

TS
perak.klorida
[BUKU] MERANTAU KE DELI : PRAHARA RUMAH TANGGA SEBAB ISTRI MUDA
![[BUKU] MERANTAU KE DELI : PRAHARA RUMAH TANGGA SEBAB ISTRI MUDA](https://s.kaskus.id/images/2018/08/22/6460762_20180822110219.jpg)
Pengarang : Buya Hamka
Terbit Pertama : 1941
Genre : Drama, Melayu Klasik
Rating : 4.3/5 (Goodreads)
Sebagian besar masyarakat Indonesia mengenal Buya Hamka sebagai cendekiawan muslim terkenal. Tafsir al-azhar menjadi karyanya yang paling fenomenal di kalangan para ulama, selain menulis tafsir beliau juga mengarang sastra-sastra romansa yang mengharu biru.
Merantau ke Deli merupakan salah satu sastra karya Buya Hamka yang sangat menarik. Karya beliau seperti Tenggelamnya Kapal Van der Wijk memang lebih banyak dikenal oleh para pembaca, tetapi diantara dua kisah ini memiliki suatu kesamaan yakni sindiran kepada adat pernikahan Minangkabau yang cenderung kurang ramah kepada orang yang berlainan bangsa. Dalam cerita Tenggelamnya Kapal Van der Wijk, Lamaran Zainuddin kepada Hayati ditentang keras oleh ninik mamak di Batipuh hanya karena ia dianggap orang Mengkasar, dan di cerita ini pun, Poniem yang merupakan istri Leman, kurang disambut sebagai famili oleh kaum kerabat Leman hanya karena ia wanita Jawa walaupun Poniem sendiri memiliki budi pekerti yang sopan dan disenangi oleh banyak orang.
Cerita ini mengambil setting kota Deli sebagai permulaan kisah, dimana Leman yang merupakan pemuda Minangkabau jatuh hati kepada Poniem, seorang wanita kuli kontrak perkebunan. Pada akhirnya, Poniem dan Leman sepakat untuk menikah dan pergi meninggalkan Deli. Kehidupan rumah tangga mereka pada awalnya tidak selalu berjalan mulus, masalah sudut pandang pertimbangan hidup orang Minangkabau dan orang Jawa menjadi kendala di awal pernikahan mereka. Bagi adat orang Minangkabau, istri tidak sepenuhnya menjadi kuasa suaminya, kekuasaan menjadi hak ninik mamaknya. Jika seorang istri merasa jengah lantaran ditinggal rantau oleh suami maka ada hak bagi ninik mamaknya untuk menjemputnya. Segala barang-barang rumah bukanlah kepunyaan suami tetapi menjadi sepenuhnya kepunyaan istri dan segala laba perniagaan pun juga dibayar kepada istri. Disini perempuan-perempuan Minangkabau memiliki peran yang superior dibanding laki-laki.
Namun dalam pandangan Poniem menekankan bahwa prinsip hidup suami istri adalah hidup berkongsi, bersama-sama mencencang dan melatih, sama-sama berusaha. Tidak ada memandang perbedaan hak di dalam rumah tangga. Segala ketergantungan lahir batin istri adalah suaminya bukan ninik mamak atau kaum kerabat.
Pola pikir Leman yang masih terbelenggu dengan pengaruh adat akhirnya melunak dengan keyakinan Poniem menyerahkan simpanan emasnya untuk modal berniaga. Dari modal ini, suami istri ini pun menjadi pedagang kaya raya. Kejayaan mereka ini sedikit terusik karena mempersalahkan kejawaan Poniem oleh bisikan-bisikan kerabat Leman. Bumbu-bumbu petaka muncul tatkala sehabis pulang dari kampung, dimana ia disarankan untuk menikah lagi dengan wanita "yang sesuku", ditambah lagi dengan keadaan Poniem yang belum mendapat seorang anak. Godaan Leman untuk menikah lagi juga begitu besar karena sosok Mariatun yang jelita.
Walaupun Buya Hamka merupakan orang Minangkabau akan tetapi beliau tidak segan-segan menyindir adatnya yang begitu memberatkan masalah harta pusaka. Sindiran-sindiran Buya Hamka itu dilontarkan melalui kemarahan Poniem kepada Mariatun dalam cerita. Pembaca akan dibuat geram dengan sikap Mariatun yang semena-mena mengklaim harta benda Leman menjadi miliknya seorang (menurut hukum adat) padahal kekayaan yang didapat Leman merupakan modal dari Poniem sendiri dan malah Poniem sendiri dianggap tidak memiliki hak di dalam harta Leman. Disini saya begitu kagum dengan keteguhan hati Poniem yang rela dimadu. Perbandingan Mariatun dan Poniem menggambarkan kondisi yang kontras sekaligus ironi dimana Poniem memiliki kematangan mental dan telaten dalam mengurus rumah tangga sedangkan Mariatun tidak lebih hanyalah anak gadis labil yang tidak paham tentang pernikahan sesungguhnya. Namun, Mariatun justru lebih dibela karena membawa "gen" Minang. Saya sendiri tidak menghakimi budaya Minangkabau karena mungkin saja Buya Hamka menyikapi adatnya pada zaman demikian padahal di zaman sekarang, perihal pertimbangan adat sudah tidak lagi dipermasalahkan. Sebagai seorang ulama, Buya Hamka mencoba untuk menggebrak pemikiran feodalisme dan menggembalikan pemikiran yang Islami karena sebagaimana kita ketahui budaya Minangkabau mempunyai slogan "Adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah". Sastra ini merupakan karya terbaik Buya Hamka sebagai seorang Penulis.
Diubah oleh perak.klorida 22-08-2018 23:18


tien212700 memberi reputasi
1
1.1K
1


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan