Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

neji2607Avatar border
TS
neji2607
Cerita tentang "Ndoroka" di Petobo
Cerita ke-2 tentang Petobo Palu

Ritual pagi ini sy awali dengan perpisahan dengan pengungsi yang balik ke Surabaya dan Makassar dengan pesawat Hercules. Sy hampir tidak percaya dengan bahwa kebersamaan, canda tawa, dan saling ledek walaupun hanya beberapa jam saja antara kami, ternyata membawa kesan yang mendalam. "Mas, terimakasih sudah bikin kita tertawa, sy tdk bisa menyumbangkan apa apa untuk pengungsi yang lain, karpet itu silahkan dibawa ke tenda pengungsian" katanya dengan mata sembab. Sementara Wayan yg akan balik ke Karangasem via Surabaya memberikan beberapa bungkus biskuit.

"Tidak apa apa saudara, datanglah nanti ketika Palu sudah aman. Saya tidak minta banyak, cukup 1 hektar kebun sayur dan satu ruko" kataku... tawa ceria pecah pagi itu. Mas Tris dan Wayan adalah petani sukses di Palu.

Setelah mencuci muka, saya membantu kawan kawan TNI AU membagikan air beraih kepada pengungsi di halaman bandara.

Setelahnya kali ini saya menuju ke Jl HM Soeharto. Ujung bawah Petobo, disana dulunya ada beberapa kios yg menjual sayuran berdekatan dengan bengkel mobil. Saya menambah lipatan masker di hidung, angin yg bertiup dari selatan sama "rasanya" seperti kemarin. Kios penjual sayur sudah menghilang, berganti dengan gundukan tanah becek membukit. Rupanya rumah rumah disini tenggelam kebawah kemudian tertimbun oleh tanah yg bergeser dari atas, ditempat ini diperkirakan sekitar 700 an jiwa masih tertimbun.

Saya mencoba masuk lebih dalam, mendekat kearah patok patok kayu yg ditandai dengan kain, dari jarak sekitar 10 meter saya melihat tangan muncul dari tanah sampai siku.. seakan meminta pertolongan. Hal yg tentunya tidak akan saya abadikan.

Saya kemudian berbalik, karena alat berat akan masuk. Si hijau kembali saya geber kali ini saya akan masuk dari samping, tetapi sebelumnya saya singgah di warung dan seperti biasa, sesuai kemampuan pribadi saya, kembali memesan 20 bungkus nasi.
Saya tahu bantuan seperti itu hanyalah seperti setitik air di laut, tetapi itulah yang saya bisa bantu.

Masuk dari samping, nampak anak anak muda berjaga diperempatan
"Bapak mau kemana?
Sebelum sy sempat menjawab seorang ibu menimpali
"ohhh... itu plat DD itu moootoooorr...
( dengan logat Suku Kaili yang khas ) orang dari Selatan itu... ( maksudnya Warga Sulselbar )
"iya Mama, sa cuma mau ba ambe foto sabantarrr, kataku. Mencoba memakai logat Kaili
"Ohhh silahkan Bapak" kata anak muda itu
Saya mengendarai motor sekitar 100 meter kedalam, kemudian parkir di tepi jalan berlumpur.

Dari jauh saya lihat anak muda tadi menutup full portal dan melarang orang lain masuk... terus terang saya merasa sedikit tersanjung, orang orang disini melihat bagaimana besar dan cepat bantuan yang kita berikan pasca gempa. Hampir semua kabupaten dan kota di Sulselbar berpartisipasi dengan jumlah bantuan yg tidak sedikit.

Ok.. masuk dari samping jauh lebih parah, rupanya jejeran rumah disini sudah bergeser kebawah, digantikan oleh lumpur dan sawah, lengkap dengan padi yang nampaknya berumur sekitar 2 - 3 bulan. Kali ini saya tidak bisa kedalam lumpur selutut dan masih banyaknya sisa puing bangunan bisa menjadi bahaya baru.

Saya mengambil gambar kemudian melanjutkan perjalanan ke arah selatan.
Tempat awal pergerakan tanah di Petobo
Sebelumnya saya singgah di sebuah tenda pengungsi yg saya lihat kemarin, seorang ibu hamil tidur beralaskan terpal tipis hijaunya Desi Ratnasari. Seorang lelaki yg rupanya adalah suaminya muncul dari dalam, saya tersenyum, kemudian menyodorkan tenda pemberian Mas Tris berikut biskuit dari Wayan. Tanpa berkata apa apa saya memacu motor, saya lihat dari kaca spion, dia masih berdiri memandang saya dari kejauhan. Seperti bertanya siapa orang itu? cukuplah Plat DD yang mewakili, bahwa saudara saudaranya dari Selatan dan Barat itulah "pelakunya"
Sesampai di ujung, sudah banyak orang kampung Petobo yang berkumpul. Seorang ibu, duduk di tepi jalan. Dia menatap nanar kedepan, matanya sembab. Dari perawakannya, sepertinya bukan orang Kaili. Kali ini tebakan saya benar, namanya ibu Ketut Sartini tinggal di BTN Petobo atas, tdk termasuk dalam wilayah terdampak parah. Rumahnya baik baik saja. Beliau punya sepasang anak, salah satunya Luh Murni, bekerja di Fotokopi Hang Tuah, dia sedang hamil 8 bulan. Jumat sore itu adalah saat Luh Murni pulang, tapi kali ini agak lambat, sementara menantunya sudah tiba duluan. Rupanya setelah di telpon Luh Murni singgah belanja di Kios sayuran di Jl HM Soeharto. Ujung utara bawah Petobo. Gempa mengguncang 10 menit kemudian, setelah hp Luh Murni tidak kunjung aktif. Sepertinya Luh Murni dalam perjalanan pulang ketika gempa terjadi, waktu 10 menit itu kemungkinan Luh Murni telah berada persis di tengah Petobo. Ibu Ketut Sartini, menatap saya, seakan berharap bahwa berita ibu yg melahirkan di Makassar adalah Luh Murni.

Saya hanya mampu terdiam, saya telah membaca berita itu dan sy pastikan dia bukan Luh Murni.

Saya kemudian mengeluarkan bungkusan nasi dan membagikan ke penduduk Petobo yang ada, sisanya dibawa ke tenda di ujung jalan.

Saya fikir sekali lagi Desi Ratnasari harus berbangga, "tenda birunya" sangat berjasa ditengah teriknya matahari Palu.
Sambil makan saya duduk disamping Pak Rusna, beliau kehilangan 2 orang anak, 1 menantu dan seorang cucu. Beliau bercerita dengan santai, seakan tidak pernah terjadi sesuatu "mau bagaimana lagi... kita ini ketawa ketawa sajaaa.. kalo te ketawa kita bisa gila... katanya. Rumahnya berada agak tinggi dari yang lain, sehingga dia bisa melihat pergerakan tanah
"Komiu tau, itu hari saya ta kencing di calana" kanapa bisa ada "Ndoroka basar bajalan dibawah tanah ( Ndoroka = Kaili, Orong orong = Jawa, Anjing Tanah = Indonesia. Adalah sejenis serangga berwarna coklat yg hidup didalam tanah.)
Itu tanah ta angkat dengan rumah sekali" yang heran, itu kandang kambing tageser sama kandang kandangnya 2 kilo. Tapi itu kambing te ada yang mati, samua selamat.. itu pohon kalapa bageser te ada yang roboh.. Hamma" kuasa Tuhan.

Saya suka cara dia bercerita, begitu ekspresif.

Seorang perempuan muda bergabung dengan suaminya, dia kehilangan 7 saudaranya bersama kedua orangtuanya. Sekarang dia adalah satu satunya penerus dari rumpun keluarganya. Tatapannya kosong menatap jauh ketengah Petobo, dia tidak mampu lagi berkata apa apa, sayapun tak akan mengusiknya lebih jauh. Tiba tiba saya merasakan rindu... rindu Fathya Felytha, Fiorenza Fakhira, Alfath Khalifano dan tentunya istriku Handayani... saya tidak akan sanggup hidup jika bencana seperti Petobo terjadi.. semoga inilah yang terakhir Tuhan... pintaku dalam hati

Palu, 4/10/2018

Arfandy Majid
anasabilaAvatar border
anasabila memberi reputasi
1
1.6K
3
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan