- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Ngaku Nasionalis? Baca dulu Awal Mula Kasus Korupsi di Indonesia!


TS
Salkrye
Ngaku Nasionalis? Baca dulu Awal Mula Kasus Korupsi di Indonesia!

Quote:
Korupsi di Indonesia berkembang secara sistemik. Bagi banyak orang, korupsi bukan lagi merupakan suatu pelanggaran agama, apalagi hukum, melainkan menjadi suatu kebiasaan walau mereka mengaku beragama bahkan beribadah dengan baik. Mengapa bisa begitu?
Ingat: Setan itu jenius! Maka, paling tidak, Anda harus berpikiran cerdas dan tetap waspada oleh taktiknya.
Quote:

Dalam seluruh penelitian perbandingan korupsi antar negara, Indonesia selalu menempati posisi paling rendah. Keadaan ini bisa menyebabkan pemberantasan korupsi di Indonesia semakin ditingkatkan oleh pihak yang berwenang.
Perkembangan korupsi di Indonesia juga mendorong pemberantasan korupsi di Indonesia. Namun hingga kini pemberantasan korupsi di Indonesia belum menunjukkan titik terang melihat peringkat dalam perbandingan korupsi antar negara yang tetap rendah.
Hal ini juga ditunjukkan dari banyaknya kasus-kasus korupsi di Indonesia. Sebenarnya pihak yang berwenang, seperti KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) telah berusaha melakukan kerja maksimal. Tetapi antara kerja yang harus digarap jauh lebih banyak dibandingkan dengan tenaga dan waktu yang dimiliki KPK.
Korupsi sendiri sangat kompleks. Perubahan besar terutama peraturan, penegakan hukum, dan kesadaran diri harus dimulai dari birokrat paling rendah hingga tingkat tertinggi seperti menteri atau presiden.
Alasan korupsi seperti gaji kurang, ongkos politik, atau peraturan kaku harus bisa dihilangkan. Setidaknya dikurangi agar korupsi tidak meraja-lela. Korupsi juga tak bisa lepas dari sejarah bangsa ini. Onghokham menulis Tradisi dan Korupsi di buku Bunga Rampai Korupsi (LP3ES, 1985).
Menurut sejarawan Onghokham, korupsi marak karena ada perubahan manajemen keuangan yakni antara uang negara dan uang pribadi yang sulit dilakukan pejabat. Karena pada masa kerajaan, tradisi yang ada adalah uang negara adalah uang raja. Uang desa adalah uang lurah. Ada pergeseran makna jabatan masa lalu dan masa kini.
Jual beli jabatan pada masa lalu, ternyata juga sesuatu yang legal. Pemangku jabatan memang harus orang yang berduit agar saat menjabat bisa menyetor upeti kepada raja.
Oleh karena itu jabatan publik terkadang dijual ke pedagang atau siapa saja yang memang memiliki uang. Jabatan Bupati di Madiun pada abad ke-19 misalnya, pernah dijual dan dibeli oleh Prawiradiningratan II, anak seorang pemberontak.

Korupsi Era Orde Lama
Quote:
Di Era Orde Lama, antara 1951–1956, isu korupsi mulai diangkat oleh koran lokal seperti “Indonesia Raya”yang dipandu Mochtar Lubis dan Rosihan Anwar. Pemberitaan dugaan korupsi Ruslan Abdulgani menyebabkan koran tersebut kemudian di bredel.
Kasus 14 Agustus 1956 ini adalah peristiwa kegagalan pemberantasan korupsi yang pertama di Indonesia, dimana atas intervensi Perdana Menteri Ali Sastroamidjoyo, Ruslan Abdulgani, sang menteri luar negeri, gagal ditangkap oleh Polisi Militer.
Sebelumnya Lie Hok Thay mengaku memberikan satu setengah juta rupiah kepada Ruslan Abdulgani, yang diperoleh dari ongkos cetak kartu suara pemilu.
Dalam kasus tersebut mantan Menteri Penerangan kabinet Burhanuddin Harahap (kabinet sebelumnya), Syamsudin Sutan Makmur, dan Direktur Percetakan Negara, Pieter de Queljoe berhasil ditangkap.
Mochtar Lubis dan Rosihan Anwar yang mengangkat isu korupsi di koran lokal mereka, justru kemudian dipenjara tahun 1961 karena dianggap sebagai lawan politik Soekarno. Nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda dan asing di Indonesia tahun 1958 dipandang sebagai titik awal berkembangnya korupsi di Indonesia.
Upaya Jenderal AH Nasution untuk mencegah kekacauan dengan menempatkan perusahaan-perusahaan hasil nasionalisasi dibawah Penguasa Darurat Militer justru melahirkan korupsi di tubuh TNI.
Jenderal Nasution sempat memimpin tim pemberantasan korupsi pada masa ini, namun kurang berhasil. Pertamina adalah suatu organisasi yang merupakan lahan korupsi paling subur mulasi saat ini.

Kasus 14 Agustus 1956 ini adalah peristiwa kegagalan pemberantasan korupsi yang pertama di Indonesia, dimana atas intervensi Perdana Menteri Ali Sastroamidjoyo, Ruslan Abdulgani, sang menteri luar negeri, gagal ditangkap oleh Polisi Militer.
Sebelumnya Lie Hok Thay mengaku memberikan satu setengah juta rupiah kepada Ruslan Abdulgani, yang diperoleh dari ongkos cetak kartu suara pemilu.
Dalam kasus tersebut mantan Menteri Penerangan kabinet Burhanuddin Harahap (kabinet sebelumnya), Syamsudin Sutan Makmur, dan Direktur Percetakan Negara, Pieter de Queljoe berhasil ditangkap.
Mochtar Lubis dan Rosihan Anwar yang mengangkat isu korupsi di koran lokal mereka, justru kemudian dipenjara tahun 1961 karena dianggap sebagai lawan politik Soekarno. Nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda dan asing di Indonesia tahun 1958 dipandang sebagai titik awal berkembangnya korupsi di Indonesia.
Upaya Jenderal AH Nasution untuk mencegah kekacauan dengan menempatkan perusahaan-perusahaan hasil nasionalisasi dibawah Penguasa Darurat Militer justru melahirkan korupsi di tubuh TNI.
Jenderal Nasution sempat memimpin tim pemberantasan korupsi pada masa ini, namun kurang berhasil. Pertamina adalah suatu organisasi yang merupakan lahan korupsi paling subur mulasi saat ini.

Quote:
Kolonel Soeharto, yang menjabat sebagai Panglima Diponegoro saat itu, diduga terlibat dalam kasus korupsi gula. Akhirnya ia diperiksa oleh:
Mereka semua dari Markas Besar Angkatan Darat. Sebagai hasilnya, jabatan panglima Diponegoro yang diduduki oleh Kolonel Soeharto, akhirnya diganti oleh Letkol Pranoto, Kepala Staffnya.
Proses hukum Suharto saat itu dihentikan oleh Mayjen Gatot Subroto, yang kemudian mengirim Suharto ke Seskoad di Bandung. Kasus ini membuat D.I. Panjaitan menolak pencalonan Suharto menjadi ketua Senat Seskoad (sumber: wikipedia).
Dari sinilah sebagian masyarakat sudah tahu sejak dulu, bahwa plot Gerakan 30 September 1965 yang sebenenarnya dibuat untuk membunuh para dewan Jenderal pada masa lalu itu sebagai dendam, memiliki dampak yang akhirnya meluas dan menguntungkan bagi satu pihak. Bahkan plot ini memiliki beberapa keuntungan lainnya.
Namun dalam hal ini, khususnya Indonesia pada masa itu, CIA memiliki operasi khusus yang dinamakan The Black Operation untuk menumbangkan Orde Lama. Sambil menyelam minum air, sekali kayuh, dua tiga pulau terlampaui.
Hasilnya adalah sejarah kelam Indonesia, dengan bantuan Amerika Serikat, Inggris dan sekutunya, yang pada masa itu memiliki musuh ideologi: Komunisme, yang mana pada masa sebelumnya musuhnya adalah Nazi, dan pada masa kini musuhnya adalah ISIS yang ternyata buatan mereka juga dan termsuk dalam Operation False Flag untuk memerangi musuh terakhir mereka: Islam.

Operasi menggulingkan Orde Lama oleh CIA dengan cara propaganda media pada masa itu tak mempan. Maka CIA menggunakan cara lain, yaitu pecah belah rakyat indonesia dengan cara menghasut. Hal ini pun berhasil.
Pada masa itu hasutan sangat dipercayai, apalagi juga yang menghasut orang yang terpandang dan disegani. Hal ini berhasil karena pada masa itu belum ada media seperti sekarang yang mana bisa dicari sumber kebenaran berita itu secara langsung ke sumbernya dan secara real time.
Kala itu kambing hitam dibuat, terjadilah pembunuhan ratusan ribu nyawa setelah Orde Lama tumbang, bahkan ada yang meyakini jutaan rakyat Indonesia dicabut nyawanya oleh penguasa Orde Baru tak lama setelah Orde Lama berhasil ditumbangkan.
Jadi sejatinya, semua itu berawal dari korupsi, dan pihak yang membasminya, dianggap sebagai musuh, dan harus ditumbangkan untuk merebut kekuasaan, karena ideologi AS adalah faham Kapitalisme, dan musuh Kapitalisme adalah Nazi dan Sosialis Komunisme yang mana ideologi tersebut tidak memperbolehkan orang atau sekelompok orang menjadi sangat kaya raya.
Ideologi pembagian harta secara lebih adil merata kepada warga lain yang tak punya ini pastinya tidak disukai oleh para kapitalis elit dunia, seperti keluarga dinasti Rothschild, Rockefeller, JP Morgan, Oppenheimer dan beberapa dinasti ultra kaya dunia, yang selama ini membuat revolusi, peperangan dan pecah belah sepanjang sejarah dunia.
Keberhasilan membuat pecah belahnya masyarakat Indonesia dengan membuat taktik tersebut, akhirnya digunakan CIA di banyak negara hingga kini yang mana semuanya meraih sukses, termasuk di Timur Tengah yang menyebabkan “Arab Springs” yang juga berhasil.
Taktik adu domba ini juga akan terus digunakan oleh CIA pada masa yang akan datang.
- Mayjen Suprapto
- S Parman
- MT Haryono, dan
- Sutoyo
Mereka semua dari Markas Besar Angkatan Darat. Sebagai hasilnya, jabatan panglima Diponegoro yang diduduki oleh Kolonel Soeharto, akhirnya diganti oleh Letkol Pranoto, Kepala Staffnya.
Proses hukum Suharto saat itu dihentikan oleh Mayjen Gatot Subroto, yang kemudian mengirim Suharto ke Seskoad di Bandung. Kasus ini membuat D.I. Panjaitan menolak pencalonan Suharto menjadi ketua Senat Seskoad (sumber: wikipedia).
Dari sinilah sebagian masyarakat sudah tahu sejak dulu, bahwa plot Gerakan 30 September 1965 yang sebenenarnya dibuat untuk membunuh para dewan Jenderal pada masa lalu itu sebagai dendam, memiliki dampak yang akhirnya meluas dan menguntungkan bagi satu pihak. Bahkan plot ini memiliki beberapa keuntungan lainnya.
Namun dalam hal ini, khususnya Indonesia pada masa itu, CIA memiliki operasi khusus yang dinamakan The Black Operation untuk menumbangkan Orde Lama. Sambil menyelam minum air, sekali kayuh, dua tiga pulau terlampaui.
Hasilnya adalah sejarah kelam Indonesia, dengan bantuan Amerika Serikat, Inggris dan sekutunya, yang pada masa itu memiliki musuh ideologi: Komunisme, yang mana pada masa sebelumnya musuhnya adalah Nazi, dan pada masa kini musuhnya adalah ISIS yang ternyata buatan mereka juga dan termsuk dalam Operation False Flag untuk memerangi musuh terakhir mereka: Islam.

Operasi menggulingkan Orde Lama oleh CIA dengan cara propaganda media pada masa itu tak mempan. Maka CIA menggunakan cara lain, yaitu pecah belah rakyat indonesia dengan cara menghasut. Hal ini pun berhasil.
Pada masa itu hasutan sangat dipercayai, apalagi juga yang menghasut orang yang terpandang dan disegani. Hal ini berhasil karena pada masa itu belum ada media seperti sekarang yang mana bisa dicari sumber kebenaran berita itu secara langsung ke sumbernya dan secara real time.
Kala itu kambing hitam dibuat, terjadilah pembunuhan ratusan ribu nyawa setelah Orde Lama tumbang, bahkan ada yang meyakini jutaan rakyat Indonesia dicabut nyawanya oleh penguasa Orde Baru tak lama setelah Orde Lama berhasil ditumbangkan.
Jadi sejatinya, semua itu berawal dari korupsi, dan pihak yang membasminya, dianggap sebagai musuh, dan harus ditumbangkan untuk merebut kekuasaan, karena ideologi AS adalah faham Kapitalisme, dan musuh Kapitalisme adalah Nazi dan Sosialis Komunisme yang mana ideologi tersebut tidak memperbolehkan orang atau sekelompok orang menjadi sangat kaya raya.
Ideologi pembagian harta secara lebih adil merata kepada warga lain yang tak punya ini pastinya tidak disukai oleh para kapitalis elit dunia, seperti keluarga dinasti Rothschild, Rockefeller, JP Morgan, Oppenheimer dan beberapa dinasti ultra kaya dunia, yang selama ini membuat revolusi, peperangan dan pecah belah sepanjang sejarah dunia.
Keberhasilan membuat pecah belahnya masyarakat Indonesia dengan membuat taktik tersebut, akhirnya digunakan CIA di banyak negara hingga kini yang mana semuanya meraih sukses, termasuk di Timur Tengah yang menyebabkan “Arab Springs” yang juga berhasil.
Taktik adu domba ini juga akan terus digunakan oleh CIA pada masa yang akan datang.

Korupsi Era Orde Baru
Quote:
Di Era Orde Baru atau New Order, undang-undang anti korupsi memiliki Dasar Hukum: UU 3 tahun 1971.
Presiden Soeharto pernah membuat kebijakan anti-korupsi tentang Penyelenggara Negara yang bersih. Tapi karena kuatnya dari KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme), serta tak adanya restu politik, progam ini kurang efektif membasmi koruptor.
Korupsi dimulai dari penguasaan tentara atas bisnis-bisnis strategis. Hal inilah yang membuat pemberantasan korupsi justru menjadi tumpul.
Pada masa Orde Lama, semua pajak yang disematkan dalam setiap perdagangan, baik ekspor maupun impor disesuaikan dengan nilai barang yang dikirim. Besaran nilai ditentukan oleh pemerintah daerah setempat.
Namun usai tragedi gerakan 30 September, dan Orde Baru berkuasa, kebijakan berubah. Kebijakan ekspor tak lagi dipegang daerah, melainkan pemerintah pusat. Kondisi ini menyebabkan perpindahan besar-besaran kantor pusat yang bermula berada di daerah ke Jakarta.
Dalam kebijakan awal, perizinan ekspor impor barang harus dilakukan di Jakarta. Kondisi ini membuat sejumlah perusahaan membangun kantor cabang di ibu kota. Namun, pemerintah Orde Baru memutuskan mengubah sistem perpajakan di mana perhitungan pajak ditentukan sepenuhnya oleh pusat.

Itulah yang menjadi awal mula korupsi, kebijakan yang sebelumnya didasarkan kepada daerah masing-masing diubah dengan sistem sentralistik. Kondisi itu menyebabkan terjadinya kongkalikong antara pengusaha dan birokrat agar cepat merealisasikan permintaan mereka. Sejak saat ini korupsi justru semakin mewabah dan mengakar kuat di segala sendi-sendi penting pemerintahan dan swasta layaknya kanker.
Selain itu pada awal era ini muncul kebijakan pemerintah untuk para pemodal asing masuk ke Indonesia dalam berbagai bidang karya, termasuk untuk penambangan. Pada masa ini seluruh kekayaan alam Indonesia mulai dikuras habis-habisan.
Begitu pula perusahaan-perusahaan asing lainnya yang mulai masuk menguasai berbagai bidang stragegis lain. Beberapa diantaranya membuat perusahaan bernama Indonesia agar terlihat seperti perusahaan nasioal agar tak kentara.
Hal ini terjadi selama berpuluh-puluh tahun lamanya dan menjadikannya bak “cuci otak” bagi rakyat Indonesia. Dimana ketika terjadi korupsi di depan mata, orang sudah menganggapnya sebagai suatu hal yang biasa karena sudah terbiasa. Keadaan ini sangat tidak baik, karena selain di cuci otak ke dalam alam bawah sadar, juga akan membuat suatu “generasi yang hilang” di masa depan.
Masyarakat akan susah untuk merubah watak, sikap dan sifat, serta mental dan cara berpikirnya. Semua akan memiliki jiwa korupsi dalam berbagai cara. Inilah yang tak diketahui oleh pejabat di era Orde Baru.
Pada masa ini struktur pemerintahan sangat kuat namun tak terbuka kepada rakyat. Dimana dari kepala negara, dewan legislatif, dewan yudikatif, menteri dan gubernur hingga walikota dan bupati semua dipilih langsung dari atas, bukan dari bawah.

Pada masa Orde Baru ini, kasus korupsi begitu merebak dari warga ultra kaya hingga komunitas yang bisa dibilang semi primitive. Budaya “uang rokok”sogok-menyogok dan sejenisnya, semua cuci otak dan terjadi pembiaran, dimana gaji dan kemewahan seseorang tidak sebanding walau pakai rumus matematika sekalipun yang banyak menimbulkan tanda tanya.
Pegawai yang sebelumnya hanya berniat memiliki rumah kontrakan, kini bisa membeli satu bahkan lebih. Rising demand ini juga menyebabkan praktik kolusi antara pengusaha, birokrat dan politikus akibat proyek-proyek yang seluruhnya ditangani kekuasaan.
Tak hanya itu, korupsi yang menjangkiti pejabat maupun PNS di negeri ini terjadi akibat adanya perubahan gaya hidup akibat overcentralistic atau sentralistik yang berlebihan.
Dimana akhirnya setiap orang terdorong menjadi konsumerisme dengan berdirinya berbagai pusat perbelanjaan, serta tingginya keinginan untuk memiliki sesuatu.
Alhasil, pengawasan tidak bisa dilakukan karena atasannya keburu merasa berdosa. Korupsi yang dilakukan pusat juga diikuti daerah. Disinilah mulai ada istilah“korupsi berjama’ah”, dan tak ada satupun yang berani melawan mereka karena strukturnya kuat dan tertutup.
Bicara pejabat yang korupsi pada masa ini adalah suatu ketabuan bahkan dapat mengancam nyawa. Bahkan di ruang tertutup, seakan tembok pun bisa tahu dan seakan dapat menjadi mata-mata untuk mengadu. Rakyat tahu semuanya, namun tetap tutup mulut tak berani bersuara, apalagi bertindak.
Presiden Soeharto pernah membuat kebijakan anti-korupsi tentang Penyelenggara Negara yang bersih. Tapi karena kuatnya dari KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme), serta tak adanya restu politik, progam ini kurang efektif membasmi koruptor.
Korupsi dimulai dari penguasaan tentara atas bisnis-bisnis strategis. Hal inilah yang membuat pemberantasan korupsi justru menjadi tumpul.
Pada masa Orde Lama, semua pajak yang disematkan dalam setiap perdagangan, baik ekspor maupun impor disesuaikan dengan nilai barang yang dikirim. Besaran nilai ditentukan oleh pemerintah daerah setempat.
Namun usai tragedi gerakan 30 September, dan Orde Baru berkuasa, kebijakan berubah. Kebijakan ekspor tak lagi dipegang daerah, melainkan pemerintah pusat. Kondisi ini menyebabkan perpindahan besar-besaran kantor pusat yang bermula berada di daerah ke Jakarta.
Dalam kebijakan awal, perizinan ekspor impor barang harus dilakukan di Jakarta. Kondisi ini membuat sejumlah perusahaan membangun kantor cabang di ibu kota. Namun, pemerintah Orde Baru memutuskan mengubah sistem perpajakan di mana perhitungan pajak ditentukan sepenuhnya oleh pusat.

Itulah yang menjadi awal mula korupsi, kebijakan yang sebelumnya didasarkan kepada daerah masing-masing diubah dengan sistem sentralistik. Kondisi itu menyebabkan terjadinya kongkalikong antara pengusaha dan birokrat agar cepat merealisasikan permintaan mereka. Sejak saat ini korupsi justru semakin mewabah dan mengakar kuat di segala sendi-sendi penting pemerintahan dan swasta layaknya kanker.
Selain itu pada awal era ini muncul kebijakan pemerintah untuk para pemodal asing masuk ke Indonesia dalam berbagai bidang karya, termasuk untuk penambangan. Pada masa ini seluruh kekayaan alam Indonesia mulai dikuras habis-habisan.
Mulai dari minyak bumi, nikel, tembaga, emas, mangan, batu bara dan seluruhnya, dikuasai pemodal asing.
Begitu pula perusahaan-perusahaan asing lainnya yang mulai masuk menguasai berbagai bidang stragegis lain. Beberapa diantaranya membuat perusahaan bernama Indonesia agar terlihat seperti perusahaan nasioal agar tak kentara.
Hal ini terjadi selama berpuluh-puluh tahun lamanya dan menjadikannya bak “cuci otak” bagi rakyat Indonesia. Dimana ketika terjadi korupsi di depan mata, orang sudah menganggapnya sebagai suatu hal yang biasa karena sudah terbiasa. Keadaan ini sangat tidak baik, karena selain di cuci otak ke dalam alam bawah sadar, juga akan membuat suatu “generasi yang hilang” di masa depan.
Masyarakat akan susah untuk merubah watak, sikap dan sifat, serta mental dan cara berpikirnya. Semua akan memiliki jiwa korupsi dalam berbagai cara. Inilah yang tak diketahui oleh pejabat di era Orde Baru.
Pada masa ini struktur pemerintahan sangat kuat namun tak terbuka kepada rakyat. Dimana dari kepala negara, dewan legislatif, dewan yudikatif, menteri dan gubernur hingga walikota dan bupati semua dipilih langsung dari atas, bukan dari bawah.

Pada masa Orde Baru ini, kasus korupsi begitu merebak dari warga ultra kaya hingga komunitas yang bisa dibilang semi primitive. Budaya “uang rokok”sogok-menyogok dan sejenisnya, semua cuci otak dan terjadi pembiaran, dimana gaji dan kemewahan seseorang tidak sebanding walau pakai rumus matematika sekalipun yang banyak menimbulkan tanda tanya.
Quote:
Pegawai negeri bisa punya rumah mewah, polisi bisa punya mobil mahal, tentara bisa punya beberapa rumah. Memang tidak mengapa untuk memiliki semua itu, namun tidak mungkin didapat dengan gaji pada masa lalu. Hitungan matematika tidak berlaku.
Pegawai yang sebelumnya hanya berniat memiliki rumah kontrakan, kini bisa membeli satu bahkan lebih. Rising demand ini juga menyebabkan praktik kolusi antara pengusaha, birokrat dan politikus akibat proyek-proyek yang seluruhnya ditangani kekuasaan.
Tak hanya itu, korupsi yang menjangkiti pejabat maupun PNS di negeri ini terjadi akibat adanya perubahan gaya hidup akibat overcentralistic atau sentralistik yang berlebihan.
Dimana akhirnya setiap orang terdorong menjadi konsumerisme dengan berdirinya berbagai pusat perbelanjaan, serta tingginya keinginan untuk memiliki sesuatu.
Budaya feodal juga diyakini masih mengikat sebagian besar masyarakat. Ketika pejabatnya korupsi, tindakan serupa juga diikuti bawahannya.
Alhasil, pengawasan tidak bisa dilakukan karena atasannya keburu merasa berdosa. Korupsi yang dilakukan pusat juga diikuti daerah. Disinilah mulai ada istilah“korupsi berjama’ah”, dan tak ada satupun yang berani melawan mereka karena strukturnya kuat dan tertutup.
Bicara pejabat yang korupsi pada masa ini adalah suatu ketabuan bahkan dapat mengancam nyawa. Bahkan di ruang tertutup, seakan tembok pun bisa tahu dan seakan dapat menjadi mata-mata untuk mengadu. Rakyat tahu semuanya, namun tetap tutup mulut tak berani bersuara, apalagi bertindak.

Korupsi Era Reformasi
Quote:
Di Era Reformasi, undang-undang anti korupsi memiliki Dasar Hukum: UU 31 tahun 1999
Pemberantasan korupsi di Indonesia saat ini dilakukan oleh beberapa institusi, yaitu:
1. Kepolisian
2. Kejaksaan
3. Tim Tastipikor (Tindak Pidana Korupsi),
4. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
5. BPKP (Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan),

Namun apa yang terjadi tidaklah signifikan. Walau sudah pada peyot menjadi nenek dan kakek, para koruptor pada masa Orde Baru masih banyak menduduki sebagai pejabat di legislatif pusat hingga ke daerah-daerah di era Reformasi ini.
Salah satu penyebabnya adalah: sudah banyaknya modal mereka untuk tetap dapat berkuasa sebagai anggota MPR, DPR, DPRD dan pejabat lainnya seantero Indonesia.
Semua ini karena “cuci otak”pada era Orde Baru yang sedemikian lamanya, terjadi terus dan terus dan terus selama puluhan tahun.
Selain itu, pada masa Reformasi tidak lagi diberlakukan pemilihan pejabat dari atas seperti masa Orde Baru, namun dipilih melalui pemilihan dari rakyat daerahnya berupa pilkada. Disinilah uang bisa dimainkan.
Siapa yang kuat modal, dialah yang menang, dan itu terbukti. Setelah menjabat, mereka mencari modal awal tadi untuk balik kembali. Dan setelah itu korupsi berlanjut terus dan terus. Maka para koruptor juga yang akhirnya naik sebagai pejabat daerah, dan juga legislatif daerah di DPRD.
Dengan mental korupsi yang sudah terpatri dan diturunkan kepada generasi muda sebagai bagian "cuci otak” sejak masa lalu, seakan bom waktu yang tinggal menunggu untuk meledak.
Dulu, yang dapat melakukan korupsi, terutama “dengan aman” hanyalah pejabat. Kini giliran yang belum dapat “merasakannya” mulai naik menjadi pejabat. Mereka yang dulu hanya dapat melihat, ingin juga merasakannya.
Maka semua “anak baru” pun pada masa ini ingin pula merasakannya. Bom waktu sudah mulai meledak. Korupsi tetap berlanjut akibat “cuci otak” alam bawah sadar mereka tanpa sadar, selama puluhan tahun. Namun mereka tak mengira bahwa pada masa ini, badan-badan “pemburu” koruptor juga sudah terbentuk.
Maka banyak dari mereka yang akhirnya masuk bui, ratusan jumlahnya, itu pun yang katahuan karena cara mereka yang dianggap “masih junior”.

Sementara koruptor pada masa lalu yang sudah berpengalaman, tetap bermain cantik dan seakan bersih karena pengalamannya.
Tapi perlu diakui pula bahwa pada masa Reformasi terutama di tahun 1998, kegiatan jahat ini semakin menurun, tapi bukan berarti berhenti.
Namun pada masa ini terjadi perlambatan ekonomi dunia secara global. Kelesuan perekonomian dunia juga ikut mempengaruhi perekonomian regional. Ditambah maraknya“uang haram”, taau orang awam pada masa kini menyebutnya sebagai “uang setan” yang biasa mereka hamburkan di negeri ini, ikut menurun peredarannya.
Apalagi yang bermain adalah pengusaha-penguasaha besar dan para politikus sejak masa lalu. Namun harus pula diakui, tak sedikit kader-kader partai politik pada masa ini yang memang berkualitas.
Banyak kader-kader muda partai yang jauh lebih jujur, namun “kalah modal” dan menjadi kader pemilihan di urutan ke seribu, mungkin. Oleh karena itulah mereka yang muda dan jujur ini, tak akan pernah terpilih.
Seharusnya gubernur, bupati dan walikota harus diangkat oleh presiden seperti pada masa lalu agar dapat dipilih pemimpin-pemimpin jujur dan dapat kompak dalam memerangi korupsi. Karena korupsi menyangkut mental manusia, jika tak jujur maka korupsi merajalela selamanya.
1. Kepolisian
2. Kejaksaan
3. Tim Tastipikor (Tindak Pidana Korupsi),
4. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
5. BPKP (Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan),

Namun apa yang terjadi tidaklah signifikan. Walau sudah pada peyot menjadi nenek dan kakek, para koruptor pada masa Orde Baru masih banyak menduduki sebagai pejabat di legislatif pusat hingga ke daerah-daerah di era Reformasi ini.
Salah satu penyebabnya adalah: sudah banyaknya modal mereka untuk tetap dapat berkuasa sebagai anggota MPR, DPR, DPRD dan pejabat lainnya seantero Indonesia.
Semua ini karena “cuci otak”pada era Orde Baru yang sedemikian lamanya, terjadi terus dan terus dan terus selama puluhan tahun.
Selain itu, pada masa Reformasi tidak lagi diberlakukan pemilihan pejabat dari atas seperti masa Orde Baru, namun dipilih melalui pemilihan dari rakyat daerahnya berupa pilkada. Disinilah uang bisa dimainkan.
Siapa yang kuat modal, dialah yang menang, dan itu terbukti. Setelah menjabat, mereka mencari modal awal tadi untuk balik kembali. Dan setelah itu korupsi berlanjut terus dan terus. Maka para koruptor juga yang akhirnya naik sebagai pejabat daerah, dan juga legislatif daerah di DPRD.
Dengan mental korupsi yang sudah terpatri dan diturunkan kepada generasi muda sebagai bagian "cuci otak” sejak masa lalu, seakan bom waktu yang tinggal menunggu untuk meledak.
Dulu, yang dapat melakukan korupsi, terutama “dengan aman” hanyalah pejabat. Kini giliran yang belum dapat “merasakannya” mulai naik menjadi pejabat. Mereka yang dulu hanya dapat melihat, ingin juga merasakannya.
Maka semua “anak baru” pun pada masa ini ingin pula merasakannya. Bom waktu sudah mulai meledak. Korupsi tetap berlanjut akibat “cuci otak” alam bawah sadar mereka tanpa sadar, selama puluhan tahun. Namun mereka tak mengira bahwa pada masa ini, badan-badan “pemburu” koruptor juga sudah terbentuk.
Maka banyak dari mereka yang akhirnya masuk bui, ratusan jumlahnya, itu pun yang katahuan karena cara mereka yang dianggap “masih junior”.

Sementara koruptor pada masa lalu yang sudah berpengalaman, tetap bermain cantik dan seakan bersih karena pengalamannya.
Tapi perlu diakui pula bahwa pada masa Reformasi terutama di tahun 1998, kegiatan jahat ini semakin menurun, tapi bukan berarti berhenti.
Namun pada masa ini terjadi perlambatan ekonomi dunia secara global. Kelesuan perekonomian dunia juga ikut mempengaruhi perekonomian regional. Ditambah maraknya“uang haram”, taau orang awam pada masa kini menyebutnya sebagai “uang setan” yang biasa mereka hamburkan di negeri ini, ikut menurun peredarannya.
Apalagi yang bermain adalah pengusaha-penguasaha besar dan para politikus sejak masa lalu. Namun harus pula diakui, tak sedikit kader-kader partai politik pada masa ini yang memang berkualitas.
Banyak kader-kader muda partai yang jauh lebih jujur, namun “kalah modal” dan menjadi kader pemilihan di urutan ke seribu, mungkin. Oleh karena itulah mereka yang muda dan jujur ini, tak akan pernah terpilih.
Seharusnya gubernur, bupati dan walikota harus diangkat oleh presiden seperti pada masa lalu agar dapat dipilih pemimpin-pemimpin jujur dan dapat kompak dalam memerangi korupsi. Karena korupsi menyangkut mental manusia, jika tak jujur maka korupsi merajalela selamanya.

Quote:
Gilanya, mereka yang korupsi adalah orang-orang yang mengaku beragama, padahal dalam agama, korupsi tak diperbolehkan dan merupakan DOSA BESAR, bahkan sangat teramat besar.
Itu sebabnya sebagian masyarakat sangat benci dengan para koruptor pada masa ini, karena sudah MEMBAJAK atas nama agama mereka namun agama yang mulia itu justru diseret ke dalam jurang kegelapan satanisme.
Oleh sebabnya, jika tak pandai mengubah sikap dan mental, maka pada masa inilah disebut sebagai “generasi yang hilang”,yang telah “terdidik” sejak dulu dimana korupsi sudah menjadi sebuah hal yang biasa, mirip buang sampah sembarangan, yaitu sejak masa Orde Baru.
Itu sebabnya sebagian masyarakat sangat benci dengan para koruptor pada masa ini, karena sudah MEMBAJAK atas nama agama mereka namun agama yang mulia itu justru diseret ke dalam jurang kegelapan satanisme.
Oleh sebabnya, jika tak pandai mengubah sikap dan mental, maka pada masa inilah disebut sebagai “generasi yang hilang”,yang telah “terdidik” sejak dulu dimana korupsi sudah menjadi sebuah hal yang biasa, mirip buang sampah sembarangan, yaitu sejak masa Orde Baru.
Jadi korupsi terjadi bukan karena partai atau peraturannya, tapi karena MENTAL masyarakat dan orang-orangnya, yang mana mental itu harus diubah.
Tapi, bisakah itu terjadi? Jawablah menurut hati Anda, karena sebagai LANGKAH AWAL untuk dapat membasmi korupsi adalah: berawal dari diri Anda sendiri.




Quote:
Diubah oleh Salkrye 20-09-2018 09:04
5
13.7K
Kutip
98
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan