- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Anak Muda Sekarang Nggak Nasionalis Dan Nggak Tahu Sumpah Pemuda? Yang Bener Aja!


TS
mukamukaos
Anak Muda Sekarang Nggak Nasionalis Dan Nggak Tahu Sumpah Pemuda? Yang Bener Aja!




“Kuliah atau kerja, Mas?” tanya seseorang dengan logat aneh yang tahu-tahu sok akrab ketika gue sedang menunggu buswaydi shelter dekat kampus. Sendirian.
“Kuliah,” jawab gue ramah. “Uh, Masnya?” Gue bertanya balik. Jika ditelisik, usia laki-laki bercambang tipis ini lebih tua dari gue. Hidungnya yang mancung serta kedua mata yang agak menjorok ke dalam menandakan ada keturunan ras benua lain dalam dirinya. Hal itu diperkuat dengan garis wajah yang mengandung unsur londo. Serta kulit putih yang bikin mayoritas wanita Indonesia bakal iri setengah mati.
“Saya kerja di PT XXX. Kantornya di Karawang.”
Gue manggut-manggut. Tahu persis tempat yang dimaksud. Sebuah perusahaan yang bergerak di bidang otomotif milik luar negeri. Kedua kening ini lantas mengernyit. “Kok, ada di sini?”
“Liburan,” jawabnya singkat. “Nathan,” lanjutnya sembari menjulurkan tangan kanannya. Dengan hangat gue raih tangan yang warna kulitnya betolak belakang dengan punya gue, lantas memperkenalkan diri.
“Tinggal di mana?” tanyanya lagi.
Gue menyebutkan alamat tempat tinggal yang tak jauh dari kampus. “Mas Nathan sendiri?”
“Saya expat. Dari Jerman.”
Baik. Terjawab sudah kenapa mas-mas di sebelah gue ini berwajah londo. Dari Jerman rupanya. “Sudah berapa lama tinggal di Indonesia?”
“Baru 2 tahun.”
“Tapi bahasa Indonesianya lancar, ya?” Walau logatnya bule banget.
Nathan tertawa kecil. “2 tahun itu ketika kerja di Karawang. Namun sewaktu kecil saya pernah tinggal di Indonesia hampir 12 tahun. Makanya cukup lancar ngomong bahasa.”
Tepat saat itu, segerombolan anak-anak SD lewat di belakang halte. Dengan ceria mereka bersenda gurau, tertawa, dan sesekali saling ejek. Gue dan Nathan memperhatikan pemandangan sekilas itu dengan santai. Teringat masa-masa kecil nan indah.

“Tadi pagi, saat lewat salah satu SD, saya melihat ada upacara. Padahal sekarang, kan, bukan hari Senin. Ada apa, ya?” ujar Nathan setelah rombongan bocah berseragam lenyap dari pandangan.
Kerutan yang dalam menghias kening ini diiringi gumaman tak jelas. Kedua mata bergerak-gerak cepat tanda berpikir sejenak. Hari ini tanggal 28 Oktober 2018.Oh, iya! “Hari Sumpah Pemuda. Kurasa banyak sekolah yang memperingati salah satu hari yang bersejarah bagi bangsa ini.”
Nathan mengangguk pelan. “Memangnya sumpah pemuda masih penting, ya, buat anak muda jaman sekarang? Bukan bermaksud meremehkan. Tapi, lihat. Anak muda sekarang berbeda jauh dibanding saat jaman saya kecil.”
“Beda bagaimana?”
“Lihat saja. Saat ini banyak orang yang cenderung bergaya ke barat-baratan. Terlebih anak-anak mudanya. Mulai dari fashion, sikap, bahkan sampai bahasa. Apa yang dulu saya lihat dan suka perlahan mulai memudar.”
“Emang, bedanya dengan jaman Mas Nathan apa?”
“Dulu, anak-anak mudanya sopan-sopan. Entah itu saat berbicara maupun bersikap. Apalagi kalau di depan orang yang lebih tua. Sisi nasionalisme-nya juga tinggi. Coba tanya anak-anak segenerasi saya, pasti mereka hafal teks Pembukaan UUD 1945, Pancasila, sampai Sumpah Pemuda.”
“Kalau Sumpah Pemuda doang, sih, saya juga hafal,” balas gue, memotong.
“Oh, ya? Coba sebutkan.” Nathan menantang.
Nathan tersenyum senang sambil bertepuk tangan. “Kamu hafal teks Sumpah Pemuda, tuh, cumahafal doang atau diterapin dalam kehidupan?”
Anjir. Menohok. Gue kembali berpikir sejenak untuk merancang jawaban. “Uh, tidak bisa disebut diterapkan dalam keseharian, sih, tapi tidak saya sepelekan begitu saja poin-poin yang susah payah saya hafalkan di luar kepala itu.”
“Jika begitu, menurut kamu, Sumpah Pemuda masih penting apa tidak untuk anak-anak muda jaman sekarang?”
“Penting.”
“Sepenting apa? Maksud saya, apa peran Sumpah Pemuda untuk kamu selaku anak muda?”
“Sumpah Pemuda bukan sekedar 3 kalimat singkat pembangun motivasi,” gue menjawab dengan jujur. “Tiga kalimat hebat tersebut merupakan ajakan untuk menjaga keutuhan dan identitas bangsa. Mau seedan atau sepintar apapun kamu, Sumpah Pemuda bakal mengingatkan bahwa kita, anak-anak bangsa, lahir dan besar di Indonesia. Sebuah negara besar yang harus dijaga keutuhannya dari segala macam ancaman. Entah itu dari luar maupun dalam. Ajakan untuk senantiasa mencintai bangsa yang kaya akan budaya. Itu menurut saya.”
Nathan manggut-manggut. “Kamu bilang, ‘ajakan untuk mencintai bangsa yang kaya akan budaya’. Bagus. Sekarang begini. Katakanlah, salah satu budaya tersebut adalah bahasa. Saya sering melihat anak-anak muda di Jakarta sana banyak yang memakai bahasa campur-campur. Inggris-Indonesia. Jadinya terlihat kurang nasionalis dan jauh dari makna kalimat ketiga sumpah pemuda. Menurut kamu itu bagaimana?”
Gue bergumam. “Menurut saya, nasionalisme tidak melulu diukur atau dilihat dari luar diri seseorang. Bagi saya, orang Indonesia yang belajar bahasa asing secara tidak langsung juga belajar bahasa Indonesia. Sama-sama menambah kosa kata, dan belajar menyusun kalimat yang baik dan benar dari bahasa Indonesia ke Inggris. Betul, kan? Jadi belum tentu mereka yang pakai bahasa campur-campur tidak cinta Indonesia. Pikir positif. Bahasa Inggris, kan, bahasa internasional. Bahasa sejuta umat di dunia. Siapa tahu mereka berkeinginan untuk memperkenalkan Indonesia ke mata dunia. Masa iya, kepingin memperkenalkan ke dunia internasional tapi nggak bisa bahasa internasional. Terus komunikasinya bagaimana? Pakai bahasa Tarzan?”
Nathan mengedikkan bahu. Mungkin setuju dengan argumen yang keluar dari mulut gue.
“Orang-orang boleh beranggapan anak muda jaman sekarang beda dengan jaman mereka kecil. Tapi tidak lantas kami dianggap lupa atau tidak tahu tentang Sumpah Pemuda dan nasionalisme. Karena sesungguhnya, semangat itu senantiasa membara dalam diri kami guna membawa bangsa ini ke arah yang lebih baik,” ujar gue yang dibalas acungan jempol.
"Bagus!"
Tak lama kemudian, bus yang ditunggu pun datang, memisahkan kami berdua. Namun percakapan singkat itu tak akan pernah terlupa. Mengobarkan semangat yang tertanam dalam jiwa.

“Kuliah,” jawab gue ramah. “Uh, Masnya?” Gue bertanya balik. Jika ditelisik, usia laki-laki bercambang tipis ini lebih tua dari gue. Hidungnya yang mancung serta kedua mata yang agak menjorok ke dalam menandakan ada keturunan ras benua lain dalam dirinya. Hal itu diperkuat dengan garis wajah yang mengandung unsur londo. Serta kulit putih yang bikin mayoritas wanita Indonesia bakal iri setengah mati.
“Saya kerja di PT XXX. Kantornya di Karawang.”
Gue manggut-manggut. Tahu persis tempat yang dimaksud. Sebuah perusahaan yang bergerak di bidang otomotif milik luar negeri. Kedua kening ini lantas mengernyit. “Kok, ada di sini?”
“Liburan,” jawabnya singkat. “Nathan,” lanjutnya sembari menjulurkan tangan kanannya. Dengan hangat gue raih tangan yang warna kulitnya betolak belakang dengan punya gue, lantas memperkenalkan diri.
“Tinggal di mana?” tanyanya lagi.
Gue menyebutkan alamat tempat tinggal yang tak jauh dari kampus. “Mas Nathan sendiri?”
“Saya expat. Dari Jerman.”
Baik. Terjawab sudah kenapa mas-mas di sebelah gue ini berwajah londo. Dari Jerman rupanya. “Sudah berapa lama tinggal di Indonesia?”
“Baru 2 tahun.”
“Tapi bahasa Indonesianya lancar, ya?” Walau logatnya bule banget.
Nathan tertawa kecil. “2 tahun itu ketika kerja di Karawang. Namun sewaktu kecil saya pernah tinggal di Indonesia hampir 12 tahun. Makanya cukup lancar ngomong bahasa.”
Tepat saat itu, segerombolan anak-anak SD lewat di belakang halte. Dengan ceria mereka bersenda gurau, tertawa, dan sesekali saling ejek. Gue dan Nathan memperhatikan pemandangan sekilas itu dengan santai. Teringat masa-masa kecil nan indah.

“Tadi pagi, saat lewat salah satu SD, saya melihat ada upacara. Padahal sekarang, kan, bukan hari Senin. Ada apa, ya?” ujar Nathan setelah rombongan bocah berseragam lenyap dari pandangan.
Kerutan yang dalam menghias kening ini diiringi gumaman tak jelas. Kedua mata bergerak-gerak cepat tanda berpikir sejenak. Hari ini tanggal 28 Oktober 2018.Oh, iya! “Hari Sumpah Pemuda. Kurasa banyak sekolah yang memperingati salah satu hari yang bersejarah bagi bangsa ini.”
Nathan mengangguk pelan. “Memangnya sumpah pemuda masih penting, ya, buat anak muda jaman sekarang? Bukan bermaksud meremehkan. Tapi, lihat. Anak muda sekarang berbeda jauh dibanding saat jaman saya kecil.”
“Beda bagaimana?”
“Lihat saja. Saat ini banyak orang yang cenderung bergaya ke barat-baratan. Terlebih anak-anak mudanya. Mulai dari fashion, sikap, bahkan sampai bahasa. Apa yang dulu saya lihat dan suka perlahan mulai memudar.”
“Emang, bedanya dengan jaman Mas Nathan apa?”
“Dulu, anak-anak mudanya sopan-sopan. Entah itu saat berbicara maupun bersikap. Apalagi kalau di depan orang yang lebih tua. Sisi nasionalisme-nya juga tinggi. Coba tanya anak-anak segenerasi saya, pasti mereka hafal teks Pembukaan UUD 1945, Pancasila, sampai Sumpah Pemuda.”
“Kalau Sumpah Pemuda doang, sih, saya juga hafal,” balas gue, memotong.
“Oh, ya? Coba sebutkan.” Nathan menantang.
“Kami Putra dan Putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia. Kami Putra dan Putri Indonesia, mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia. Kami Putra dan Putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, Bahasa Indonesia," gue menjawab tanpa putus napas.
Nathan tersenyum senang sambil bertepuk tangan. “Kamu hafal teks Sumpah Pemuda, tuh, cumahafal doang atau diterapin dalam kehidupan?”
Anjir. Menohok. Gue kembali berpikir sejenak untuk merancang jawaban. “Uh, tidak bisa disebut diterapkan dalam keseharian, sih, tapi tidak saya sepelekan begitu saja poin-poin yang susah payah saya hafalkan di luar kepala itu.”
“Jika begitu, menurut kamu, Sumpah Pemuda masih penting apa tidak untuk anak-anak muda jaman sekarang?”
“Penting.”
“Sepenting apa? Maksud saya, apa peran Sumpah Pemuda untuk kamu selaku anak muda?”
“Sumpah Pemuda bukan sekedar 3 kalimat singkat pembangun motivasi,” gue menjawab dengan jujur. “Tiga kalimat hebat tersebut merupakan ajakan untuk menjaga keutuhan dan identitas bangsa. Mau seedan atau sepintar apapun kamu, Sumpah Pemuda bakal mengingatkan bahwa kita, anak-anak bangsa, lahir dan besar di Indonesia. Sebuah negara besar yang harus dijaga keutuhannya dari segala macam ancaman. Entah itu dari luar maupun dalam. Ajakan untuk senantiasa mencintai bangsa yang kaya akan budaya. Itu menurut saya.”
Nathan manggut-manggut. “Kamu bilang, ‘ajakan untuk mencintai bangsa yang kaya akan budaya’. Bagus. Sekarang begini. Katakanlah, salah satu budaya tersebut adalah bahasa. Saya sering melihat anak-anak muda di Jakarta sana banyak yang memakai bahasa campur-campur. Inggris-Indonesia. Jadinya terlihat kurang nasionalis dan jauh dari makna kalimat ketiga sumpah pemuda. Menurut kamu itu bagaimana?”
Gue bergumam. “Menurut saya, nasionalisme tidak melulu diukur atau dilihat dari luar diri seseorang. Bagi saya, orang Indonesia yang belajar bahasa asing secara tidak langsung juga belajar bahasa Indonesia. Sama-sama menambah kosa kata, dan belajar menyusun kalimat yang baik dan benar dari bahasa Indonesia ke Inggris. Betul, kan? Jadi belum tentu mereka yang pakai bahasa campur-campur tidak cinta Indonesia. Pikir positif. Bahasa Inggris, kan, bahasa internasional. Bahasa sejuta umat di dunia. Siapa tahu mereka berkeinginan untuk memperkenalkan Indonesia ke mata dunia. Masa iya, kepingin memperkenalkan ke dunia internasional tapi nggak bisa bahasa internasional. Terus komunikasinya bagaimana? Pakai bahasa Tarzan?”
Nathan mengedikkan bahu. Mungkin setuju dengan argumen yang keluar dari mulut gue.
“Orang-orang boleh beranggapan anak muda jaman sekarang beda dengan jaman mereka kecil. Tapi tidak lantas kami dianggap lupa atau tidak tahu tentang Sumpah Pemuda dan nasionalisme. Karena sesungguhnya, semangat itu senantiasa membara dalam diri kami guna membawa bangsa ini ke arah yang lebih baik,” ujar gue yang dibalas acungan jempol.
"Bagus!"
Tak lama kemudian, bus yang ditunggu pun datang, memisahkan kami berdua. Namun percakapan singkat itu tak akan pernah terlupa. Mengobarkan semangat yang tertanam dalam jiwa.


Artikel oleh Mukamukaos

0
876
4


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan