- Beranda
- Komunitas
- News
- Citizen Journalism
Ribut lagi, Isu Pangan Jadi Komoditas Politik


TS
petaniitukeren
Ribut lagi, Isu Pangan Jadi Komoditas Politik
Perdebatan demi perdebatan terus terjadi silih berganti, terkait persoalan penyediaan bahan pangan di Indonesia. Gaduh seputar data produksi beras nasional perlahan menyurut, namun berganti dengan gaduh menyusul keputusan pemerintah mengimpor 100 ribu ton jagung pakan ternak.
Akademisi dan perwakilan kalangan petani sepakat, akar perdebatan soal pangan bukan berasal dari pengelolaan pangan itu sendiri, namun lebih pada sisi eksternal di mana pangan dijadikan semacam komoditas untuk pemenuhan kepentingan-kepentingan sebagian kalangan. Terlebih menjelang tahun politik yang semakin dekat.
Sebab, petani menurut Direktur Eksekutif Petani Centre Entang Sastraatmaja, tidak begitu peduli dengan ribut impor. Khususnya di pulau Jawa yang sebagian petaninya adalah petani gurem dan buruh tani. Hanya sebagian kecil yang memiliki lahan di atas 2 ha.
“Nah kalau kita lihat mereka, mereka tidak terlalu peduli dengan impor atau tidak. Yang penting bisa bekerja, bisa menyewa sawahnya, supaya kebutuhan hidup kesehariannnya terpenuhi. Nah impor ini menurut saya lebih banyak digaungkan di kalangan elit. Org yg punya kepentingan-kepentingan sesaat begitu. Mereka menggoreng isu impor ini menjadi sesuai yang sangat penting”, ujar Entang.
Petani, lanjut Entang, harus diyakinkan bahwa impor bukan sesuatu yang harus diributkan. Terlebih mengingat potensi yang ada untuk meningkatkan kapasitas produksi.
“Nah kalau saya melihat impor ekspor itu hal yang biasa dalam perdagangan internasional. Kita harus yakinkan kepada temen-teman petani, bahwa impor ekspor buka sesuatu yang harus di heboh-hebohkan. Anggap saja itu sesuatu yang biasa dalam perdagangan internasional”, kata Entang lagi.
Hanya saja ia bertanya-tanya, benarkah Indonesia dengan segala potensinya di bidang pertanian harus banyak melakukan impor komoditas pangan?
“Masa sih kita punya potensi punya kekuatan kok tiba-tiba harus melakukan impor. Jadi kan kalau menurut saya soal kebutuhan dan lain sebagainya, dengan data (BPS) yang baru ini sebetulnya kita tidak perlu melakukan impor. Tinggal sekarang bagaimana kita menggenjot supaya produksi kita terus meningkat sekalipun kita berhadapan dengan kondisi-kondisi alam yang memang sulit untuk kita lawan”, jelasnya.
Mengapa Harus Ribut ?
Akal sehat Dekan Fakultas Pertanian Universitas Islam Riau, Ujang Paman Ismail terusik, mengikuti diskusi pelik dan pemberitaan berkepanjangan di media massa terkait impor jagung. Ia sangat menyayangkan kebijakan impor jagung maksimal sebesar 100 ribu ton oleh Menko Perekonomian Darmin Nasution – yang jumlahnya sangat kecil tersebut dikait-kaitkan dengan kegagalan produksi petani kita di dalam negeri dan pembenaran kegagalan program pertanian secara luas.
“Sejatinya dalam definisi kedaulatan pangan di negara manapun, swasembada dan impor merupakan dua hal yang tidak bisa disandingkan atau dipertentangkan. Karena swasembada lebih memiliki orientasi kecukupan produksi dalam negeri, sementara impor bisa lebih banyak terkait pada upaya untuk stabilisasi harga melalui distribusi antar wilayah atau bahkan lintas negara”, terang Ujang.
Di beberapa negara tetangga seperti Jepang dan Thailand mereka mendeklarasikan bahwa sudah swasembada pangan secara Nasional. Dua negara itu bahkan telah surplus beberapa komoditas pertanian. Namun di lain waktu dan pada beberapa lokasi kedua negara itu melakukan kegiatan importasi yang ditujukan untuk stabilisasi harga di suatu wilayah.
“Politisasi impor yang sangat kecil tersebut sangat lucu dan dangkal dalam memahami persoalan yang ada. Bagaimanapun juga, pemerintah kita telah mampu meminimalkan impor melalui keputusan berani dari Menteri Pertanian (Mentan) Amran Sulaiman yang menyatakan stop impor Jagung untuk kebutuhan Pakan ternak sejak 2015”, jelasnya lagi.
Di samping itu Data Badan Pusat Statistik (BPS) juga menyimpulkan produksi dan pasokan jagung tahun 2018 sudah surplus sebesar 12 juta ton PK. Selama 3 tahun ini Indonesia sudah menstop impor jagung yang biasanya 3,5 juta ton pertahun, bahkan ditahun 2018 saja, sampai bulan Oktober, Indonesia sudah mengekspor 370 ribu ton jagung ke negara tetangga. Jadi, persoalan jagung bukan hanya masalah produksi. Kenapa pada saat harga tinggi banyak yang komplain masalah produksi. Padahal jelas-jelas data menunjukkan produksi kita surplus. Ujang menggaris bawahi spersoalan konektivitas sentra produksi ke pengguna jagung yang memusat di beberapa provinsi saja merupakan masalah utama.
Ujang yang juga Ketua Perhimpunan Ekonomi Pertanian khawatir, polemik terkait impor yang volumenya kecil ini juga akan mempengaruhi psikologi pasar dan menjadi pukulan telak bagi jutaan petani jagung Indonesia. Terlebih sejak tahun 2015, petani kita menikmati keuntungan yang sangat layak dari usahatani jagung dan terbukti keringat mereka sudah mencukupi kebutuhan pakan ternak dalam tiga tahun terakhir.
“Apalagi keputusan dan polemik impor ini dilakukan di akhir tahun yang merupakan musim panen raya jagung di banyak wilayah sentra produksi seperti NTB, Jawa Timur, Sulawesi dan sebagian Sumatra. Hal ini tentunya akan menurunkan semangat petani yang sekarang mengandalkan usahatani jagung. Kalau impor masuk saat panen, pasar akan menangkap signal stok berlebih dari impor dan pasokan jagung petani akan dihargai rendah.
Kekhawatiran Ujang benar adanya. Ribut-ribut menyusul kebijakan pemerintah mengimpor jagung dalam waktu dekat – yang diputuskan dalam rapat koordinasi pangan di Kantor Kementerian Koordinator Perekonomian, Jakarta, pada Jumat (2/11/2018) lalu, menjadi pukulan telak bagi petani.
“Secara psikologis ini menjadi pukulan telak bagi petani. Apalagi kebijakan impor jagung ini diambil saat stok masih banyak. Secara langsung atau tidak langsun”, kata Ketua Asosiasi Petani Jagung Indonesia (APJI), Sholahuddin.
Menurut Sholahuddin, dirinya mengaku kaget dengan adanya kebijakan pemerintah untuk melakukan impor jagung. Terlebih sejak tahun 2017, produksi jagung dalam negeri sudah mencukupi kebutuhan pakan ternak. “Seharusnya tahun politik menjadi kesempatan pemerintah untuk semakin menunjukkan keberpihakannya kepada petani,” tandasnya.
Lebih lanjut, Sholahuddin menyampaikan sebaran lokasi dan waktu tanam jagung bervariasi. Sebagian besar petani jagung di sentra produksi memasuki masa tanam. Sementara itu, sejumlah lokasi di Jawa Timur, seperti Jember, Tuban, Kediri, Jombang, dan Mojokerto sekitar dua pekan mendatang justru akan melakukan panen. Hal tersebut sekaligus menepis anggapan bahwa kenaikan harga pakan ternak diakibatkan oleh produksi jagung yang menurun.
“Kalau ada yang menyebut impor perlu dilakukan karena stok menipis, kami bisa mentahkan itu. Saat ini pabrik pengering kami di Lamongan saja, masih ada stok 6.000 ton. Di Dompu juga masih stok banyak karena di sana masih ada panen,” tutur Sholahuddin.
Sholahuddin menyayangkan kebijakan impor yang dikeluarkan sekarang kemungkinan baru akan terealisasi di bulan Januari. Momen itu bertabrakan dengan musim panen raya.
“Ini tentunya akan menurunkan semangat petani yang sekarang masih menanam. Kalau impor masuk saat panen, petani sudah bisa membayangkan harga jagung mereka akan anjlok,” jelasnya.
Karena itu, Ia meminta pemerintah untuk mempertimbangkan kembali keputusannya. Apalagi sesuai undang-undang, pemerintah harus melindungi petani dari kerugian.
“Impor ketika panen raya melanggar undang-undang karena impor ketika panen raya bisa menyebabkan harga anjlok,” ungkap Sholahuddin.
Dengan kondisi tanam dan panen yang bervariasi, Sholahuddin optimistis produksi jagung hingga akhir tahun bisa mencapai target yang ditetapkan pemerintah. Apalagi panen di tahun ini mencakup lahan yang luas.
"Pertanaman jagung Bulan September mencapai 5,86 juta hektar tersebar di wilayah Indonesia, dan sampai Bulan Oktober produksi jagung diperkirakan mencapai 25,97 juta ton, Insya Allah dengan semangat petani untuk menanam, target 30,05 juta ton jagung di 2018 bisa tercapai, semangat petani itu yang perlu kita jaga," tutup Sholahuddin. (*)
Akademisi dan perwakilan kalangan petani sepakat, akar perdebatan soal pangan bukan berasal dari pengelolaan pangan itu sendiri, namun lebih pada sisi eksternal di mana pangan dijadikan semacam komoditas untuk pemenuhan kepentingan-kepentingan sebagian kalangan. Terlebih menjelang tahun politik yang semakin dekat.
Sebab, petani menurut Direktur Eksekutif Petani Centre Entang Sastraatmaja, tidak begitu peduli dengan ribut impor. Khususnya di pulau Jawa yang sebagian petaninya adalah petani gurem dan buruh tani. Hanya sebagian kecil yang memiliki lahan di atas 2 ha.
“Nah kalau kita lihat mereka, mereka tidak terlalu peduli dengan impor atau tidak. Yang penting bisa bekerja, bisa menyewa sawahnya, supaya kebutuhan hidup kesehariannnya terpenuhi. Nah impor ini menurut saya lebih banyak digaungkan di kalangan elit. Org yg punya kepentingan-kepentingan sesaat begitu. Mereka menggoreng isu impor ini menjadi sesuai yang sangat penting”, ujar Entang.
Petani, lanjut Entang, harus diyakinkan bahwa impor bukan sesuatu yang harus diributkan. Terlebih mengingat potensi yang ada untuk meningkatkan kapasitas produksi.
“Nah kalau saya melihat impor ekspor itu hal yang biasa dalam perdagangan internasional. Kita harus yakinkan kepada temen-teman petani, bahwa impor ekspor buka sesuatu yang harus di heboh-hebohkan. Anggap saja itu sesuatu yang biasa dalam perdagangan internasional”, kata Entang lagi.
Hanya saja ia bertanya-tanya, benarkah Indonesia dengan segala potensinya di bidang pertanian harus banyak melakukan impor komoditas pangan?
“Masa sih kita punya potensi punya kekuatan kok tiba-tiba harus melakukan impor. Jadi kan kalau menurut saya soal kebutuhan dan lain sebagainya, dengan data (BPS) yang baru ini sebetulnya kita tidak perlu melakukan impor. Tinggal sekarang bagaimana kita menggenjot supaya produksi kita terus meningkat sekalipun kita berhadapan dengan kondisi-kondisi alam yang memang sulit untuk kita lawan”, jelasnya.
Mengapa Harus Ribut ?
Akal sehat Dekan Fakultas Pertanian Universitas Islam Riau, Ujang Paman Ismail terusik, mengikuti diskusi pelik dan pemberitaan berkepanjangan di media massa terkait impor jagung. Ia sangat menyayangkan kebijakan impor jagung maksimal sebesar 100 ribu ton oleh Menko Perekonomian Darmin Nasution – yang jumlahnya sangat kecil tersebut dikait-kaitkan dengan kegagalan produksi petani kita di dalam negeri dan pembenaran kegagalan program pertanian secara luas.
“Sejatinya dalam definisi kedaulatan pangan di negara manapun, swasembada dan impor merupakan dua hal yang tidak bisa disandingkan atau dipertentangkan. Karena swasembada lebih memiliki orientasi kecukupan produksi dalam negeri, sementara impor bisa lebih banyak terkait pada upaya untuk stabilisasi harga melalui distribusi antar wilayah atau bahkan lintas negara”, terang Ujang.
Di beberapa negara tetangga seperti Jepang dan Thailand mereka mendeklarasikan bahwa sudah swasembada pangan secara Nasional. Dua negara itu bahkan telah surplus beberapa komoditas pertanian. Namun di lain waktu dan pada beberapa lokasi kedua negara itu melakukan kegiatan importasi yang ditujukan untuk stabilisasi harga di suatu wilayah.
“Politisasi impor yang sangat kecil tersebut sangat lucu dan dangkal dalam memahami persoalan yang ada. Bagaimanapun juga, pemerintah kita telah mampu meminimalkan impor melalui keputusan berani dari Menteri Pertanian (Mentan) Amran Sulaiman yang menyatakan stop impor Jagung untuk kebutuhan Pakan ternak sejak 2015”, jelasnya lagi.
Di samping itu Data Badan Pusat Statistik (BPS) juga menyimpulkan produksi dan pasokan jagung tahun 2018 sudah surplus sebesar 12 juta ton PK. Selama 3 tahun ini Indonesia sudah menstop impor jagung yang biasanya 3,5 juta ton pertahun, bahkan ditahun 2018 saja, sampai bulan Oktober, Indonesia sudah mengekspor 370 ribu ton jagung ke negara tetangga. Jadi, persoalan jagung bukan hanya masalah produksi. Kenapa pada saat harga tinggi banyak yang komplain masalah produksi. Padahal jelas-jelas data menunjukkan produksi kita surplus. Ujang menggaris bawahi spersoalan konektivitas sentra produksi ke pengguna jagung yang memusat di beberapa provinsi saja merupakan masalah utama.
Ujang yang juga Ketua Perhimpunan Ekonomi Pertanian khawatir, polemik terkait impor yang volumenya kecil ini juga akan mempengaruhi psikologi pasar dan menjadi pukulan telak bagi jutaan petani jagung Indonesia. Terlebih sejak tahun 2015, petani kita menikmati keuntungan yang sangat layak dari usahatani jagung dan terbukti keringat mereka sudah mencukupi kebutuhan pakan ternak dalam tiga tahun terakhir.
“Apalagi keputusan dan polemik impor ini dilakukan di akhir tahun yang merupakan musim panen raya jagung di banyak wilayah sentra produksi seperti NTB, Jawa Timur, Sulawesi dan sebagian Sumatra. Hal ini tentunya akan menurunkan semangat petani yang sekarang mengandalkan usahatani jagung. Kalau impor masuk saat panen, pasar akan menangkap signal stok berlebih dari impor dan pasokan jagung petani akan dihargai rendah.
Kekhawatiran Ujang benar adanya. Ribut-ribut menyusul kebijakan pemerintah mengimpor jagung dalam waktu dekat – yang diputuskan dalam rapat koordinasi pangan di Kantor Kementerian Koordinator Perekonomian, Jakarta, pada Jumat (2/11/2018) lalu, menjadi pukulan telak bagi petani.
“Secara psikologis ini menjadi pukulan telak bagi petani. Apalagi kebijakan impor jagung ini diambil saat stok masih banyak. Secara langsung atau tidak langsun”, kata Ketua Asosiasi Petani Jagung Indonesia (APJI), Sholahuddin.
Menurut Sholahuddin, dirinya mengaku kaget dengan adanya kebijakan pemerintah untuk melakukan impor jagung. Terlebih sejak tahun 2017, produksi jagung dalam negeri sudah mencukupi kebutuhan pakan ternak. “Seharusnya tahun politik menjadi kesempatan pemerintah untuk semakin menunjukkan keberpihakannya kepada petani,” tandasnya.
Lebih lanjut, Sholahuddin menyampaikan sebaran lokasi dan waktu tanam jagung bervariasi. Sebagian besar petani jagung di sentra produksi memasuki masa tanam. Sementara itu, sejumlah lokasi di Jawa Timur, seperti Jember, Tuban, Kediri, Jombang, dan Mojokerto sekitar dua pekan mendatang justru akan melakukan panen. Hal tersebut sekaligus menepis anggapan bahwa kenaikan harga pakan ternak diakibatkan oleh produksi jagung yang menurun.
“Kalau ada yang menyebut impor perlu dilakukan karena stok menipis, kami bisa mentahkan itu. Saat ini pabrik pengering kami di Lamongan saja, masih ada stok 6.000 ton. Di Dompu juga masih stok banyak karena di sana masih ada panen,” tutur Sholahuddin.
Sholahuddin menyayangkan kebijakan impor yang dikeluarkan sekarang kemungkinan baru akan terealisasi di bulan Januari. Momen itu bertabrakan dengan musim panen raya.
“Ini tentunya akan menurunkan semangat petani yang sekarang masih menanam. Kalau impor masuk saat panen, petani sudah bisa membayangkan harga jagung mereka akan anjlok,” jelasnya.
Karena itu, Ia meminta pemerintah untuk mempertimbangkan kembali keputusannya. Apalagi sesuai undang-undang, pemerintah harus melindungi petani dari kerugian.
“Impor ketika panen raya melanggar undang-undang karena impor ketika panen raya bisa menyebabkan harga anjlok,” ungkap Sholahuddin.
Dengan kondisi tanam dan panen yang bervariasi, Sholahuddin optimistis produksi jagung hingga akhir tahun bisa mencapai target yang ditetapkan pemerintah. Apalagi panen di tahun ini mencakup lahan yang luas.
"Pertanaman jagung Bulan September mencapai 5,86 juta hektar tersebar di wilayah Indonesia, dan sampai Bulan Oktober produksi jagung diperkirakan mencapai 25,97 juta ton, Insya Allah dengan semangat petani untuk menanam, target 30,05 juta ton jagung di 2018 bisa tercapai, semangat petani itu yang perlu kita jaga," tutup Sholahuddin. (*)


anasabila memberi reputasi
1
374
1


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan