Pengurus DPD, DPW, DPC, kader, dan anggota PKS se-Bali mengundurkan diri dari keanggotaan partai. Pernyataan sikap ini respons atas kesewenangan dan sikap otoriter DPP PKS pusat yang tidak lagi sejalan dengan nilai-nilai musyawarah kepartaian. (Foto: Republika/Mutia Ramadhani)
Fokus Berita:
Badai Konflik PKS
Oleh: Eko Kuntadhi*
Pengurus PKS Bali mengundurkan diri. Sepertinya kekuatan partai ini di Bali akan ambruk. Aksi itu diikuti pengurus PKS di Sidoarjo. Mereka juga memilih melepaskan jaket partai (untung gak milih cukur jenggot) karena sebel sama ulah DPP PKS yang dianggap otoriter.
Sepertinya aksi itu karena protes kebijakan tegas partai yang ingin menertibkan kadernya yang dianggap mbalelo.
Tampaknya ini kelanjutan usaha penertiban partai pada kadernya. Konflik yang selama ini ditutupi kini meruak ke permukaan. Orang juga tahu sejak pergantian rezim di PKS kader lama merasa gak nyaman.
Sebelumnya PKS dikuasai tiga serangkai kuat. Lutfi Hasan Ishaq, Hilmi Aminudin dan Suripto. Setelah dilanda kasus korupsi sapi, pelan-pelan kekuatan mereka meredup. Terakhir Anis Matta memegang komando kelompok ini.
Setelah itu kekuasaan berganti. Naiknya Sohibul Iman dan Salim Segaf Al-Jufri ke pucuk pimpinan PKS ditenggarai sebagai usaha untuk menghabisi kekuatan kelompok lama.
Konflik PKS makin tegas ketika usaha penggusuran Fahri Hamzah dari kursi Wakil Ketua DPR gagal. Fahri memenangkan gugatan berhadapan dengan DPP PKS dan secara hukum tetap duduk di kursi kekuasaan DPR.
Konflik berikutnya semakin kentara ketika terjadi perebutan kursi Capres. Salim Segaf yang merupakan ketua dewan syuro sebagai organ tertinggi di PKS malah ikut bersaing bersama delapan kader lainnya. Orang yang menentukan aturan main, sekaligus jadi wasit, tapi nyatanya tergiur juga masuk ke lapangan pertandingan. Akibatnya Anis Matta, yang dianggap faksi lawan, yang juga dicalonkan merasa dibatasi geraknya.
Beberapa loyalis rezim lama berusaha dilucuti kekuasaanya. Pemecatan dan pencopotan dari jabatan struktural terjadi. Terutama di kepengurusan daerah. Selain itu untuk menjamin loyalitas DPP PKS seperti meminta baiat ulang seluruh kader yang dicurigai berdiri di faksi lawan.
Perseteruan tidak hanya sampai di situ. DPP PKS yang berusaha mengembalikan semangat ketaatan partai ternyata mendapat perlawanan serius. DPP mengeluarkan aturan bahwa semua Caleg PKS diwajibkan menandatangani surat pengunduran diri yang dikosongkan tanggalnya. Gunanya, DPP berhak kapan saja mencopot anggota legislatif PKS dari jabatannya.
Sebetulnya konflik sekarang ini akibat dari gamangnya PKS masuk dalam lingkaran demokrasi. Di eksternal mereka harus mengikuti mekanisme demokratis dalam politik Indonesia. Sementara di internal partai, mereka berusaha mempertahankan model kekuasaan yang penuh ketaatan. Tidak ada ruang perdebatan yang dibiarkan terjadi.
Reaksi kader yang tidak sepakat dengan aturan DPP juga merupakan reaksi kebingungan. Mereka sebetulnya sadar hidup dalam partai yang sama sekali tidak membuka ruang demokrasi. Tetapi persentuhan mereka dengan kondisi eksternal memaksanya untuk menuntut demokratisasi pada partainya.
Lihat saja alasan yang dikemukakan pengurus DPW Bali ketika mereka menyatakan mengundurkan diri dari PKS. Beberapa menuntut DPP bersikap lebih demokratis dengan mendengarkan aspirasi mereka. Padahal dulu, mereka dibesarkan dengan nuansa ketaatan mutlak pada pimpinan.
Alasan lain yang pasti menonjol dari protes kader PKS yang mengundurkan diri adalah, bahwa DPP PKS dianggap bertindak keluar dari koridor keislaman. Ini semacam cara berpikir yang khas kader PKS.
Siapa saja yang sedang berseberangan dengan mereka akan terkena stigma tidak islami. Jadi meskipun separtai, karena berseberangan juga akan kena tudingan itu. Sementara DPP PKS saya rasa juga menggunakan tudingan yang sama kepada para pembelot. Saling menuding yang lain tidak islami, hanya kelompok dan kepentingannya sendiri saja yang dianggap islami.
Ini hal yang biasa. Sebab begitulah cara berpikir yang dikembangkan PKS kepada semua kadernya. Dalam percaturan politik nasional, gaya seperti ini sering dimainkan kader-kader PKS. Siapa saja yang berlawanan secara politik akan terkena tudingan anti-Islam atau keluar dari akhlak Islam.
Nah, ketika yang berkonflik di antara mereka sendiri, rupanya senjata yang sama ditembakkan ke kawan-kawannya sendiri.
Gak aneh juga.
Sebetulnya kasihan PKS. Partai ini benar-benar sedang babak belur. Konflik internal melanda seperti tsunami. Sedangkan di eksternal mereka juga tidak bisa menunjukkan kekuatannya. Lihat saja. Meskipun berkoalisi dengan Gerindra, PKS sama sekali
gak dapat angin.
Capresnya dari Gerindra. Cawapres juga diambil Gerindra. Ketua tim pemenangan orang Gerindra juga. Bahkan kini PKS seperti mengemis ke Gerindra meminta kursi Wagub Jakarta yang ditinggalkan Sandiaga Uno. Sementara mereka diharapkan untuk habis-habisan mendukung Prabowo.
Menjelang 2019, kondisi PKS tampaknya sedang memghitung hari.
Ngenes.
*Eko Kuntadhi Pegiat Media Sosial
Konflik berikutnya semakin kentara ketika terjadi perebutan kursi Capres. Salim Segaf yang merupakan ketua dewan syuro sebagai organ tertinggi di PKS malah ikut bersaing bersama delapan kader lainnya. Orang yang menentukan aturan main, sekaligus jadi wasit, tapi nyatanya tergiur juga masuk ke lapangan pertandingan.
Siapa saja yang sedang berseberangan dengan mereka akan terkena stigma tidak islami.
Dalam percaturan politik nasional, gaya seperti ini sering dimainkan kader-kader PKS. Siapa saja yang berlawanan secara politik akan terkena tudingan anti-Islam atau keluar dari akhlak Islam.
Nah, ketika yang berkonflik di antara mereka sendiri, rupanya senjata yang sama ditembakkan ke kawan-kawannya sendiri.