TEMPO.CO, Jakarta- Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mengklaim telah melakukan penghematan anggaran di kementeriannya. Menurutnya selama ia menjabat, KKP telah menghemat Rp 8,28 triliun. "Tahun ini kami menghemat Rp 1 triliun," ujar dia di Kantor KKP, Jumat, 22 September 2018.

Susi menjelaskan penghematan tersebut tidak lepas dari program Susinisasi yang dia buat. Menurutnya penghematan ini harus diikuti oleh kementerian lainnya, agar negara tidak lagi mengalami defisit anggaran.

Susinisasi merupakan program dalam pembuatan anggaran yang tepat guna, efisien, tidak untuk dihabis-habiskan, dapat dipertanggungjawabkan, dan mengutamakan kepentingan stakeholders dengan penggunaan nomenklatur yang tidak bersayap. "Supaya negara bisa hemat Rp 300-400 triliun, ini bisa dipaksa," tutur Susi.

Anggaran yang sangat ditekan oleh Susi ialah anggaran perjalanan dinas. Namun, untuk anggaran tunjangan kinerja, dari tahun 2013 ke 2017 berlangsung naik. Tunjangan kinerja diberikan kepada PNS yang bekerja dengan baik.

Selain itu, Susi berujar juga meningkatkan kualitas belanja modal KKP. Dia menuturkan konsisten melakukan evaluasi dari revaluasi setiap tahunnya. "Dari Susinisasi kita belajar up and down," ucap Susi.

Neraca perdangangan perdagangan hasil perikanan naik 13,88 persen. Dibadingkan dengan tahun 2017 kenaikan tersebut mencapai US$ 200 ribu."Kalau ada yang bilang kinerja Kementerian Perikanan di zaman Pak Jokowi amburadul, ini datanya jangan asal ngomong," ujar Susi.

Susi menjelaskan naikknya neraca perdagangan hasil perikanan dikarenakan peraturan-peraturan yang dia terapkan. Pada 2017 di semester I industri perikanan menghasilkan US$ 1,8 juta kemudian mengalami peningkatan di semesteri I 2018 US$ 2,05 juta.

Peraturan yang Susi Pudjiastuti terapkan antara lain dilarangnya kapal asing untuk menangkap ikan di lautan Indonesia. Kemudian, pelarangan kapal cantrang juga meningkatkan nilai tangkapan para nelayan.

sumber


bu sus... Kenapa susinisasi menyebabkan opini disclaimer 2 tahun berturut-turut??

Ada 2 kemungkinan, ibu sus yg salah... Atau BPK yg salah.

Klo BPK salah, berarti opini wtp pada instansi lain juga salah/patut diragukan kebenarannya.