Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

annisa2019Avatar border
TS
annisa2019
Krisis Ekonomi 2018
Krisis Ekonomi 2018
Senin 10 September 2018 - 15:02


Ilustrasi uang Dolar Amerika Serikat dan rupiah. (Foto: Nugroho Sejati/kumparan)

Sekitar dua minggu belakangan ini, topik melemahnya nilai tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat semakin hangat diperbincangkan masyarakat, baik di dunia nyata maupun di dunia maya.

Perdebatan mengenai topik ini pun semakin menghangat sejak berakhirnya gelaran Asian Games 2018. Lini masa yang sebelumnya dihiasi kiprah prestasi atlet putra putri Indonesia, beralih ke persoalan-persoalan ekonomi terkait nilai tukar Rupiah yang semakin melemah.

Sebagai masyarakat yang awam akan perihal perekonomian, saya tidak bisa (dan tentu merasa kurang pantas) untuk turut membahas persoalan krisis perekonomian ini secara komprehensif laksana teman-teman lainnya dari fakultas ekonomi, fakultas peternakan dan pertanian, fakultas sastra, atau fakultas ilmu komputer dan fakultas lainnya yang memang mempelajari ekonomi mikro maupun makro secara khusus.

Tulisan berikut ini merupakan pengalaman pribadi selama melewati serangkaian krisis ekonomi yang telah berkali-kali menimpa Negara Republik Indonesia.

Tidak banyak yang saya ingat terkait krisis moneter 1998, yang kala itu membuat Soeharto harus mundur dari jabatannya, untuk kemudian digantikan oleh Wakil Presidennya yaitu Pak B.J. Habibie dan menandai masuknya era Reformasi menggantikan Orde Baru.


Aksi Long March Mei 1998 (Foto: Dok. Muhammad Firman Hidayatullah)

Tapi, yang saya ingat, kala itu saya berusia sekitar 13 tahun. Baru belakangan seiring perkembangan pendidikan dan kemampuan menyerap ilmu pengetahuan, barulah saya sedikit mengerti dan memahami apa yang terjadi di 1998.

Bahwa di kala itu, nilai tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat sedemikian anjloknya sehingga berbagai sektor industri dan perusahaan harus melakukan PHK massal bahkan gulung tikar.

Walaupun semakin lama saya semakin terbiasa melihat usaha gulung tikar, karena hampir setiap hari di sepanjang area parkir Mega Kuningan maupun Jalan Rasuna Said para pedagang nasi bungkus, gorengan, dan kopi sachet harus menggulung tikar karena entah dagangannya sudah sold out, atau sudah terlalu sore atau karena ada patroli Satpol PP maupun pengelola kawasan.

Pada 1998 terjadi krisis ekonomi dunia sehingga hampir seluruh Negara (termasuk Indonesia) terkena imbasnya. Untuk lebih lengkapnya bisa dibaca lebih lanjut di pelbagai tulisan yang dapat kita temukan di internet maupun literatur-literatur lainnya.

Namun sehebat itu guncangan ekonomi yang terjadi, Indonesia mampu bertahan dan perlahan-lahan (mulai) bangkit dari keterpurukan walau konon (menurut para pakar) tidak pernah sepenuhnya sembuh dari imbas krisis.

Dahsyatnya gerakan mahasiswa dalam nelakukan demonstrasi di 1998 hingga mampu menumbangkan rezim yang 32 tahun menjadi penguasa pun menjadi salah satu alarm terjadinya (maupun potensi terjadinya) krisis ekonomi di Indonesia pada tahun-tahun ke depannya.

Berikutnya di era Presiden Abdurrahman Wahid, Presiden Megawati Soekarnoputri, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dan sekarang Presiden Joko Widodo pun salah satu penyebab krisis ekonomi yang abadi adalah dampak dari tidak benar-benar pulihnya Indonesia dari krisis ekonomi 1998.

Serangkaian upaya menguatkan ekonomi nasional seperti meningkatkan impor, membarter pesawat dengan kedelai negara lain, penurunan dan pencabutan subsidi BBM senantiasa berujung pro dan kontra.

Hingga di tahun 2018 ini, saya sendiri kerap bingung harus mencari referensi mana yang benar dari sekian banyak artikel yang betebaran di internet perihal permasalahan ekonomi yang tengah terjadi. Polarisasi masyarakat yang terjadi karena semakin dekatnya Pemilihan Umum 2019 semakin membuat runyam.

Pendapat para ekonom (orang yang benar-benar paham dan berkecimpung di dunia ekonomi) akan melemahnya nilai tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat di Agustus-September 2018, terbiaskan dengan sentimen maupun pertanyaan: “ini pendapat #Jokowi2Periode atau #2019GantiPresiden?”

Para pegaung (Bahasa kerennya: buzzer) militan kedua kelompok pun menjadikan isu ekonomi ini sebagai komoditi bagi kepentingannya dengan angle yang berbeda-beda sehingga membuat masyarakat yang awalnya benar-benar tidak memahami ekonomi benar-benar serasa telah menjadi pakar.

Linimasa Instagram yang tadinya dipenuhi kehidupan glamor berganti dengan gambar-gambar grafik IHSG dengan caption-caption seperti slide kuliah Ilmu Ekonomi ditambahi beberapa iklan hestag peninggi badan maupun pembesar penis.

Linimasa Twitter yang tadinya dipenuhi cerita-cerita mistis terkini dan cuitan-cuitan segmented joke, kini dipadati cuitan ekonomi dari kubu #Jokowi2Periode atau #2019GantiPresiden. Di mana masing-masing kubu diwakili oleh orang-orang yang cukup kompeten di bidangnya (yang mana ironisnya bukan ekonomi).

Lini masa Facebook yang tadinya dipenuhi foto-foto angkatan tua sedang reuni SMU dan ucapan selamat ulang tahun bagi kerabat, kini berisi postingan berupa perdebatan lanjutan akibat ada yang memuat screen capture perdebatan ekonomi dari Instagram dan Twitter.

Sedangkan Grup WhatsApp, keluarga saling berkirim pesan dan teori konspirasi terkait persoalan ekonomi yang terjadi dengan didahului kalimat andalan: “info A1” atau “Dapet dari grup sebelah” (entah sebelah mana).

Bagi saya, masyarakat biasa, yang dibilang kaya tidak, namun dibilang miskin juga lumayan, melemahnya nilai tukar Rupiah atas Dollar Amerika Serikat sampai hari ini belum saya rasakan.

Sebelum mengkritisi serta memaki, saya adalah seorang apatis dan tidak memperhatikan penderitaan masyarakat kecil di pelosok yang benar-benar tercekik akibat hal ini, saya sampaikan sekali lagi bahwa saya hanyalah menyampaikan pendapat pribadi berdasarkan pengalaman serta kesaksian langsung hingga tanggal tulisan ini, 10 September 2018.

Jasa transportasi online, rokok, paket ayam goring cepat saji, kopi kekinian, dan lain-lain yang biasa saya gunakan belumlah mengalami kenaikan. Tentu bila dibandingkan dengan harga di tahun 2007 sudah naik. Namun ini bukanlah perbandingan Apple to Apple melainkan lebih mirip Apple to Evercoss M50.

Berbagai upaya tengah dilakukan pemerintahan Presiden Joko Widodo yang dibantu Ibu Sri Mulyani dan Pak Darmin Nasution. Ada juga imbauan para politisi (baik pro maupun oposisi) kepada masyarakat untuk berperan serta aktif membantu memperkuat nilai tukar Rupiah.

Pada dasarnya (setidaknya bagi saya pribadi) cukup mudah untuk dilakukan seperti misalnya: tidak jalan-jalan ke luar negeri (tentu. Apalagi karena cuti saya sudah habis hinnga November nanti), tidak membeli tas branded impor berharga ratusan juta Rupiah (bagi saya ini pun mudah karena saya mengetahui beberapa gerai toko di ITC Cililitan yang menjual produk tersebut dengan jumlah nol yang jauh lebih sedikit) serta membatalkan indent mobil-mobil mewah seperti Ferrari (tentu saya setuju apalagi di Jakarta sedang banyak sekali pembangunan sehingga untuk mencapai kecepatan 20 KM/jam di jam masuk dan pulang kantor adalah kemustahilan).

Demikianlah yang bisa saya bagikan. Semoga Rupiahn dapat kembali sehat seperti sedia kala. Salam.
https://kumparan.com/victor-kamang/k...65931828872123

Tiap 10 Tahun di Lubang yang Sama

Selasa, 04 September 2018 – 11:55 WIB

Oleh Dahlan Iskan

jpnn.com - Mengapa setiap 10 tahun terjadi krisis ekonomi? Persis. Setiap 10 tahun: 1988 (TMP), 1998 (Krismon), 2008 (Lehman Brothers/Bank Century) dan 2018 ini (belum tahu disebut apa).

Itu sama sekali bukan mistik. (Baca: Jangan Takut Beli Ikat Pinggang). Itu lebih seperti siklus sepuluh tahunan.

Tahun 1978 (ibunya Via Vallen sudah lahir atau belum ya?) ekonomi Indonesia mulai booming. Berkat kebijakan Orde Baru. Yang menggariskan ekonomi sebagai panglima. Pertumbuhan sebagai lokomotifnya.

Menggantikan kebijakan orde lamanya Bung Karno. Yang politik jadi panglima. Konfrontasi jadi agitasinya.
Sejak 1978 itu ekonomi meledak. Untuk ukuran negara miskin. Swasta berkembang pesat. Begitu juga modal asing.

Sumber dana dimudahkan. Deregulasi bank dilakukan. Pengusaha boleh mendirikan bank kapan saja. Hanya dengan modal Rp 10 miliar.

Semua grup punya bank sendiri. Memberi kredit ke perusahaannya sendiri. Dari dana deposito masyarakat. Ekonomi berkembang.

Bahan baku tidak cukup. Belum sempat disiapkan. Inflasi naik. Terlalu banyak uang beredar. Terlalu mudah dapat kredit. Ekonomi maju.

Bank berlomba memberi pinjaman. Umumnya kurang hati-hati. Bisa menerima tanah kuburan. Sebagai jaminan. Tanpa dicek bahwa itu tanah kuburan. Saking mudahnya.

Ekonomi seperti balon. Dindingnya tidak kukuh. Dipompa terus. Menggelembung besar. Meledak.

Dilakukanlah tight money policy (TMP). Pada tahun 1988. Suasananya seperti mobil yang lagi lari kencang. Tiba-tiba direm. Mendadak. Kelimpungan. Banyak perusahaan yang selip. Atau terguling. Masuk jurang.

Dua tahun lamanya ekonomi seperti berhenti. Tapi itulah hukum ekonomi. Yang harus dipahami.
Tahun ketiga ekonomi mulai jalan lagi. Pengusaha nakal kian berkurang. Bank kian hati-hati.
Tahun keempat ekonomi lancar lagi. Menggebu lagi.

Tahun kelima sudah pada lupa. Sudah sangat bergairah. Seperti tidak pernah terjadi TMP.
Mencari kredit mudah lagi. Bahkan banyak kredit murah dari luar negeri. Dengan bunga hanya 4 persen. Dalam dolar.
Hampir tiap minggu ada lembaga keuangan yang datang. Ke kantor saya. Dari Singapura. Atau Hong Kong. Atau Amerika. Menawarkan dana murah itu.

Siapa pun akan tergiur. Ibaratnya: ambil kreditnya, tukarkan ke rupiah, pinjamkan ke pengusaha lain, sudah untung. Gak usah kerja!

Saya tidak tergiur. Saya ini orang bodoh. Yang punya prinsip: cari uang itu harus dengan bekerja.
Banyak teman saya membodoh-bodohkan saya. Biar saja.

Ia sendiri mengambil pinjaman amat-amat besar. Untuk ekspansi ke segala penjuru: beli-beli hotel. Bangun lapangan golf. Beli real estate.
Ekonomi begitu panasnya.
Lantas: dooorrrr!
Krismon. Pada tahun 1998.
Ia susah sekali. Tidak mampu membayar pinjaman. Semua asetnya disita.

Ia susah sekali. Susahnya orang kaya raya. Tetap saja kaya raya. Begitulah.

Sampai tahun ketiga ekonomi masih berhenti. Di mana-mana orang pidato krismon.
Tahun kelima banyak yang sudah sembuh. Bank tinggal beberapa gelintir. Tapi sehat semua. Kredit bisa cair lagi. Ekonomi bergerak lagi.

Tahun keenam sudah banyak yang lupa lagi: apa itu krismon. Banyak perusahaan yang justru lebih kuat setelah krismon. Mereka belajar banyak. Dari krisis ke krisis.

Tahun 2007 ekonomi meledak-ledak lagi. Terutama di Amerika.

Inflasi sangat rendah. Bank menggelontorkan dana lagi. Banyak yang salah analisa: inflasi rendah saat itu dikira hasil efisiensi. Sehingga tidak bahaya. Kalau dana murah terus digelontorkan.

Maka terjadilah krisis tahun 2008. Indonesia selamat saat itu. Berkat bail-out. Untuk menyelamatkan perbankan. Yang sekarang –10 tahun kemudian– disalah-salahkan itu.

Sekarang baru disadari: inflasi rendah menjelang tahun 2008 itu bukan karena efisiensi.

Karena apa?
Karena membanjirnya barang murah. Ke seluruh pasar dunia. Yang asalnya dari Negeri Panda.
Kita belum tahu: apakah sepuluh tahun lagi krisis berulang.
Belum tentu. Tergantung kecerdikan tiap bangsa.
Sayang banyak yang lupa. Sehingga terulang lubang yang sama
SOURCE:
https://www.jpnn.com/news/tiap-10-ta...bang-yang-sama

Quote:


Indonesia Terancam Kena Krisis 10 Tahunan di 2018, Benarkah?
13/01/2018, 13:21 WIB


Krisis Ekonomi 2018

JawaPos.com - Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira meminta pemerintah Jokowi-JK mewaspadai adanya siklus krisis 10 tahunan yang sempat melanda Indonesia. Untuk itu, Indef meminta pemerintah berhati-hati agar krisis 10 tahunan ini tak terjadi.

Salah satunya, pemerintah harus memerhatikan fenomena anomali saat Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menyentuh angka 6.300 poin, sementara daya beli masyarakat lesu. Lalu, pertumbuhan aset di pasar finansial terus naik, tidak mencerminkan kondisi ekonomi riil Indonesia saat ini.

"Sepanjang 2017, dana asing yang keluar mencapai Rp 40 triliun. Rupiah juga mengalami gejolak diterpa sentimen global. Cadangan devisa naik turun diangka USD 120 sampai USD 130 miliar untuk stabilisasi nilai Rupiah yang terus terdepresiasi," kata Bhima saat dihubungi JawaPos.com, Sabtu (13/1).

Selain itu, lanjutnya, pemerintah pun harus memerhatikan utang negara yang terus meningkat selama 3 tahun terakhir. Menurut Bhima, kenaikan utang ini tidak diimbangi dengan realisasi penerimaan pajak.

Pada 2017, penerimaan pajak Indonesia hanya tumbuh 4,3 persen dan terjadi kekurangan penerimaan Rp 130 triliun dari target yang ada.

"Sementara di tahun 2018 dan 2019, utang jatuh tempo yang harus dibayar pemerintah Rp 810 triliun. Bila sampai gagal membayar Rp 810 triliun ini, akan jadi krisis sistemik," tambahnya.

Sementara itu, 40,9 persen Surat Utang Negara (SUN) dipegang oleh perusahaan asing. Hal Ini bisa menciptakan sudden capital outflowatau keluarnya dana asing secara tiba-tiba.

"Indonesia paling rentan terhadap keluarnya dana asing. Ada banyak tantangan eksternal yang harus dihadapi pemerintah di 2018 ini, seperti gejolak geopolitik, naiknya harga
minyak hingga kebijakan Amerika Serikat pada reformasi pajak, hingga kenaikan suku bunga The Fed hingga 4 kali tahun ini," tutupnya.
https://www.jawapos.com/ekonomi/13/0...-2018-benarkah

--------------------------------------

KRISIS EKONOMI:  1978 --> 1988 -> 1998 -> 2008 -> 2018?

KRISIS POLITIK : 1945 -> 1965 -> 1998 -> .... ??? ...

emoticon-Takut
Diubah oleh annisa2019 10-09-2018 14:23
0
2.3K
14
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan