. Apa saja yang sudah pak Suprapto tawarkan kepadanya. Sebuah jalan keluar dari situasinya saat ini. Namun disaat itu juga, timbul satu pertanyaan lain dari satu lubang dikedalaman dadanya :
“apakah sanggup ia memutuskan?”.
.....
Sudah seminggu setelah percakapannya dengan pak Suprapto. Pardi telah memutuskan. Ia telah siap segala resiko yang harus ia tanggung. Harus ia akui bahwa keadaanya saat ini terlampau sulit. Hutang yang melilit, belum lagi dalam hitungan minggu ini, ratmi akan melahirkan. Mau tak mau, Pardi harus memutuskan. Sebuah keputusan yang ia dasari entah karena ia tak lagi bisa melihat jalan, atau karna ia tak lagi punya pilihan. Satu hal yang pasti, Pardi putus asa.
Sore itu, senja melabuhkan cahayanya di sudut yang jauh, ketika pardi terdiam di jok belakang mobil yang dikemudikan tenang oleh pak Suprapto.
“pokoke, mengko koe teko, wis ra usah omong opo opo par. Wonge sing nang kono wis ngerti. Ning aku yo ra iso wenei ngerti opo sing kudu kowe lakoni mengko.” (pokoknya, nanti kamu datang, sudah gak usah bilang apa-apa. orangnya yang disana udah ngerti. Tapi aku juga gak bisa ngasih tau apa yang harus kamu lakuin nanti.)
Dari balik kemudi, Pak Suprapto berujar tenang. Sesekali ia menatap wajah pardi yang seolah membiru karna beku.
“wis ora semang mbok pikiri par. Sing arep kowe lakoni iki yo nggo bojomo karo anakmu to?”(udah ga usah kamu pikirin par, toh yang mau kamu lakuin ini buat istri sama anakmu kan?).
Pardi terkesiap. Entah kenapa, apa yang barusaja ia dengar terasa benar. Iya, yang ia lakukan memang untuk istri dan anaknya yang akan lahir dalam waktu dekat ini. Lagipula ia sudah bosan dengan keadaan sulit yang sudah lama melandanya. Di kelokan terkahir itu, ia membulatkan hati. Ia tancapkan tekad pada keputusannya yang telah mantap. Apapun akan ia lakukan demi bisa keluar dari situasi ini.
Mobil dengan aroma cengkeh yang kental itu memasuki sebuah area pekuburan yang lebih gelap dari warna senja. Rimbun pohon kamboja di kanan kiri yang barangkali membuatnya sedemikian rupa. Pak suprapto menghentikan mobil dan mengajak Pardi untuk turun lalu melanjutkan perjalanan yang hanya beberapa puluh meter lagi.
Di tengah area pemakaman itu, berdiri sebuah rumah kecil dengan dinding tembok bercat putih kusam, sewarna langit mendung yang akan segera jadi hujan. Di depan rumah itu, sepasang kursi bambu mengkilap, salah satunya telah diduduki oleh seorang lelaki berusia jelang 70an berpakaian serba hitam, dengan blangkon solo melingari kepalanya yang berambut putih, seputih rokok lintingan menyan yang terapit disela jemarinya yang agak gemetar.
Pak Suprapto membungkuk. Namun pardi tetap begeming. Ada getaran aneh yang menjalari sekujur tubuhnya. Dan tiba-tiba saja, tanpa ia sadari, kakinya melangkah maju, menghampiri lelaki yang yang entah sudah sejak kapan duduk di salah satu kursi bambu itu.
Tanpa sepatah katapun, lelaki dengan pakaian serba hitam itu berdiri dan memberi isyrat agar Pardi mengikutinya. Dengan langkah kecil dan hati-hati, pardi mengekor, memasuki rumah kecil itu. Aroma kembang dan dupa menguar kuat, meringsek masuk kedalam hidungnya, membuatnya nyaris terbatuk.
Rumah itu hanya memiliki dua ruangan. Satu ruangan seperti ruang tamu dengan empat kursi dan satu meja bundar dari kayu jati dengan ukiran halus. Satu ruangan lagi, seperti sebuah kamar, namun tanpa pintu, digantikan selembar kain putih yang usang dan berdebu dimakan waktu.
Lelaki tua dengan pakaian serba hitam itu memberi isyarat pada pardi untuk terus mengikutinya memasuki ruangan dengan pintu dari kain putih itu. Dengan langkah yang lebih kecil, pardi mengekor. Sesampainya di dalam kamar, aroma dupa dan kembang-kembang yang lebih pekat menyerang dadanya. Di salah satu dinding kamar itu, tergantung sebuah pedang dengan lengkungan yang sempurna. Pedang itu tampak tua, namun tajam. Perlahan, diraihnya pedang yang tergantung itu oleh lengan gemetar si lelaki tua yang sama sekali belum bicara. Di serahkannya pedang itu kepada Pardi yang kali ini, mau tak mau harus merasakan getaran hebat yang tak sanggup ia lawan. Setelah pedang berada ditangan Pardi, lelaki tua itu baru bicara :
“opo wae sing mengko teko, kowe kudu siap mbabat nggo pedang kui!!!” (apapun yang nanti datang, kamu harus siap menebasnya dengan pedang itu!!!)
Pardi hanya mengangguk. Dalam batinnya, ia telah siap menebas apapun yang akan datang. Iblis apapun. Bahkan dengan rupa menakutkan yang tak pernah ia bayangkan sekalipun. Ia siap. Setelah ia mengangguk beberapa kali. Lelaki tua berpakian serba hitam itu melangkah pergi tanpa mengatakan apa-apa lagi.
Detik menetes pelan. Entah sudah berapa lama pardi menunggu sesuatu yang akan datang melewati lembar kain putih kusam itu. Telapak tangannya berkeringat. Dalam hatinya ia berbisik. Apapun yang akan datang kemari, aku siap menebasnya. Berulang kali ia membisikkan kata-kata itu kepada dirinya sendiri. Dan entah pada detik yang keberapa, udara di sekitarnya berdesir dingin. Kain putih itu bekelebat lembut. Terdengar deru langkah yang mendekat. Cengkraman tangannya pada pedang makin mengkuat. Ia tahu, sesuatu yang mengerikan akan datang dan ia harus menebasnya. Maka kehidupannya akan berubah seperti yang pak Suparpto janjikan.
Kain putih itu terus bekelebat. Sementara udara disekitarnya seperti beku dan tajam menghunus nafasnya. Pardi mengambil ancang-ancang ketika matanya menangkap ada yang bergerak maju dibalik kain putih itu. Pedang ditangannya sudah siap terayun, namun mendadak, sekujur tulang yang menopang tubuhnya seakan kehilangan daya ketika sosok yang sejak tadi ia tunggu telah sempurna berada dihadapannya. Lemas, Pardi menelan ludah yang berat entah sebab apa. dalam bayangannya, sosok yang akan datang dan akan ia tebas adalah sosok setan yang paling menyeramkan yang bahkan belum pernah ia bayangakan. Namun nyatanya, sosok yang kini berada dihadapannya adalah Ratmi dengan mata sendu dan satu tangan yang mengusap-usap lembut perutnya. Rambutnya yang panjang jatuh mulus melewati bahunya. Dan satu lengkung senyum yang begitu akrab dari bibir Ratmi, Pardi terkulai diiringi bunyi denting pedang yang menggema mengisi penuh kamar yang kosong. Dalam simpuhnya, tangis Pardi meledak. Menghamburkan segala isi dirinya pada ruang bernama putus asa dan penyesalan.
.....
Satu bulan telah lewat sejak saat itu. Ratmi telah melahirkan. Sebagai seorang ibu, Ratmi patut merasa bangga. Ia bisa tersenyum sebab ia bisa melewati sebuah titik paling rapuh seorang wanita. Sebuah perjudian dengan taruhan nyawa. Namun tidak dengan Pardi. Baginya, ia telah gagal sebagai lelaki dan tak akan pernah pantas menjadi seorang ayah. Ada tetes yang meluncur begitu saja dari kelopak matanya yang sudah sejak lama berkaca-kaca ketika ia melihat anaknya yang baru berusia seminggu itu menggeliat digendongan Ratmi.
“wis lah mas, wis ora semang ditangisi. Sing penting aku selamet, anakmu yo selamet. Perkoro cacat iki yo ujianne gusti Allah, kabeh wis digarisno. Menungso mung iso pasrah lan nerimo. Wis, disyukuri wae mas.”(sudahlah mas, sudah gak usah ditangisi. Yang penting aku selamat, anak kamu juga selamat. Masalah cacat ini ya mungkin ujian dari gusti Allah. Semua sudah digariskan. Manusia Cuma bisa pasrah dan menerima. Sudah, disyukuri saja mas.)
Lembut, Ratmi mengusap rambut suaminya yang selalu menangis jika melihat kondisi anak mereka. Ratmi tak pernah tahu apa yang telah dilakukan suaminya. Ratmi tak pernah tahu, bahwa apa yang menimpa darah dagingnya adalah hasil dari apa yang ditanam suaminya. Ratmi tak pernah tahu.
Sementara Pardi hanya bisa menyesali perbuatannya. Ia hanya bisa menangisi anak pertamanya yang lahir dengan selamat, namun dengan kondisi tubuh yang cacat. Ia membayangkan, bagaimana kehidupan anaknya kelak dengan kondisi tangan dan kaki yang ganjil seperti itu? Seperti ada kekuatan yang memuntir dan mematahkan tulang tulang tangan dan kaki mungil anaknya sejak masih berada dalam kandungan ibunya.
“mas, nganu, mau ke lho, pak suprapto akon ngerewangi panenan sesok.” (mas, anu, tadi itu pak suprapto nyuruh bantuin panen besok.).
Suara Ratmi, istrinya yang melesap dari dapur membuyarkan lamunan Pardi.
“iyo, gasik to lekase?”(iya, Pagi kan mulainya?). Pardi mengangguk sambil mengubah arah duduknya demi menatap Ratmi yang tengah melewati pintu dan menuju kearahnya. Ditangan istirnya itu, secangkir kopi hitam mengepul.
“ora semang nggowo opo-opo, alate wis disediakno karo pak Suprapto kabeh mas.” (tidak usah bawa apa-apa, semua alatnya sudah disediakan sama pak suprapto mas.) ratmi berujar lirih. Dengan perlahan ia meletakkan secangkir kopi yang masih panas di hadapan suaminya. Ia letakkan juga tubuhnya di samping suaminya.
Pardi mengangguk. Sementara matanya tak berhenti menatap wajah Ratmi yang halus dan perut istrinya itu yang kian membesar dari hari ke hari. Pardi membayangkan lagi, bagaimana kelak masa depan anak pertamanya yang sebentar lagi lahir jika Pardi tetap tak bisa mengubah keadaan? Bagaimana jika nanti anaknya tak bisa bersekolah? Dan lusinan pertanyaan-pertanyaan lain yang selalu menggerayangi isi kepalanya.
“mas, nganu, mau yo mbok Suyat teko. Nagih duit sing sasi wingine kae mas.” (mas, anu, tadi juga mbok Suyat datang, nagih uang yang bulan kemarin itu mas.” Ratmi tertunduk, tak berani ia menatap pardi. Nafasnya memberat. Ia tahu persis bagaimana kondisi suaminya saat ini yang hanya bekerja serabutan kesana kemari.
Pardi tak menjawab. Ada gemuruh hebat yang melanda jiwanya ketika ia mendengar ketidakberdayaan dan kepasrahan yang menelusup masuk bersama suara istrinya yang lembut. Daripada menanggapi apa yang barusaja disampaikan istrinya, Pardi lebih memilih untuk memejamkan mata, merasakan hembus angin yang berderak menuju kepekatan malam, mendengar derit dari balik rimbun pohonan dikejauhan. Sementara Ratmi menarik diri dari hadapan Pardi yang masih terpejam.
.....
Matahari belum menggantungkan diri ketika Pardi beranjak pergi, meninggalkan Ratmi yang sejak tadi sudah berjibaku dengan hangatnya api tungku. Disepanjang langkahnya menuju rumah pak Suprapto, dingin meniup tubuhnya. Pak Suprapto, Pardi menggumam sembari menyebulkan asap rokok lintingannya dan membayangkan wajah Pak Suprapto. Laki-laki berusia 73 tahunan itu adalah orang terkaya dikampungnya. Dan kekayaan itu telah melahirkan desas-desus disepenjuru kampungya, bahkan sampai ke kampung lain.
Menurut desas-desus yang ada, dahulu pak Suprapto adalah orang yang serba kekurangan, apalagi setelah ia memiliki anak, hidupnya kian melarat, ditambah hutang yang tumbuh subur disana-sini. Ketika anaknya baru berusia 4 tahun, pak Suprapto pergi meninggalkan kampung sekitar dua minggu. Ada seorang kawan yang mengajaknya berbisnis di kota, katanya. Namun baru tiga hari pak Suprapto pergi, anaknya meninggal tanpa sebab yang pasti. Sejak kematian anaknya itu, kehidupan pak Suprapto berubah 360 derajat. Berangsur-angsur, kondisi keuangannya membaik dan dalam waktu sekejap, bahkan dalam kurun waktu kurang dari lima tahun, pak Suprapto sudah mengukuhkan diri sebagai orang terkaya dikampungnya.
Banyak orang yang mengamini desas-desus itu, mengingat kekayaan yang datang setelah kematian anaknya yang tiba-tiba. Namun tak sedikit juga yang menganggap bahwa kekayaan yang pak Suprapto dapatkan murni karena kerja keras yang terus ia lakukan, dan oleh kematian anaknya itu pak Suprapto semakin termotifasi untuk membalikkan keadaan. Pardi sendiri berada di pihak yang tidak percaya oleh desas-desus di kampungnya tentang pak Suprapto. Karena menurut Pardi, orang tua mana yang tega menumbalkan anaknya hanya demi kekayaan semata? Terlebih lagi, ia juga akrab betul dengan sosok pak Suprapto yang selalu memberikan dorongan agar Pardi terus bertahan dan tidak menyarah pada keadaan. Dimata pardi, pak Suprapto adalah sosok yang baik dan sangat mengayomi. Tidak mungkin sosok macam pak Suprapto akan tega melakukan tindakan diluar nalar manusia itu.
.....
Setelah nyaris seharian Pardi membiarkan terik dan hembus angin menjilati peluh ditubuhnya, ia bersiap untuk beranjak dari rumah pak Suprapto yang kini sudah penuh oleh ratusan kilo kentang yang barusaja dipanen. Disaku bajunya, telah terselip beberapa lembar uang untuk menyambung hidup dan membuat dapurnya akan tetap mengepul untuk beberapa hari kedepan. Memang tidak seberapa yang ia dapatkan hari ini, namun Pardi bisa bernafas lega, bahkan jika besok tidak ada yang menyuruhnya untuk mengerjakan sesuatu.
Setelah Pardi menyesap tetes kopi terakhir yang disuguhkan oleh pak Suprapto kepada orang-orang yang ia pekerjakan hari ini, Pardi pamit untuk segera kembali kerumahnya. Ia yakin jika Ratmi telah menanti. Namun ketika Pardi baru saja mengambil langkahnya yang pertama, Pak Suprapto menahannya.
“Par, pardi!” seru Pak Suprapto memanggil Pardi yang langsung membalikkan badannya.
“nggih pak?” (iya pak?). timpal Pardi agak keheranan mendapati pak Suprapto yang tiba-tiba saja memanggilnya.
“nganu Par, ngko mbengi ono acara ra kowe?” (anu Par, nanti malam ada acara gak kamu?).
“mboten e pak, enten nopo nggih?” (nggak pak, memangnya ada apa ya pak?) Pardi bertanya semakin heran.
“yo wis, ngko bar iso rene yo Par? Ono sing arep tak omongke karo kowe.” (ya sudah, nanti habis isya kesini ya Par? Ada yang mau aku obrolin sama kamu.).
“oh ngih pak nggih..” Pardi mengangguk menyanggupi permintaan pak Suprapto kepadanya untuk datang malam nanti.
“yo wis ngono ae Par. Oh yo iki nganu, ono panganan nggo kowe karo bojomu yo!” (ya sudah gitu aja Par,. Oh iya ini ada makanan buat kamu sama istrimu ya!). pak Suprapto mengulurkan rantang yang penuh oleh opor ayam panas didalamnya. Senyum hangatnya mengembang menatap mata Pardi yang berkaca-kaca.
“matursuwun engast lho pak niki, matursuwun engast pak.!” (termakasih banyak lho ini pak, terimakasih banyak pak!). ada keharuan yang dalam ketika Pardi menerima rantang berisi opor ayam dari pak Suprapto. Sesuatu yang bagi pak Suprapto mungkin adalah hal yang biasa saja, namun bagi Pardi, rantang ditangannya ini adalah satu hal yang luar biasa mewah.
Disepanjang perjalanan pulangnya, Pardi tak berhenti mengucap sykur. Ada tetes air mata yang menggantung dan siap jatuh dari kelopak matanya. Dalam benaknya, terbayang Ratmi yang akan tersenyum girang ketika tahu bahwa Pardi membawa makanan kesukaanya. Seingatnya, Ia dan Ratmi sudah lama sekali tak menemui makanan semewah ini.
.....
Adzan isya merayapi langit yang menua. Purnama menggantung disalah satu sisinya. Awan berderak sewarna perak. Namun Pardi masih juga belum beranjak menuju rumah pak Suprapto. Ratmi duduk disampingnya, menjambal paha ayam. Diantara mereka, sepiring ubi dan secangkir teh pahit terdiam bisu, menunggu ada yang menjamahnya.
“ono acara opo to mas nang umahe pak Suprapto?” (ada acara apa sih mas dirumah pak Suprapto?). tanya Ratmi disela kesibukan melepaskan daging dari tulang paha yang ia genggam.
Pardi menggeleng, matanya mengawang. “mberuh, aku mung dikon rono bar isya iki.” (gak tahu, aku Cuma disuruh kesana habis isya ini.) jawab pardi yang kali ini menjatuhkan pandangannya pada Ratmi, pada anak pertamanya yang meringkuk hangat dikedalaman perut istrinya.
“yo wis ndang to mas!” (ya sudah, siap-siap kalo begitu mas!).
Pardi mengangguk ia bangkit seraya menyesap teh pahitnya yang mulai kehilangan kehangatan. Setelah Ratmi mencium punggung tangannya, Pardi pamit untuk pergi memenuhi undangan pak Suprapto.
Jaket tebal dan sehalai sarung yang ia kerudungkan ketubuhnya ternyata tak cukup melawan gigilnya udara malam. Namun, gigil itu juga tak cukup kuat untuk mengurangi langkah Pardi yang begitu mantap. Satu belokan lagi, ia akan tiba di rumah pak Suprapto. Walau Pardi tak tahu pasti kenapa pak Suprapto menyuruhnya untuk datang malam ini, ia berharap bahwa mungkin pak Suprapto akan membantunya melewati titik paling sulit dalam kehidupannya ini. Semoga. Lirih Pardi berucap sembari menengadahkan kepalanya pada rimbun cahaya bulan.
.....
Malam masih ranum ketika Pardi dan pak Suprapto mengobrol di ruang tamu yang nyaris sepenuhnya bercat hijau itu. Ada sepiring ubi goreng dan dua cangkir kopi hitam yang masih sama-sama menguarkan uapnya peraknya ke udara pegunungan yang dingin.
Keduanya tampak membicarakan satu hal yang serius. namun ada perbedaan yang sangat kental diantara keduanya. Pak Suprapto dengan air wajah yang menyala-nyala dengan kata-kata yang keluar dari mulutnya. Sementara Pardi menunduduk, seluruh tubuhnya bergetar hebat, dan air wajahnya landa dan berwarna pucat. Obrolan serius itu berlangsung selama hampir satu jam. Dan setelah itu, Pardi pamit untuk pulang, masih dengan tubuh gemetar entah karena apa dan wajahnya kelihatan tambah pucat. Disepanjang perjalanannya kembali menuju rumah, Pardi berusaha menguraikan apa saja yang telah pak Suprapto bicarakan kepadanya. Apa saja yang sudah pak Suprapto tawarkan kepadanya. Sebuah jalan keluar dari situasinya saat ini. Namun disaat itu juga, timbul satu pertanyaan lain dari satu lubang dikedalaman dadanya :
“apakah sanggup ia memutuskan?”.
.....
Sudah seminggu setelah percakapannya dengan pak Suprapto. Pardi telah memutuskan. Ia telah siap segala resiko yang harus ia tanggung. Harus ia akui bahwa keadaanya saat ini terlampau sulit. Hutang yang melilit, belum lagi dalam hitungan minggu ini, ratmi akan melahirkan. Mau tak mau, Pardi harus memutuskan. Sebuah keputusan yang ia dasari entah karena ia tak lagi bisa melihat jalan, atau karna ia tak lagi punya pilihan. Satu hal yang pasti, Pardi putus asa.
Sore itu, senja melabuhkan cahayanya di sudut yang jauh, ketika pardi terdiam di jok belakang mobil yang dikemudikan tenang oleh pak Suprapto.
“pokoke, mengko koe teko, wis ra usah omong opo opo par. Wonge sing nang kono wis ngerti. Ning aku yo ra iso wenei ngerti opo sing kudu kowe lakoni mengko.” (pokoknya, nanti kamu datang, sudah gak usah bilang apa-apa. orangnya yang disana udah ngerti. Tapi aku juga gak bisa ngasih tau apa yang harus kamu lakuin nanti.)
Dari balik kemudi, Pak Suprapto berujar tenang. Sesekali ia menatap wajah pardi yang seolah membiru karna beku.
“wis ora semang mbok pikiri par. Sing arep kowe lakoni iki yo nggo bojomo karo anakmu to?”(udah ga usah kamu pikirin par, toh yang mau kamu lakuin ini buat istri sama anakmu kan?).
Pardi terkesiap. Entah kenapa, apa yang barusaja ia dengar terasa benar. Iya, yang ia lakukan memang untuk istri dan anaknya yang akan lahir dalam waktu dekat ini. Lagipula ia sudah bosan dengan keadaan sulit yang sudah lama melandanya. Di kelokan terkahir itu, ia membulatkan hati. Ia tancapkan tekad pada keputusannya yang telah mantap. Apapun akan ia lakukan demi bisa keluar dari situasi ini.
Mobil dengan aroma cengkeh yang kental itu memasuki sebuah area pekuburan yang lebih gelap dari warna senja. Rimbun pohon kamboja di kanan kiri yang barangkali membuatnya sedemikian rupa. Pak suprapto menghentikan mobil dan mengajak Pardi untuk turun lalu melanjutkan perjalanan yang hanya beberapa puluh meter lagi.
Di tengah area pemakaman itu, berdiri sebuah rumah kecil dengan dinding tembok bercat putih kusam, sewarna langit mendung yang akan segera jadi hujan. Di depan rumah itu, sepasang kursi bambu mengkilap, salah satunya telah diduduki oleh seorang lelaki berusia jelang 70an berpakaian serba hitam, dengan blangkon solo melingari kepalanya yang berambut putih, seputih rokok lintingan menyan yang terapit disela jemarinya yang agak gemetar.
Pak Suprapto membungkuk. Namun pardi tetap begeming. Ada getaran aneh yang menjalari sekujur tubuhnya. Dan tiba-tiba saja, tanpa ia sadari, kakinya melangkah maju, menghampiri lelaki yang yang entah sudah sejak kapan duduk di salah satu kursi bambu itu.
Tanpa sepatah katapun, lelaki dengan pakaian serba hitam itu berdiri dan memberi isyrat agar Pardi mengikutinya. Dengan langkah kecil dan hati-hati, pardi mengekor, memasuki rumah kecil itu. Aroma kembang dan dupa menguar kuat, meringsek masuk kedalam hidungnya, membuatnya nyaris terbatuk.
Rumah itu hanya memiliki dua ruangan. Satu ruangan seperti ruang tamu dengan empat kursi dan satu meja bundar dari kayu jati dengan ukiran halus. Satu ruangan lagi, seperti sebuah kamar, namun tanpa pintu, digantikan selembar kain putih yang usang dan berdebu dimakan waktu.
Lelaki tua dengan pakaian serba hitam itu memberi isyarat pada pardi untuk terus mengikutinya memasuki ruangan dengan pintu dari kain putih itu. Dengan langkah yang lebih kecil, pardi mengekor. Sesampainya di dalam kamar, aroma dupa dan kembang-kembang yang lebih pekat menyerang dadanya. Di salah satu dinding kamar itu, tergantung sebuah pedang dengan lengkungan yang sempurna. Pedang itu tampak tua, namun tajam. Perlahan, diraihnya pedang yang tergantung itu oleh lengan gemetar si lelaki tua yang sama sekali belum bicara. Di serahkannya pedang itu kepada Pardi yang kali ini, mau tak mau harus merasakan getaran hebat yang tak sanggup ia lawan. Setelah pedang berada ditangan Pardi, lelaki tua itu baru bicara :
“opo wae sing mengko teko, kowe kudu siap mbabat nggo pedang kui!!!” (apapun yang nanti datang, kamu harus siap menebasnya dengan pedang itu!!!)
Pardi hanya mengangguk. Dalam batinnya, ia telah siap menebas apapun yang akan datang. Iblis apapun. Bahkan dengan rupa menakutkan yang tak pernah ia bayangkan sekalipun. Ia siap. Setelah ia mengangguk beberapa kali. Lelaki tua berpakian serba hitam itu melangkah pergi tanpa mengatakan apa-apa lagi.
Detik menetes pelan. Entah sudah berapa lama pardi menunggu sesuatu yang akan datang melewati lembar kain putih kusam itu. Telapak tangannya berkeringat. Dalam hatinya ia berbisik. Apapun yang akan datang kemari, aku siap menebasnya. Berulang kali ia membisikkan kata-kata itu kepada dirinya sendiri. Dan entah pada detik yang keberapa, udara di sekitarnya berdesir dingin. Kain putih itu bekelebat lembut. Terdengar deru langkah yang mendekat. Cengkraman tangannya pada pedang makin mengkuat. Ia tahu, sesuatu yang mengerikan akan datang dan ia harus menebasnya. Maka kehidupannya akan berubah seperti yang pak Suparpto janjikan.
Kain putih itu terus bekelebat. Sementara udara disekitarnya seperti beku dan tajam menghunus nafasnya. Pardi mengambil ancang-ancang ketika matanya menangkap ada yang bergerak maju dibalik kain putih itu. Pedang ditangannya sudah siap terayun, namun mendadak, sekujur tulang yang menopang tubuhnya seakan kehilangan daya ketika sosok yang sejak tadi ia tunggu telah sempurna berada dihadapannya. Lemas, Pardi menelan ludah yang berat entah sebab apa. dalam bayangannya, sosok yang akan datang dan akan ia tebas adalah sosok setan yang paling menyeramkan yang bahkan belum pernah ia bayangakan. Namun nyatanya, sosok yang kini berada dihadapannya adalah Ratmi dengan mata sendu dan satu tangan yang mengusap-usap lembut perutnya. Rambutnya yang panjang jatuh mulus melewati bahunya. Dan satu lengkung senyum yang begitu akrab dari bibir Ratmi, Pardi terkulai diiringi bunyi denting pedang yang menggema mengisi penuh kamar yang kosong. Dalam simpuhnya, tangis Pardi meledak. Menghamburkan segala isi dirinya pada ruang bernama putus asa dan penyesalan.
.....
Satu bulan telah lewat sejak saat itu. Ratmi telah melahirkan. Sebagai seorang ibu, Ratmi patut merasa bangga. Ia bisa tersenyum sebab ia bisa melewati sebuah titik paling rapuh seorang wanita. Sebuah perjudian dengan taruhan nyawa. Namun tidak dengan Pardi. Baginya, ia telah gagal sebagai lelaki dan tak akan pernah pantas menjadi seorang ayah. Ada tetes yang meluncur begitu saja dari kelopak matanya yang sudah sejak lama berkaca-kaca ketika ia melihat anaknya yang baru berusia seminggu itu menggeliat digendongan Ratmi.
“wis lah mas, wis ora semang ditangisi. Sing penting aku selamet, anakmu yo selamet. Perkoro cacat iki yo ujianne gusti Allah, kabeh wis digarisno. Menungso mung iso pasrah lan nerimo. Wis, disyukuri wae mas.”(sudahlah mas, sudah gak usah ditangisi. Yang penting aku selamat, anak kamu juga selamat. Masalah cacat ini ya mungkin ujian dari gusti Allah. Semua sudah digariskan. Manusia Cuma bisa pasrah dan menerima. Sudah, disyukuri saja mas.)
Lembut, Ratmi mengusap rambut suaminya yang selalu menangis jika melihat kondisi anak mereka. Ratmi tak pernah tahu apa yang telah dilakukan suaminya. Ratmi tak pernah tahu, bahwa apa yang menimpa darah dagingnya adalah hasil dari apa yang ditanam suaminya. Ratmi tak pernah tahu.
Sementara Pardi hanya bisa menyesali perbuatannya. Ia hanya bisa menangisi anak pertamanya yang lahir dengan selamat, namun dengan kondisi tubuh yang cacat. Ia membayangkan, bagaimana kehidupan anaknya kelak dengan kondisi tangan dan kaki yang ganjil seperti itu? Seperti ada kekuatan yang memuntir dan mematahkan tulang tulang tangan dan kaki mungil anaknya sejak masih berada dalam kandungan ibunya.
sumber :
Gambar : google
Edit : canva
Tulisan : tangan sendiri
Ide tulisan : berdasarkan cerita yang dialami sendiri oleh seorang teman bapak.
Gambar : google
Edit : canva
Tulisan : tangan sendiri
Ide tulisan : berdasarkan cerita yang dialami sendiri oleh seorang teman bapak.




redbaron dan disya1628 memberi reputasi
4
5.4K
12


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan