source: http://www.koran-jakarta.com/rupiah-...tah-bertambah/
Jaga Rupiah, BI Telah Gelontorkan Rp 11,9Triliun
05/09/2018, 21:38 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com - Bank Indonesia melakukan berbagai langkah stabilisasi nilai tukar salah satunya dengan intervensi ganda di pasar valuta asing. Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengatakan, hingga hari Selasa (5/9/2018) BI telah mengeluarkan Rp 11,9 triliun baik di pasar valuta asing maupun membeli Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder.
"Sejak Kamis, Jumat, Senin, Rabu kita intervensi jumlahmya meningkat. Juga di pasar sekunder koordinasi dengan Kemenkeu (Kementerian Keuangan), pembelian SBN tidak hanya stabilkan pasar SBN tapi juga mendukung stabilitas nilai tukar, agar suhu badan kita turun. Hari Kamis kita beli Rp 3 triliun, Jumat Rp 4,1 triliun, Senin Rp 3 triliun, dan kemarin Rp 1,8 triliun," ujar dia ketika rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI, Rabu (5/9/2018). Dia menjelaskan, intervensi ganda merupakan salah satu bentuk langkah jangka pendek untuk stabilkan rupiah.
Selain itu, menurut Perry, hal terpenting dalam menjaga stabilitas rupiah adalah dengan menyeimbangkan tingkat depresiasi serta volatilitas nilai tukar tersebut. Sehingga nantinya, jika memang harus terdepresiasi terhadap dollar AS tidak akan terjadi secara tiba-tiba. "Yang paling penting adalah menjaga tingkat depresiasi agar tidak oversoothing sehingga kalau memang terjadi depresiasi tidak mendadak, tetapi secara gradual," ucap dia. Dia menyebutkan, Bank Indonesia telah melakukan berbagai upaya untuk mengawal ketat rupiah seperti meningkatkan suku bunga acuan, intervensi ganda di pasar valas, serta menawarkan swap dengam biaya yang lebih murah.
https://ekonomi.kompas.com/read/2018...-rp-119triliun
Gubernur BI: Kami Jaga Agar Depresiasi Rupiah Tidak Mendadak
05/09/2018, 20:10 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com - Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengatakan, pihaknya berusaha menjaga nilai tukar rupiah dengan berbagai upaya. Menurut dia, hal terpenting dalam menjaga stabilitas rupiah adalah dengan menyeimbangkan tingkat depresiasi serta volatilitas nilai tukar tersebut. Sehingga nantinya, jika memang harus terdepresiasi terhadap dollar AS tidak akan terjadi secara tiba-tiba.
"Yang paling penting adalah menjaga tingkat depresiasi agar tidak oversoothing sehingga kalau memang terjadi depresiasi tidak mendadak, tetapi secara gradual," ucap dia ketika rapat kerja dengan komisi XI DPR RI, Rabu (5/9/2018). Dia menyebutkan, Bank Indonesia telah melakukan berbagai upaya untuk mengawal ketat rupiah seperti meningkatkan suku bunga acuan, intervensi ganda di pasar valas, serta menawarkan swap dengam biaya yang lebih murah.
"Padahal sebenarnya kami tidak suka menaikkan suku bunga karena inflasi kita masih rendah," lanjut dia. Adapun nilai tukar rupiah yang saat ini sudah hampir mendekati Rp 15.000, menurut dia sudah hampir menguat beberapa waktu lalu. Sebab, berbagai bauran kebijakan yang dilakukan oleh BI mulai bekerja dan diterima oleh pasar. Namun, banyak skenario tak terduga yang berada di luar kendali BI seperti konflik antara Turki dengan Amerika Serikat, ataupun krisis yang melanda Argentina.
"Pasar sempat stabil, begitu juga rupiah bahkan menguat, capital inflow juga masuk, baru beberapa minggu boom Turki, Trump dengan Erdogan. Kemudian krisis Argentina. Skenario sangat dinamis," ujar dia. Sebagai informasi, di pasarspot Bloomberg saat nilai tukar rupiah tergadap dollar AS sebesar Rp 14.938 per dollar AS. Adapun di kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) hari ini, nilai tukar rupiah terhadap dollar AS sebesar Rp 14.927.
https://ekonomi.kompas.com/read/2018...tidak-mendadak
Apakah arahan dan kebijakan BI sebelumnya ini, yang ikut andil bikin Rupiah anjlog?
Quote:
BI: Tak Ada Risiko Rupiah Melemah ke Rp 15.000 per Dollar
14/03/2018, 17:35 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com - Kepala Departemen Pengelolaan Moneter Bank Indonesia (BI) Doddy Zulverdi menegaskan, pihaknya tidak melihat adanya potensi nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat (AS) terus melemah hingga mencapai Rp 15.000 per dollar AS. Menurut dia, dari sisi domestik, kondisi ekonomi makro masih menopang nilai tukar rupiah terhadap dollar AS.
"Tidak melihat risiko ke arah sana, dari sisi nilai tukar. Dengan kondisi fundamental sekarang, berapapun angka psikologis yang muncul, secara fundamental, tidak akan terjadi," ujar Doddy saat konferensi pers di Kantor Pusat Bank Indonesia, Jakarta, Rabu (14/3/2018). Dia mengatakan, saat ini nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat (AS) mulai menunjukan tren penguatan akibat sentimen global mulai berkurang.
"Pagi ini kembali menguat Rp 13.730 sekitar itu kisarannya, tentu kami berupaya agar tren positif ini terus bertahan sesuai fundamental," ungkap Doddy.
Dia menilai, fluktuasi nilai tukar rupiah yang terjadi belakangan ini lebih dipengaruhi oleh faktor eksternal, mulai dari Presiden AS, Donald Trump, yang mengeluarkan kebijakan tarif bea masuk baja dan alumunium. Kemudian, ekspektasi pasar global yang memprediksi kenaikan suku bunga bank sentral AS The Fed juga mendorong pelemahan nilai tukar rupiah. Akan tetapi, saat ini berbagai sentimen global tersebut mulai mereda dan membuat pelemahan nilai tukar rupiah cenderung menguat.
Terlebih didukung adanya perkembangan dinamika politik dan ekonomi di AS, seperti rencana Presiden AS, Donald Trump yang akan bertemu dengan Pemimpin Tertinggi Republik Demokratik Rakyat Korea Utara Kim Jong-un. "Kalau ini terjadi, akan positif dan akan membantu mengurangi tekanan rupiah," ujar dia. Kendati demikian, tren penguatan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS saat ini masih dianggap belum sesuai dengan kondisi fundamental dalam negeri.
"Level sekarang itu menurut kami belum sesuai fundamental, mudah-mudahan dapat segera kembali yang sesuai dengan fundamental kita," ucapnya. Sebelumnya, Lembaga rating Standard and Poor’s (S&P) mengatakan, pelemahan rupiah ke level Rp 15.000 per dollar Amerika Serikat (AS) perlu diwaspadai. Mengutip Kontan.co.id, Selasa (13/3/2018), Senior Director Corporate Ratings S&P, Xavier Jean mengatakan, rupiah perlu diawasi jika mencapai level ini.
Dia menambahkan, depresiasi bisa berlangsung cepat. Dia mencontohkan pelemahan nilai tukar rupiah pada tahun 2015. Saat itu, rupiah melemah dari Rp 12.000 ke Rp 15.000 hanya dalam hitungan beberapa bulan. "Kami melihat, level ini akan menimbulkan tekanan finansial bagi banyak perusahaan," kata dia pada saat konferensi pers, Selasa (13/3/2018).
https://ekonomi.kompas.com/read/2018...-per-dollar-as
Rupiah Anjlok Pasca-BI Naikkan Suku Bunga,
Begini Jawaban Sri Mulyani
Jum'at 18 Mei 2018 13:30 WIB
JAKARTA - Kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) menjadi 4,5% belum berdampak apapun pada nilai tukar Rupiah. Malah mata uang Garuda terus melemah di hadapan dolar Amerika Serikat (AS) pada level Rp14.100 per USD.
Menteri Keuangan Sri Mulyani menilai, pemerintah dan BI terus mencermati perkembangan yang terjadi dengan mata uang dolar Amerika Serikat. Pasalnya arah normalisasi kebijakan moneter di Amerika Serikat yang mendorong kenaikan suku bunga oleh The Federal Reserve.
"Kita bersama BI terus cermati terutama yang memang akan terus mengalami pergerakan di dalam konteks normalisasi kebijakan di Amerika," tuturnya, di Gedung DPR, Jakarta, Jumat (18/5/2018).
Dia melanjutkan, pemerintah dalam hal ini akan terus menjaga pondasi ekonomi Indonesia baik dari sisi APBN. Di mana hasil kinerja sampai pertengahan Mei menunjukan APBN baik dari sisi pendapatan, perpajakan dan PNBP meningkat sangat signifikan serta belanja negara tetap terjaga dan defisit terus dijaga sesuai UU APBN.
Dalam artian itu, lanjut mantan Direktur Bank Dunia, maka Indonesia bisa memberikan kepastian kepada masyarakat dan dunia dengan ekonomi yang kuat. Di sisi lain, tentu BI juga telah memiliki bauran kebijakan yang telah disiapkan untuk menjaga stabilitas.
"Jadi kami bersama-sama akan menjaga perekonomian Indonesia karena ketidakpastian berasal dari policy berasal dari Amerika baik itu ekonomi maupun di bidang geopolitik pasti mempengaruhi harga minyak, suku bunga global, maupun mata uang," tuturnya.
Menurutnya, penguatan dolar AS tidak akan selalu menguat. Hanya saja kapan waktunya sulit untuk diprediksi.
Oleh karena itu, pemerintah dan BI komparasi membuat posisi perekonomian dan Rupiah terus kompetitif sehingga masyarakat, dunia usaha bisa melakukan aktivitas dan melakukan adjustment namun tidak terjadi apa yang disebut disrupsi atau dalam hal ini suatu gejolak. "Itu yang kita lakukan," tandasnya.
Asal tahu saja, nilai tukar Rupiah pagi ini kembali menembus level Rp14.100 per USD. Melansir Bloomberg Dollar Index, Jumat (18/5/2018), Rupiah pada perdagangan spot exchange melemah 47 poin atau 0,33% ke level Rp14.104 per USD. Rupiah hari ini bergerak di kisaran Rp14.053-Rp14.104 per USD.
https://economy.okezone.com/read/2018/05/18/278/1899813/rupiah-anjlok-pasca-bi-naikkan-suku-bunga-begini-jawaban-sri-mulyani
Quote:
Tahukah Anda, Bank Indonesia Milik Siapa?
27 Agustus 2016 08:07 WIB
Bank sentral adalah perusahaan swasta yang diberi hak monopoli mencetak uang. BI milik siapa?
KEBANYAKAN orang, warga negara di hampir semua negara nasional di dunia ini, tidak memahami bahwa mata uang kertas yang mereka pakai di negaranya bukanlah terbitan pemerintah setempat. Hak monopoli penerbitan uang kertas diberikan kepada perusahan-perusahaan swasta yang menamakan dirinya sebagai “bank sentral”.Sebelum ada bank sentral sejumlah bank swasta menerbitkan nota bank yang berlaku sebagai alat tukar tersebut. Dimulai di Inggris, dengan kelahiran Bank of England, hak menerbitkan uang kertas itu mulai diberikan hanya kepada satu pihak saja. *Memang, kebanyakan bank sentral itu melabeli dirinya dengan nama yang berbau-bau nasionalisme*, sesuai negara masing-masing.
Bank Sentral Milik Keluarga-Keluarga
Marilah kita ambil bank sentral paling berpengaruh saat ini, yaitu Federal Reserve AS, yang menerbitkan dolar AS. Saham terbesar Federal Reserve of America ni dimiliki oleh dua bank besar, yaitu Citibank (15%) dan Chase Manhattan (14%). Sisanya dibagi oleh 25 bank komersial lainnya, antara lain Chemical Bank (8%), Morgan Guaranty Trust (9%) , Manufacturers Hannover (7%), dsb. Sampai pada tahun 1983 sebanyak 66% dari total saham Federal Reserve AS ini, setara dengan 7.005.700 saham, dikuasai hanya oleh 10 bank komersial, sisanya 44% dibagi oleh 17 bank lainnya.
Bahkan, kalau dilihat dengan lebih sederhana lagi, 53% saham Federal Reserve AS dimilik hanya oleh lima besar yang disebutkan di atas. Bahkan, kalau diperhatikan benar, saham yang menentukan pada Federal Reserve Bank of New York, yang menetapkan tingkat dan skala operasinya secara keseluruhan berada di bawah pengaruh bank-bank yang *secara langsung dikontrol oleh ‘London Connection’*, yaitu, Bank of England, yang *dikuasai oleh keluarga Rothschild*.
Sama halnya dengan bank-bank sentral di berbagai negara lain, namanya berbau nasionalis, tapi pemilikannya adalah privat. Bank of England, sudah disebutkan sebelumnya, bukan milik rakyat Inggris tapi para bankir swasta, yang sejak 1825 sangat kuat di bawah pengaruh satu pihak saja, keluarga Rothschild. Pengambilalihan oleh keluarga ini terjadi *setelah mereka mem-bail out utang* negara saat terjadi krisis di Inggris. Deutsche Bank bukanlah milik rakyat Jerman tapi dikuasai oleh keluarga Siemens dan Ludwig Bumberger.
Sanghai and Hong Kong Bank bukan milik warga Hong Kong tapi di bawah kontrol Ernest Cassel. Sama halnya dengan National Bank of Marocco dan National Bank of Egypt didirikan dan dikuasai oleh Cassel yang sama, bukan milik kaum Muslim Maroko atau Mesir. Imperial Ottoman Bank bukan milik rakyat Turki melainkan dikendalikan oleh Pereire Bersaudara, Credit Mobilier, dari Perancis. Demikian seterusnya.
Jadi, ‘Bank-bank Nasional’ seperti ini, sebenarnya, adalah sindikat keuangan inter-nasional, modal ‘antar-bangsa’ yang secara riel tidak ada dalam bentuk aset nyata (specie) apa pun, kecuali dalam bentuk angka-angka nominal di atas kertas atau byte yang berkedap-kedip di permukaan layar komputer. Bank-bank ini sebagian besar dimiliki oleh keluarga-keluarga yang sebagian sudah disebutkan di atas.
Utang-utang yang mereka berikan kepada pemerintahan suatu negara tidak pernah diminta oleh rakyat negara tempat mereka beroperasi tapi dibuat oleh pemerintahan demokratis yang mengatasnamakan warga negara. Mereka, para bankir ini, adalah orang-orang yang tidak dipilih, tak punya loyalitas kebangsaan, dan tidak akuntabel, tetapi mengendalikan kebijakan paling mendasar suatu negara. *Dan, setiap kali mereka menciptakan kredit, setiap kali itu pula mereka mencetak uang baru dari byte komputer belaka*.
Bank Indonesia Milik Siapa?
Kalau bank-bank sentral di negeri-negeri lain milik keluarga tertentu yang tidak memiliki loyalitas kebangsaan, siapakah yang memiliki Bank Indonesia?
Mulai 1999, Bank Indonesia, yang semula adalah De Javasche Bank itu, telah sama sekali dilepaskan dari Republik Indonesia. Gubernur BI bukan lagi bagian dari Kabinet RI. Ia tidak lagi harus akuntabel kepada rakyat RI.
Mulai 2011 melalui UU Mata Uang (kalau disahkan) Bank Indonesia dilegalisir sebagai pemegang hak monopoli menerbitkan uang kertas di Indonesia. Dan bersamaan dengan ini dilakukan kriminalisasi atas pemakaian mata uang lain sebagai alat tukar di Republik Indonesia. Dengan kemungkinan pengecualian atas mata uang kertas tertentu, yang bisa kita duga maksudnya, tentu saja adalah dolar AS.
Oleh: Zaim Saidi. Penulis adalah Direktur Wakala Induk Nusantara
https://www.eramuslim.com/berita/tah...m#.W4_9KegzbIU
--------------------------------
Lalu siapayang mengawasi Bank Indonesia selama ini?