- Beranda
- Komunitas
- News
- Beritagar.id
Rabies masih jadi ancaman


TS
BeritagarID
Rabies masih jadi ancaman

Ilustrasi: Mengendalikan penyebaran rabies
Kita belum selesai berurusan dengan rabies, penyakit yang menyerang susunan syaraf pusat akibat virus yang ditularkan oleh hewan penular rabies (HPR) –termasuk kucing, kelelawar, kera, dan anjing.
Angka kasus gigitan HPR masih tinggi. Begitu juga angka kematian akibat rabies. Kita membutuhkan pendekatan yang menyeluruh untuk membereskan persoalan yang pelik ini.
Adalah kematian Euprasia L Glelo yang mengingatkan kita kembali bahwa persoalan pemberantasan rabies belum berhasil dan harus mendapat perhatian dan langkah serius yang menyeluruh.
Bocah kecil warga Desa Baumekot, Kecamatan Hewokloang, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur (NTT) itu digigit anjing pada bulan Mei. Euprasia baru dibawa ke dokter pada akhir Agustus, dan meninggal akibat rabies pada Sabtu (1/9/2018) lalu.
NTT tercatat punya sejarah panjang dengan rabies. Di provinsi itu, kasus rabies pertama kali dilaporkan terjadi di kawasan Flores-Lembata pada tahun 1997.
Di kawasan itu, seperti dikutip Kompas, Sejak Januari sampai Juli 2018 sudah terjadi 5 ribu kasus gigitan anjing, yang mengakibatkan 8 di antaranya meninggal dunia. Kasus kematian aikbat gigitan anjing rabies itu terjadi di Kabupaten Manggarai Timur, Nagekeo, Ende, Sikka, dan Kabupaten Lembata.
Terkait rabies, bukan cuma NTT yang perlu mendapat perhatian. Untuk sekadar menunjuk contoh, Kabupaten Sukabumi di Jawa Barat adalah salah satunya. Ada 10 kecamatan di kabupaten itu yang tergolong rawan rabies.
Hal itu tentu bukan tanpa alasan. Di 10 kecamatan di Kabupaten Sukabumi itu, populasi anjing tergolong tinggi. Pada 2018 ini sudah ada 46 korban gigitan anjing, yang 3 di antaranya positif rabies. Ini kasus yang baru muncul kembali di Sukabumi setelah 10 tahun tanpa kasus rabies.
Menurut Kepala Dinas Peternakan Kabupaten Sukabumi Iwan Karmawan seperti dikutip poskotanews.com, kasus terakhir sebelumnya terjadi pada 2008. Saat itu ada 206 korban gigitan anjing. Delapan di antaranya positif kasus rabies, dengan korban meninggal berjumlah 3 orang.
Kasus kematian akibat rabies juga tercatat masih sangat tinggi di Kalimantan Barat. Mengutip informasi situs web Kabupaten Sanggau, sampai pertengahan Agustus lalu 14 orang meninggal karena rabies di provinsi tersebut: 3 orang di Kabupaten Sintang, 3 orang di Kabupaten Sanggau, dan 8 orang di Kabupaten Landak.
Meskipun tidak ada laporan kasus kematian akibat rabies, kasus gigitan HPR di Minahasa juga tergolong tinggi. Tahun 2018 ini, [URL="http://mediasuluS E N S O Rberita-231-rabies-tembus-103-kasus-di-minahasa-.html"]sampai bulan Juli[/URL], telah tercatat 103 kasus gigitan HPR.
Bali adalah daerah lain yang juga tercatat mempunyai banyak kasus gigitan HPR. Di Kabupaten Klungkung, misal, pada bulan Agustus lalu saja ada 11 warga yang menjadi korban gigitan anjing yang positif rabies. Masih di bulan Agustus tahun ini, seorang warga Kabupaten Karangasem meninggal akibat rabies.
Sampai sekarang masih ada 25 provinsi di Indonesia yang belum bebas rabies. Empat provinsi dinyatakan berhasil bebas dari rabies; yaitu Jawa Timur, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, dan DKI Jakarta. Sedangkan 5 provinsi lain memang belum pernah tercatat mempunyai kasus rabies; yaitu Provinsi Papua, Papua Barat, Bangka Belitung, Kepulauan Riau, dan Nusa Tenggara Barat.
Tahun lalu, provinsi dengan jumlah kasus kematian akibat rabies paling tinggi adalah Kalimantan Barat dan Sulawesi Selatan. Di masing-masing provinsi tersebut, kematian akibat rabies pada 2017 mencapai 22 kasus.
Provinsi lain yang juga mempunyai kasus kematian akibat rabies tinggi pada tahun itu adalah Sulawesi Utara dengan 15 kasus, Sumatera Utara dengan 11 kasus, dan Nusa Tenggara Timur dengan 10 kasus.
Salah satu faktor penting yang memicu kematian akibat rabies adalah lambatnya penanganan korban gigitan HPR. Pada kasus bocah Euprasia L Glelo di Sikka, jarak antara waktu gigitan HPR dengan waktu pengobatan mencapai 3 bulan.
Hal serupa jugalah yang terjadi di Kabupaten Sintang: banyak kasus gigitan HPR yang tidak dilaporkan sehingga baru dikenali setelah dalam kondisi korban yang gawat.
Tidak bisa tidak, di daerah-daerah yang rawan dan belum terbebas dari rabies, pemerintah daerah harus cukup aktif untuk mengedukasi warganya tentang pentingnya penanganan yang tepat dan segera jika terjadi kasus gigitan HPR.
Beragam bentuk edukasi itu selayaknya tidak hanya dilakukan pada saat muncul banyak kasus; melainkan terprogram secara teratur dan tepat waktu.
Pemerintah daerah yang wilayahnya tergolong daerah rawan dan belum bebas rabies juga harus sungguh mempunyai rencana yang jelas untuk memastikan bahwa vaksin anti rabies (VAR) bagi warganya tersedia secara cukup. Kita tidak ingin melihat tragedi kehabisan stok VAR di daerah-daerah rawan rabies.
Tentu, tindakan paling penting adalah memutus rantai penyebaran rabies. Vaksinasi terhadap HPR secara rutin adalah kuncinya. Memang bukan hal yang mudah sebab tidak semua HPR adalah hewan-hewan peliharaan. Banyak pula HPR yang liar.
Bahkan untuk melakukan vaksinasi hewan piaraan pun tidaklah segampang yang diduga. Tidak semua pemilik hewan piaraan termasuk kelompok warga yang mampu dan sadar untuk melakukan vaksinasi secara rutin kepada hewan piaraannya.
Sekalipun, meski vaksinasi dilakukan secara gratis, tak sedikit pemilik hewan piaraan yang menolaknya karena menganggap vaksinasi akan melemahkan hewan piaraan mereka.
Penanganan HPR yang hidup liar pun tak mudah. VAR, sejauh ini, hanya bisa diberikan lewat penyuntikan. Cara itu tentu sulit dilakukan terhadap hewan liar.
Pada saat yang sama, eliminasi terhadap hewan liar juga mendapat penentangan dari kelompok pecinta hewan. Eliminasi adalah ungkap halus untuk merujuk ke tindakan pembunuhan.
Peliknya persoalan vaksinasi HPR –untuk memutus penyebaran rabies- seharusnya tidak menyurutkan langkah menuju perwujudan Indonesia bebas rabies. Semua pihak –pemilik hewan piaraan, pemerintah, pecinta hewan- harus menyadari pentingnya mengutamakan keselamatan dan kesehatan bersama.
Pendataan dan pemetaan hewan peliharaan yang tergolong HPR yang memerlukan kerja sama antara pemerintah dan warga itu adalah proses yang tidak boleh dilewatkan sebagai bagian dari prosedur vaksinasi.
Sementara pengendalian populasi HPR yang hidup secara liar juga harus tak perlu ragu dilakukan dengan cara wajar namun efektif.
Keselamatan dan kesehatan bersama adalah hal utama dalam konteks ini.

Sumber : https://beritagar.id/artikel/editori...h-jadi-ancaman
---
Baca juga dari kategori EDITORIAL :
-

-

-



anasabila memberi reputasi
1
479
0


Komentar yang asik ya


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan