- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita Luar Negeri
Setelah Memecah-belah Amerika, Trump Gagal Mempersatukannya Kembali


TS
methadone.500mg
Setelah Memecah-belah Amerika, Trump Gagal Mempersatukannya Kembali
Trump telah memecah-belah Amerika sehingga sebagian besar orang Amerika tersulut oleh energi dari ujaran kebenciannya, dan ia gagal untuk mempersatukannya kembali. Retorika Trump sudah lama melewati batas. Sekarang Donald Trump tidak akan pernah menjadi pemimpin yang dapat membawa Amerika kembali ke kondisi semula, sebelum dia datang dengan kecaman dan kemarahannya.
Dalam sebuah pidato singkat oleh Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump pada Rabu (24/10) tentang paket bom yang dikirim ke tokoh-tokoh terkemuka Demokrat dan ke organisasi media yang berulang kali dijelek-jelekkan Trump, ia melakukan hal yang paling kecil yang bisa dilakukan oleh seorang Presiden. Meskipun dia menggunakan kata-kata seperti “menjijikkan” dan “tercela,” Trump berusaha keras untuk terdengar seperti seorang pemimpin sejati dari sebuah negara yang dilanda konflik politik.
Nada suaranya yang tenang terdengar tidak tulus bagi siapa pun yang akrab dengan intensitas penampilannya saat kampanye, dan kegagalannya dalam menyebutkan CNN—media yang menjadi target kiriman paket bom—mengungkapkan isi hatinya yang sebenarnya.
Trump adalah orang yang memandang bahwa objek kemarahan dan ejekannya pantas dihormati, dan orang yang tidak memiliki naluri kesopanan. Dia menunggu Wakil Presiden AS Mike Pence dan putrinya Ivanka Trump untuk memberikan kata-kata dukungan bagi para target paket bom tersebut, sebelum menuliskan tiga kata “saya sangat setuju!” di Twitter.
Respons tersebut merupakan upaya yang menyedihkan, terutama karena berasal dari seorang pria yang seringkali menghebohkan internet lewat tulisannya di Twitter, bahkan sebelum sebagian besar Amerika terbangun. Kemudian, ketika dia berbicara di depan umum pada Rabu (24/10) sore tentang ancaman bom, Trump memberikan pernyataan lemah tentang persatuan bipartisan.
Tidak sampai Rabu (24/10) malam, di sebuah pawai umum di Mosinee, Wisconsin, ia mengambil sikap konkret dengan mengatakan, “Setiap tindakan atau ancaman kekerasan politik adalah serangan terhadap demokrasi kita sendiri. Ada satu cara untuk menyelesaikan perselisihan, yang diserukan secara damai di kotak suara.”
Namun, mengingat rekam jejak Trump, kata-kata tersebut tak banyak berpengaruh. Trump berkampanye secara memecah-belah tanpa pretensi untuk menyatukan bangsa. Ketika dia memfitnah media nasional—terutama CNN—dia berusaha untuk merendahkan para wartawan sebagai “sampah,” “mengerikan,” dan, yang paling buruk, “musuh rakyat.”
Selama kampanyenya, Trump dengan menyesal mengingat hari-hari ketika para pengunjuk rasa dibawa pergi dari berbagai peristiwa “dengan tandu.” Trump juga menawarkan untuk membayar biaya hukum seandainya seorang pendukung menyerang seseorang yang tidak setuju di kampanye Trump. Sekarang, dia tidak ada dalam posisi untuk menyerukan perdamaian dan persatuan.
Hillary Clinton—yang masih menjadi objek seruan “penjarakan dia” di kampanye Trump—menjadi sasaran kampanye hitam “crooked Hillary,” seolah-olah Hillary benar-benar seorang kriminal. Lagipula siapa yang tidak ingat upaya selama bertahun-tahun yang dilakukan Trump untuk meragukan legitimasi mantan Presiden AS Barack Obama dengan retorika teori konspirasi tentang tempat kelahirannya?
Amerika kini belum mengetahui siapa yang mengirim paket bom tersebut maupun motif di baliknya. Tapi Amerika bisa mengatakan bahwa teori konspirasi Trump mempromosikan—seperti retorika kekerasan yang dia gunakan—upaya merendahkan iklim politik hingga ke titik tertentu, di mana terorisme yang datang dengan paket bom bukanlah suatu kejutan.
Masalah ini dibayangi selama kampanye ketika dua pria menyerang seorang pria Hispanik di Massachusetts sambil berkata “Donald Trump benar. Semua kaum ilegal ini harus dideportasi.”
Contoh lain dari kekerasan yang dipicu Trump tersebut adalah ketika salah satu pendukungnya menyerang seorang pengunjuk rasa di sebuah kampanye. Contoh lainnya adalah ketika seorang wartawan didorong oleh manajer kampanye Trump pada suatu konferensi pers.
Baru-baru ini, seorang pria California yang memiliki 20 senjata api ditangkap setelah mengancam staf di Boston Globe. Dia telah menggunakan istilah “musuh rakyat” khas Trump dalam caciannya kepada surat kabar tersebut.
Mengingat konstruksi Presiden Trump atas semesta alternatif di mana dia diizinkan oleh ribuan orang untuk mengucapkan kebohongan tanpa pernah bertanggung jawab, usahanya yang tidak tepat untuk menanggapi ancaman paket bom pada Rabu (24/10) mungkin saja tak terelakkan. Trump telah secara konsisten bermain dengan api dalam membicarakan kekerasan, dan telah berkembang dengan strategi untuk pergi ke tempat lain yang—dengan alasan yang tepat—tidak pernah dimasuki oleh orang lain sebelumnya.
Banyak rekan sejawatnya dari Partai Republik tampaknya telah kehilangan keinginan untuk menegurnya, dan dia telah memecah-belah Amerika sehingga sebagian besar orang Amerika tersulut oleh energi dari ujaran kebenciannya.
Sebagai seorang Presiden, Trump telah melegitimasi kemarahan, menetapkan kondisi untuk bahaya yang sedang meningkat, dan mengurangi kemampuan Amerika untuk bahkan menyikapi satu sama lain dengan niat baik dan kesopanan.
Retorika Trump sudah lama melewati batas. Sekarang Trump tidak akan pernah menjadi pemimpin yang dapat membawa Amerika kembali ke kondisi semula, sebelum dia datang dengan kecaman dan kemarahannya.
https://www.matamatapolitik.com/opin...annya-kembali/
Dalam sebuah pidato singkat oleh Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump pada Rabu (24/10) tentang paket bom yang dikirim ke tokoh-tokoh terkemuka Demokrat dan ke organisasi media yang berulang kali dijelek-jelekkan Trump, ia melakukan hal yang paling kecil yang bisa dilakukan oleh seorang Presiden. Meskipun dia menggunakan kata-kata seperti “menjijikkan” dan “tercela,” Trump berusaha keras untuk terdengar seperti seorang pemimpin sejati dari sebuah negara yang dilanda konflik politik.
Nada suaranya yang tenang terdengar tidak tulus bagi siapa pun yang akrab dengan intensitas penampilannya saat kampanye, dan kegagalannya dalam menyebutkan CNN—media yang menjadi target kiriman paket bom—mengungkapkan isi hatinya yang sebenarnya.
Trump adalah orang yang memandang bahwa objek kemarahan dan ejekannya pantas dihormati, dan orang yang tidak memiliki naluri kesopanan. Dia menunggu Wakil Presiden AS Mike Pence dan putrinya Ivanka Trump untuk memberikan kata-kata dukungan bagi para target paket bom tersebut, sebelum menuliskan tiga kata “saya sangat setuju!” di Twitter.
Respons tersebut merupakan upaya yang menyedihkan, terutama karena berasal dari seorang pria yang seringkali menghebohkan internet lewat tulisannya di Twitter, bahkan sebelum sebagian besar Amerika terbangun. Kemudian, ketika dia berbicara di depan umum pada Rabu (24/10) sore tentang ancaman bom, Trump memberikan pernyataan lemah tentang persatuan bipartisan.
Tidak sampai Rabu (24/10) malam, di sebuah pawai umum di Mosinee, Wisconsin, ia mengambil sikap konkret dengan mengatakan, “Setiap tindakan atau ancaman kekerasan politik adalah serangan terhadap demokrasi kita sendiri. Ada satu cara untuk menyelesaikan perselisihan, yang diserukan secara damai di kotak suara.”
Namun, mengingat rekam jejak Trump, kata-kata tersebut tak banyak berpengaruh. Trump berkampanye secara memecah-belah tanpa pretensi untuk menyatukan bangsa. Ketika dia memfitnah media nasional—terutama CNN—dia berusaha untuk merendahkan para wartawan sebagai “sampah,” “mengerikan,” dan, yang paling buruk, “musuh rakyat.”
Selama kampanyenya, Trump dengan menyesal mengingat hari-hari ketika para pengunjuk rasa dibawa pergi dari berbagai peristiwa “dengan tandu.” Trump juga menawarkan untuk membayar biaya hukum seandainya seorang pendukung menyerang seseorang yang tidak setuju di kampanye Trump. Sekarang, dia tidak ada dalam posisi untuk menyerukan perdamaian dan persatuan.
Hillary Clinton—yang masih menjadi objek seruan “penjarakan dia” di kampanye Trump—menjadi sasaran kampanye hitam “crooked Hillary,” seolah-olah Hillary benar-benar seorang kriminal. Lagipula siapa yang tidak ingat upaya selama bertahun-tahun yang dilakukan Trump untuk meragukan legitimasi mantan Presiden AS Barack Obama dengan retorika teori konspirasi tentang tempat kelahirannya?
Amerika kini belum mengetahui siapa yang mengirim paket bom tersebut maupun motif di baliknya. Tapi Amerika bisa mengatakan bahwa teori konspirasi Trump mempromosikan—seperti retorika kekerasan yang dia gunakan—upaya merendahkan iklim politik hingga ke titik tertentu, di mana terorisme yang datang dengan paket bom bukanlah suatu kejutan.
Masalah ini dibayangi selama kampanye ketika dua pria menyerang seorang pria Hispanik di Massachusetts sambil berkata “Donald Trump benar. Semua kaum ilegal ini harus dideportasi.”
Contoh lain dari kekerasan yang dipicu Trump tersebut adalah ketika salah satu pendukungnya menyerang seorang pengunjuk rasa di sebuah kampanye. Contoh lainnya adalah ketika seorang wartawan didorong oleh manajer kampanye Trump pada suatu konferensi pers.
Baru-baru ini, seorang pria California yang memiliki 20 senjata api ditangkap setelah mengancam staf di Boston Globe. Dia telah menggunakan istilah “musuh rakyat” khas Trump dalam caciannya kepada surat kabar tersebut.
Mengingat konstruksi Presiden Trump atas semesta alternatif di mana dia diizinkan oleh ribuan orang untuk mengucapkan kebohongan tanpa pernah bertanggung jawab, usahanya yang tidak tepat untuk menanggapi ancaman paket bom pada Rabu (24/10) mungkin saja tak terelakkan. Trump telah secara konsisten bermain dengan api dalam membicarakan kekerasan, dan telah berkembang dengan strategi untuk pergi ke tempat lain yang—dengan alasan yang tepat—tidak pernah dimasuki oleh orang lain sebelumnya.
Banyak rekan sejawatnya dari Partai Republik tampaknya telah kehilangan keinginan untuk menegurnya, dan dia telah memecah-belah Amerika sehingga sebagian besar orang Amerika tersulut oleh energi dari ujaran kebenciannya.
Sebagai seorang Presiden, Trump telah melegitimasi kemarahan, menetapkan kondisi untuk bahaya yang sedang meningkat, dan mengurangi kemampuan Amerika untuk bahkan menyikapi satu sama lain dengan niat baik dan kesopanan.
Retorika Trump sudah lama melewati batas. Sekarang Trump tidak akan pernah menjadi pemimpin yang dapat membawa Amerika kembali ke kondisi semula, sebelum dia datang dengan kecaman dan kemarahannya.
https://www.matamatapolitik.com/opin...annya-kembali/


anasabila memberi reputasi
0
1.5K
21


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan