Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

imcrazy111Avatar border
TS
imcrazy111
Hari Batik Nasional, Momen Kebanggaan Sekaligus Memahami Problematikanya
Proses pencucian batik. (Foto : Istimewa)

Saat ini, batik telah menjadi bagian sehari-hari kehidupan masyarakat Indonesia. Motif dan coraknya yang beragam, sebagai refleksi keberagaman budaya Tanah Air, telah mengangkat mahakarya ini ke pentas dunia hingga UNESCO mengakuinya sebagai warisan budaya dunia yang bersifat tak benda.

Selain kaya dengan simbol dan makna filosofi kehidupan rakyat Indonesia, ada juga pengaruh Arab dalam motif hias yang biasa ditemui di seni kaligrafi, pengaruh Eropa dalam bentuk motif bunga, pengaruh China dalam motif phoenix (burung api), hingga pengaruh India dan Persia dalam motif merak.

Akan tetapi, di balik keindahan dan nama dan filosofinya, ternyata batik menyisakan problematika. Limbah batik layaknya racun yang mematikan. Proses bisnis batik terus berjalan bertahun-tahun hingga limbah menumpuk dan semakin mencemari lingkungan.

Pewarna batik yang beragam, adalah bahan keras yang bahaya. Setiap hari ada jutaan meter kubik air sisa pewarnaan batik. Bahkan ironinya lagi, sungai, parit, dan saluran-saluran air semua berwarna gelap. Hal ini pula yang akan berakibat pada kualitas air tanah. Selain itu, puluhan tahun air tanah disiram dengan pewarna batik, jumlahnya tidak pernah menurun dan terus meningkat. 
Sebenarnya, ada banyak sekali riset untuk dapat mengolah limbah batik. Namun hasilnya nihil. Kalaupun ada, itu hanya sebatas riset dan tak pernah diproduksi massal.

Ada beberapa pengusaha batik yang menggunakan pewarna alami, namun jika dibandingkan dengan yang menggunakan pewarna kimia, mungkin tidak ada satu persen dari seluruh jumlah produksi. Alasan mahal, sulit didapat, dan sulit dalam proses, membuat para pengusaha enggan menggunakan pewarna alami ini. Selain itu, harga produk yang akan melambung juga tidak akan cocok dengan kondisi masyarakat Indonesia.

Selain permasalahan limbah, harga batik tulis yang bisa melambung tinggi tidak diimbangi dengan upah pekerja pengerajin batik. Di sentra pembuatan dan sentra  batik Solo, Yogyakarta dan Pekalongan dan beberapa kampung batik yang menjadi pusat industri batik, antara lain Kampung Batik Kauman, Kampung Batik Setono, dan Kampung Batik Wiradesa, terdapat kesamaan dari para pengusaha tersebut. 

Kesamaannya adalah sama-sama memberikan upah murah kepada para pembatik. Upah rata-rata pembatik hanya berkisar antara Rp10.000 hingga Rp30.000 per hari. Bahkan masih banyak pengusaha batik yang memberikan upah satuan. Misalkan untuk pewarnaan batik dengan teknik colet, biasanya dihargai antara Rp500 hingga Rp1.500 per kainnya.

Para pengusaha batik tidak pernah menghiraukan Upah Minimun Kerja. Ini pula yang menyebabkan para pekerja mereka masih mendapat upah yang minim. Selain itu, tidak ada asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan kerja, asuransi hari tua. Mereka hanya bekerja dan bekerja.
Hal ini yang akhirnya membuat sangat sedikit anak muda yang mau terjun dalam bidang pekerjaan tersebut. Upah yang minim dan risiko yang besar membuat para pemuda enggan berada di dunia perbatikan. 

Para pekerja batik rata-rata sudah berusia tua. Andaikan ada para usia muda yang bekerja, pasti karena mereka dahulu putus sekolah atau hanya berijazah SD atau SMP.
Tak hanya upah pekerja yang minim, para pekerja juga dihadapkan bahaya yang mengintai karena terlalu sering menghirup asap dari lelehan malam (lilin batik) yang dipanaskan. Kandungan yang lebih kompleks daripada asap tembakau membuat para pembatik seakan menjalani profesi yang mematikan.

Dalam sebuah penelitian disebutkan bahwa ada beberapa risiko yang dihadapi oleh para pembatik. Di antaranya, tangan melepuh terkena tetesan lilin batik 74,5%, terkena percikan api 69,4%, terkena wajan yang panas 71,4%, terkena percikan air mendidih 79,6%, sesak napas 65,3%, menghirup asap lilin batik 62,2%, pusing karena pencahayaan 33,7% dan pusing saat berinteraksi dengan aroma zat kimia 70,4%, bersin-bersin 40,8%, tangan alergi 69,4%, mata terkena asap 74,5%.

Di balik nama besarnya, batik menyimpan risiko yang begitu besar bagi pembuatnya. Persentase di atas rata-rata menunjukkan lebih dari 60%, itu berarti bahaya di atas kerap melanda para pembatik. Asap malam (lilin batik) sendiri dapat menyebabkan batuk kronis, sesak napas, bronkitis kronis, asma, serta kelainan fungsi paru. 
Asap rokok tidak jelas terlihat dampaknya hingga perokok tua, namun asap dari lilin batik ini akan jelas berdampak bagi pekerja. Ini menandakan bahwa dalam proses batik terdapat bahaya dan risiko yang sangat besar.

Banyak di antara sisi positif tersebut hanya dinikmati oleh pemilik usaha, sedangkan bahaya dari proses membatik tersebut lebih ditanggung oleh pembatik. Masih terlalu jauh jarak antara pendapatan pemilik dengan upah yang diberikan. Persaingan yang ketat, kadang membuat pengusaha bersaing dengan tidak sehat.

Sumber : trubus.id

0
315
2
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan