Kaskus

News

BeritagarIDAvatar border
TS
BeritagarID
Hampir sepertiga balita masih menderita stunting
Hampir sepertiga balita masih menderita stunting
Ilustrasi bayi
Masalah gizi anak masih membayangi anak Indonesia. Hingga 2017, hampir sepertiga balita masih menderita stunting. Butuh kesadaran parapihak untuk mengatasinya: orang tua bayi dan lingkungan tempat mereka tinggal, termasuk kepala desa.

Gizi buruk kembali jadi perbincangan saat foto seorang anak dengan kondisi tubuh kurus di Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur (NTT), diunggah ke media sosial oleh Robert Ramone, pendiri Lembaga Studi Pendidikan dan Pelestarian Budaya Sumba.

Menurut Robert yang juga seorang ulama Gereja Katolik Sumba, anak tersebut pasien kurang gizi di Puskesmas Watukawulo, Tambolaka, ibu kota Kabupaten Sumba Barat Daya, NTT, seperti dilaporkan Viva.co.id (5/9/2018).

Masalah gizi, menyebabkan berat badan kurang atau gizi kurang—istilah untuk penderita gabungan dari gizi buruk dan gizi kurang. Selain itu, bisa menyebabkan stunting atau pendek (gabungan sangat pendek dan pendek), dan wasting atau kurus (gabungan sangat kurus dan kurus).

Hingga 2017, persentase balita usia 0-59 bulan penderita stunting di Indonesia mencapai 29,6 persen, kurus sebanyak 9,5 persen, dan kurang gizi sebesar 17,8 persen. Penurunan signifikan sejak 2015, hanya terjadi pada kasus balita kurus.

Kabupaten Sumba Barat Daya—lokasi Robert Ramone—termasuk kabupaten dengan catatan merah selama tiga tahun belakangan. Persentase gizi buruk di kabupaten tersebut selalu di atas rata-rata nasional.

Adapun NTT menjadi provinsi dengan catatan kurang gizi dan stunting terburuk di Indonesia. Selain Sumba Barat Daya, sejumlah kabupaten menduduki peringkat 10 wilayah dengan kondisi terburuk.

Empat dari 10 balita di Kabupaten Sabu Raijua kekurangan gizi—tertinggi di Indonesia. Peringkat selanjutnya yakni Malaka dan Rote Ndao di provinsi yang sama, dengan persentase balita kekurangan gizi masing-masing 37,6 dan 37 persen.

Untuk kasus stunting, NTT masih jadi provinsi papan atas. Sebut saja, Kabupaten Timor Tengah Selatan yang lebih dari separuh balita, 57,3 persen, berpostur tubuh pendek, di bawah pertumbuhan normal balita.

Tak jauh beda, yakni Kabupaten Manggarai dan Sabu Raijua yang setengah balita mengalami kasus yang sama.

Pada 2016, Menteri Kesehatan Nila Moeloek menyoroti tingginya kasus anak kurang gizi dan gizi buruk di provinsi tersebut. Dalam temuannya, banyak ibu hamil yang kekurangan energi sehingga berpengaruh pada status gizi anak saat lahir.
Hampir sepertiga balita masih menderita stunting

“Ibu hamil kalau pada saat konsepsi (pembuahan) itu kurang gizinya, saat hamil anaknya stunting. Masalahnya, banyak ibu tidak sehat optimal, mungkin kurang gizi, kurang energi dan protein atau sakit anemia,” ujar Ketua Bidang Ilmiah Persatuan Ahli Gizi Indonesia (Persagi), Atmarita, ketika dihubungi Beritagar.id, Kamis (13/9/2018).

Tak hanya itu, Atmarita menjelaskan kondisi di NTT terjadi karena beragam faktor seperti kurangnya asupan makanan, geografis, dan kemiskinan.

“Faktor geografis itu tanah kering dan bebatuan jadi tidak bisa ditanami (tumbuhan). Tidak ada juga upaya cari ikan di laut, atau tidak ada upaya pemerintah di sana cari pangan untuk disediakan di rumah tangga,” katanya.

Studi terhadap 38 balita di Puskesmas Kori, Kecamatan Kodi Utara, Sumba Barat Daya, menunjukkan faktor yang paling berisiko terhadap kasus kurang gizi yakni pendapatan keluarga yang kurang dari Rp234.141 per bulan dan balita sakit lebih dari tiga kali dalam enam bulan.

Bayi yang terlahir di keluarga dengan pendapatan kurang dari angka tersebut berisiko menderita kekurangan gizi sebanyak 15 kali lipat. Sementara balita yang sakit dalam frekuensi tersebut, berisiko 35 kali lipat untuk menderita kurang gizi.

Pun ketersediaan pangan tak menjamin bisa bebas dari gizi buruk. Kasus balita kurus pun masih banyak ditemukan di provinsi Sumatra Utara.

“Sumatra Utara itu kemungkinan perilaku (pemberian makan). Wasting biasa terjadi kalau kelaparan dan pangan tidak ada, tetapi di Sumatra Utara, pangan ada. Berarti, perilaku orang tua memberi makan ke anak yang seharusnya gizi seimbang tapi dikasih yang lain,” kata Atmarita.
[URL="https://media.beritagar.id/2018-09/1025x1461_6b71eb5deS E N S O R200297dc717bc420ff59d4fcbe.png"] [img]https://s.kaskus.id/r100x100/images/2018/09/15/8296201_201809150450040482.png[/img]
[/URL] Butuh kesadaran bersama
Badan kesehatan dunia World Health Organization (WHO) pada 2006 lalu telah mengatur standar pertumbuhan bayi berdasarkan usia dan jenis kelamin. Aturan ini kemudian diadopsi menjadi Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1997/2010.

Jika masalah gizi tak segera ditangani, sang bayi bisa menderita kwasiorkor dengan gejala perut membuncit serta kaki bengkak atau marasmus yang badannya kurus kerempeng hingga raut muka terlihat tua karena tak ada lemak.

“Kondisi terburuk bisa menyerang ke otak. Pertumbuhan otak jadi kurang. Kalau dia dewasa, produktivitas kurang dan berpengaruh ke ekonomi, miskin lagi,” ujar Atmarita.

Untuk mengatasi ancaman malnutrisi, perlu kesadaran para pihak: orang tua bayi dan lingkungan tempat mereka tinggal, termasuk kepala desa.

Mulai saat konsepsi, seorang ibu idealnya dalam kondisi gizi yang seimbang dan dibuat senyaman mungkin saat hamil. Asupan gizi saat mengandung pun perlu diperhatikan. Apa yang dikonsumsi ibu makan akan dikonsumsi janin.

Selain itu, kesadaran ibu hamil untuk mengecek janin saat usia kehamilan masih muda menjadi penting. Namun, Atmarita kerap menemukan ibu hamil baru memeriksakan kandungannya pada trimester kedua.

“Kalau sudah trimester kedua, ada yang kondisinya sudah anemia dan kans untuk janin menjadi bagus sudah berkurang,” katanya.

Kesadaran masing-masing ibu ini diperlukan lantaran tak semua layanan kesehatan memiliki bidan atau pun perawat yang bisa memantau pertumbuhan janin tiap ibu hamil di daerah setempat.

Minimnya kesadaran, diakui Atmarita, akibat dari minimnya level pendidikan di sejumah daerah. “Kalau ada penyuluhan mesti berkali-kali,” tegas dia.

Cara lain yang perlu ditempuh yakni dengan menyadarkan dan memberikan pemahaman kepala desa yang berhadapan langsung dengan masyarakat. Fenomena yang terjadi di lapangan, kepala desa tak tahu-menahu soal lingkungan: berapa banyak ibu hamil dan berapa banyak anak kurang gizi.

“Seharusnya dibikin sebuah sistem agar kepala desa bisa memantau warganya, bisa dibuat dari dana desa, masyarakat mengusulkan programnya,” katanya.

Dengan kondisi lingkungan yang mendukung serta kesadaran ibu hamil dan keluarganya, Atmarita berharap angka kurang gizi, kurus, dan stunting dapat berkurang.
Hampir sepertiga balita masih menderita stunting


Sumber : https://beritagar.id/artikel/berita/...erita-stunting

---

Baca juga dari kategori BERITA :

- Hampir sepertiga balita masih menderita stunting Trump isyaratkan babak baru perang tarif dengan Tiongkok

- Hampir sepertiga balita masih menderita stunting Hukuman koruptor perlu diperberat agar tak bisa nyaleg

- Hampir sepertiga balita masih menderita stunting Menjawab ramalan krisis ekonomi pada 2020

anasabilaAvatar border
anasabila memberi reputasi
1
873
1
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan