- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Sepenggal Kisah Aruna: "01: Alasan Aku Tidak Menikah"


TS
Qiaraa
Sepenggal Kisah Aruna: "01: Alasan Aku Tidak Menikah"

"Kamu kapan nyusul naik pelaminan?"
"Kita putus aja ya, aku capek"
"Makanya jangan kerja terus, menikah kayak gue"
"Kamu gak kepingin punya anak toh?"
"Lihat tuh sepupu-sepupumu, dilangkahin melulu kan kamu sama mereka"
Dan bla bla bla masih banyak pertanyaan lainnya dengan topik yang sama: MENIKAH
Aku Aruna, usiaku akan menginjak angka 27 hanya dalam hitungan bulan. Sibuk dengan pekerjaan yang biasa-biasa saja, tinggal di rumah sewaan yang juga biasa, serta dengan tampang yang biasa-biasa juga.
Jika wanita lain di usiaku sibuk dengan urusan rumah tangga, mengurus bayi, merencanakan pernikahan, atau hal apapun yang penuh 'cinta', aku tidak. Aku sibuk dengan pekerjaanku sendiri, dan statusku yang juga sendiri. Seringkali aku lupa (hanya ingat saat ditanya jenis pertanyaan di atas) bahwa aku tak punya orang yang dicinta selain keluarga dan sahabat.
Kadang, saat pertanyaan itu tercetus aku sama sekali tidak tersinggung, bosan, kesal atau bahkan muak. Aku bersyukur diingatkan, bahwa suatu saat akupun mungkin juga akan menikah dan memiliki keturunan.
Tapi kenapa sekarang aku lupa dan kepikiranpun tidak?
Pekerjaanku terlalu sibuk dengan penghasilan yang luar biasa keren? Nggak. Kalau dilihat, biasa saja.
Social life yang kujalani begitu menarik sehingga aku tak butuh pasangan atau keturunan? Nyatanya aku anak rumahan.
Aku sibuk mengurusi Ibu dan Bapak sampai lupa harus mengurusi diri sendiri? Nggak juga, aku mengurus mereka dari jauh karena aku merantau.
Lalu kenapa? Kemarin aku menghabiskan waktu semalaman membuka lagi kenangan-kenangan masa lalu yang mungkin tanpa aku sadari ternyata jadi alasan kenapa aku hingga saat ini masih sendiri.
Begini ceritanya...
Aku ini bodoh urusan cinta dan lelaki.
Kemarin bahkan sempat ditanya, "Kamu deket sama si A, kamu sayang gak sama dia?"
Mikir keras, lamaaaa banget sampai temanku lupa dengan apa yang dia tanyakan.
Aku tidak begitu paham tolak ukur mencintai itu seperti apa, bagaimana aku mulai menyayangi orang dan yakin dialah satu-satunya. Aku takut benar menyakiti orang lain karena aku tau seperti apa rasanya disakiti.
Ayahku, sejak aku sekolah dasar sudah main serong dengan banyak wanita yang bahkan aku lelah menghitung dan mengingat nama-namanya. Bisnis keluarga bangkrut akibat kebiasaan ayah yang satu ini. Ini kali pertama aku muak dengan laki-laki.
Jelang kelas 4 SD, adik laki-laki ibuku melakukan perbuatan tak senonoh kepadaku. Dia bahkan menyuruhku diam dan tak menceritakan hal ini ke siapapun. Kalian orang pertama yang tahu cerita ini.
SMA, aku hampir dinodai dan kesucianku hampir direnggut om yang dari kecil hingga dewasa dirawat oleh Ibuku. Dia menindihku di depan anak perempuannya yang kuingat saat itu masih berusia 3 tahun di rumahku.
Tak sampai disitu, beberapa minggu kemudian dengan beraninya dia mengintipku lewat ventilasi kamar sepulang sekolah, bahkan mengintipku dari ventilasi kamar mandi saat aku sedang bebersih diri.
Aku sempat mengadu pada ayah dan ibu, namun mereka acuh dan beralasan "Kamu terlalu pede, lagipula tak mungkin kita mempermasalahkan ini ke polisi, kamu bisa-bisa jadi aib keluarga kita".
Siapa yang tak terhenyak mendengar jawaban seperti itu keluar dari mulut kedua orangtuamu?
Aku mulai menarik diri dari keluarga.
Hingga tiba masa kelulusan SMA, aku meminta untuk disekolahkan diluar kampung halamanku. Aku memilih Jakarta saat itu, dengan harapan aku bisa mengejar cita-citaku menjadi seorang penulis dan jauh dari orangtua yang tidak menghargaiku saat itu.
Ibuku setuju, dengan satu syarat aku harus kuliah di jurusan yang dia mau. Kuterima sarannya.
Singkat cerita, aku baru saja tiba di Jakarta dan menetap di asrama mahasiswa. Ayah tidak bisa menemaniku sampai aku selesai mengurus perkuliahan dan membantu membeli perlengkapan selama di asrama. Hingga akhirnya aku meminta bantuan 1 teman lelakiku yang sudah kukenal lama dan belakangan aku menyesal telah mengenalnya.
Sore itu, dia menyanggupi untuk menemaniku. Dengan syarat aku harus menemaninya ke sebuah acara di daerah Sarinah. Kusanggupi, karena kulihat Ayah juga menaruh percaya padanya.
Setelah selesai dengan urusan belanja, aku mengikutinya ke daerah Sarinah. Dia mengenalkanku pada 5 orang temannya yang sampai saat ini masih kuingat jelas wajah mereka.
Kufikir hari ini akan berakhir biasa, aku pulang ke asrama dengan persiapan MOS minggu depan. Sampai akhirnya aku tak sadarkan diri dan terbangun di kamar hotel, dengan sakit di sekujur tubuh dan dikelilingi 5 lelaki serta teman lelakiku yang memegang uang di tangannya, mungkin sekitar 5 juta rupiah.
Kejadian yang setengah mati kuhindari dengan omku, terjadi malam ini. Dengan 5 lelaki yang tak kukenali sedikitpun.
Mereka hanya melempariku 3 lembar uang 100ribuan dan beranjak pergi, meninggalkanku dengan kondisi yang bahkan sampai aku menulis ini, sakitnya masih terasa sampai ke tulang.
Kupaksakan berjalan ke arah toilet, kubasuh diriku sekenanya. Kulihat daerah intimku mengelupas kulitnya, tubuhku membiru, sudut bibirku memar dan kelopak mataku membiru.
Tak terfikirkan apa yang mereka lakukan padaku, tak ingin aku sedikitpun memikirkannya.
Aku pulang ke asrama dengan kondisi kacau balau. Hari demi hari, bulan demi bulan berlalu dengan tekanan hebat menghantuiku. Terngiang-ngiang kalimat 'aib' yang pernah Ibu lontarkan, membuatku begitu takut untuk bercerita padanya tentang ini.
Aku mabuk, melukai diriku sendiri, menarik diri dari semua orang, berharap rasa sakit yang kualami ini pergi.
Aku lupa kapan tepatnya aku bisa kembali bangkit dan mencintai lagi diriku yang tak ada harganya ini.
Mungkin ini alasan aku tak mengerti apa tolak ukur cinta, seperti apa menyayangi, dan bagaimana menentukan dialah orang yang tepat. Karena untukku bangkit dan jadi Aruna yang ceria, butuh waktu yang tak sebentar.
Aku begitu takut menyakiti, begitu takut gagal dan begitu takut disakiti.
Aku yang pada akhirnya memutuskan untuk tidak atau mungkin belum menikah cukup banyak.
Cukup banyak sampai aku menghindari mereka yang benar-benar tulus memberikan cintanya, karena ketakutanku akan kegagalan dan masalahku dengan banyak lelaki.
Mungkin memutuskan untuk sendiri sembari aku berbenah diri adalah pilihan yang tepat untukku saat ini.
Mungkin...
Disclaimer: Ini cerita dari sahabat penulis, gak ada sangkut pautnya sama penulis. Kritik dan saran atau dukungan dipersilahkan ya Gan



anasabila memberi reputasi
1
1.1K
7


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan