- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita Luar Negeri
Kali Pertama, Perempuan di Arab Saudi Jadi Penyiar Berita Televisi


TS
gilbertagung
Kali Pertama, Perempuan di Arab Saudi Jadi Penyiar Berita Televisi
Kali Pertama, Perempuan di Arab Saudi Jadi Penyiar Berita Televisi
Minggu, 23 September 2018 | 17:08 WIB

Weam Al Dakheel (kanan) mencetak sejarah dengan membawakan acara berita pukul 21.30 di stasiun TV Al Saudiya, Kamis (20/9/2018). (Twitter/saudiatv)
RIYADH, KOMPAS.com - Kerajaan Arab Saudi mengejutkan dunia dengan akhirnya mengizinkan perempuan untuk mengemudikan mobil, menonton pertandingan olahraga di stadion, dan perubahan kebijakan ekonomi lainnya.
Di tengah berbagai revolusi kebijakan, seorang jurnalis Saudi muncul sebagai perempuan pertama yang menjadi penyiar berita televisi di stasiun TV pemerintah.
Weam Al Dakheel mencetak sejarah dengan membawakan acara berita pukul 21.30 di stasiun TV Al Saudiya, Kamis (20/9/2018), ditemani oleh rekan penyiarnya, Omar Al-Nashwan.
Al Saudiya merupakan stasiun TV milik pemerintah dan berada di bawah Kementerian Budaya dan Informasi.
Jurnalis tersebut menuai banyak apresiasi dari warganet. Pengguna Twitter memuji kinerjanya dan menyebut kehadirannya menandai tonggak sejarah di kerajaan Saudi.
Daily Mail mencatat, Al Dakheel sebelumnya merupakan seorang reporter CNBC Arabia dan pernah menjadi pembawa acara pada stasiun televisi berita berbasis di Bahrain, Al-Arab News Channel.
"Hari ini, kami snagat senang dengan perkembangan besar dan lompatan besar pada televisi nasional," ucap seorang penyiar TV, Wael Rafeeq, seperti dikutip dari Albawaba.
Seperti diketahui, Putra Mahkota Mohammed bin Salman sedang berupaya meningkatkan jumlah perempuan mencapai porsi sepertiga dari keseluruhan jumlah angkatan kerja hingga satu dekade ke depan, atau naik 22 persen dibanding saat ini.
Di sisi lain, para aktivis hak asasi manusia menyebut rencana tersebut sebagai fatamorgana.
Dalam jajak pendapat Thomson Reuters Foundation yang diterbitkan pada Juni lalu, 550 ahli pada isu perempuat menempatkan Saudi sebagai salah satu negara paling berbahaya bagi perempuan.
Kerajaan konservatif dinobatkan sebagai yang terburuk kedua bagi perempuan setelah Afghanistan terkait peluang ekonomi dan kebijakan diskriminatif.
Selain itu, perempuan di negara tersebut menghadapu kekerasan dalam rumah tangga. Para kritikus menilai masalah utama yang dihadapi perempuan Saudi adalah kebijakan perwalian.
Perempuan di sana harus memiliki izin dari kerabat laki-laki untuk bekerja, bepergian, menikah, dan bahkan untuk mendapat perawatan medis.
Editor: Veronika Yasinta
Sumber: Daily Mail,albawaba
Sumber
Minggu, 23 September 2018 | 17:08 WIB

Weam Al Dakheel (kanan) mencetak sejarah dengan membawakan acara berita pukul 21.30 di stasiun TV Al Saudiya, Kamis (20/9/2018). (Twitter/saudiatv)
RIYADH, KOMPAS.com - Kerajaan Arab Saudi mengejutkan dunia dengan akhirnya mengizinkan perempuan untuk mengemudikan mobil, menonton pertandingan olahraga di stadion, dan perubahan kebijakan ekonomi lainnya.
Di tengah berbagai revolusi kebijakan, seorang jurnalis Saudi muncul sebagai perempuan pertama yang menjadi penyiar berita televisi di stasiun TV pemerintah.
Weam Al Dakheel mencetak sejarah dengan membawakan acara berita pukul 21.30 di stasiun TV Al Saudiya, Kamis (20/9/2018), ditemani oleh rekan penyiarnya, Omar Al-Nashwan.
Al Saudiya merupakan stasiun TV milik pemerintah dan berada di bawah Kementerian Budaya dan Informasi.
Jurnalis tersebut menuai banyak apresiasi dari warganet. Pengguna Twitter memuji kinerjanya dan menyebut kehadirannya menandai tonggak sejarah di kerajaan Saudi.
Daily Mail mencatat, Al Dakheel sebelumnya merupakan seorang reporter CNBC Arabia dan pernah menjadi pembawa acara pada stasiun televisi berita berbasis di Bahrain, Al-Arab News Channel.
"Hari ini, kami snagat senang dengan perkembangan besar dan lompatan besar pada televisi nasional," ucap seorang penyiar TV, Wael Rafeeq, seperti dikutip dari Albawaba.
Seperti diketahui, Putra Mahkota Mohammed bin Salman sedang berupaya meningkatkan jumlah perempuan mencapai porsi sepertiga dari keseluruhan jumlah angkatan kerja hingga satu dekade ke depan, atau naik 22 persen dibanding saat ini.
Di sisi lain, para aktivis hak asasi manusia menyebut rencana tersebut sebagai fatamorgana.
Dalam jajak pendapat Thomson Reuters Foundation yang diterbitkan pada Juni lalu, 550 ahli pada isu perempuat menempatkan Saudi sebagai salah satu negara paling berbahaya bagi perempuan.
Kerajaan konservatif dinobatkan sebagai yang terburuk kedua bagi perempuan setelah Afghanistan terkait peluang ekonomi dan kebijakan diskriminatif.
Selain itu, perempuan di negara tersebut menghadapu kekerasan dalam rumah tangga. Para kritikus menilai masalah utama yang dihadapi perempuan Saudi adalah kebijakan perwalian.
Perempuan di sana harus memiliki izin dari kerabat laki-laki untuk bekerja, bepergian, menikah, dan bahkan untuk mendapat perawatan medis.
Editor: Veronika Yasinta
Sumber: Daily Mail,albawaba
Sumber


anasabila memberi reputasi
0
1.7K
26


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan