- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Ketika Inkumben Menoleh ke Kanan


TS
silents.
Ketika Inkumben Menoleh ke Kanan
BERUPAYA melanjutkan kekuasaannya lima tahun lagi, Joko Widodo kini banyak menoleh ke "kanan". Ia menggunakan kalkulasi Islam politik dalam berbagai keputusan, termasuk dalam menentukan calon wakil presiden. Kecenderungan ini memunculkan potensi bias dalam pengambilan kebijakan publik oleh pemerintah yang dia pimpin.
Sang inkumben mengunjungi banyak pondok pesantren menjelang tahun pemilihan. Ia berdalih ingin tahu lebih banyak tentang pesantren, yang menurut dia penting dalam pembangunan karakter bangsa. Ia juga menganggap ekonomi pesantren perlu dikembangkan.
Jokowi juga terkesan tengah merangkul kelompok yang sama. Pada Mei lalu, ia memerintahkan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basoeki Hadimoeljono membangun rumah susun di kompleks Pondok Pesantren Prof Dr Hamka di Padang. Bukan kebetulan, Sumatera Barat adalah satu dari lima provinsi tempat Jokowi kalah oleh Prabowo Subianto pada pemilihan presiden 2014-selain Jawa Barat, Banten, Gorontalo, dan Nusa Tenggara Barat.
Tak bisa dibantah, sesuai dengan komposisi demografi Indonesia, pemilih beragama Islam merupakan ceruk terbesar dalam setiap pemilihan umum. Tak mengherankan jika mereka yang hendak memenangi pemilihan presiden mencurahkan banyak sumber daya buat menaklukkan pemilih Islam.
Meski begitu, sejarah menunjukkan "suara Islam" sebenarnya tak pernah tunggal dalam konteks politik. Anggota Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, yang merupakan organisasi kemasyarakatan Islam terbesar, hampir tak pernah memiliki pilihan politik yang sama. Partai-partai pengusung bendera Islam-dengan derajat ideologis berbeda-beda-pun tak kunjung memperoleh suara signifikan dalam setiap pemilihan umum pasca-reformasi 1998.
Sejumlah penelitian menunjukkan Islam ideologis tak sepenuhnya laku di Indonesia. Orang boleh jadi makin taat beribadah, tapi kehadiran mereka tidak serta-merta mendongkrak suara partai-partai "hijau". Karena itu, mencurahkan perhatian pada pemilih muslim tertentu belum tentu efektif mendongkrak suara Jokowi.
Boleh jadi, kekhawatiran Jokowi terhadap "kekuatan Islam" bersumber dari pengalaman pemilihan Gubernur DKI Jakarta yang keras tahun lalu. Di sini, kekuatan Islam konservatif terasa menguat. Mereka mengerahkan ratusan ribu orang ke jalan untuk menolak gubernur inkumben Basuki Tjahaja Purnama-yang ditengarai disokong Jokowi. Namun kekuatan ini pun sebenarnya segera cair. Ketika kelompok ini berniat membentuk partai, kelompok penggerak demonstrasi pada 2 Desember 2016 yang menamai diri Alumni 212 segera cerai-berai.
Jokowi tentu saja bukan Basuki-gubernur yang terperosok dalam polemik penghinaan agama lewat pidatonya di Kepulauan Seribu. Tak ada pula data yang meyakinkan yang menyebutkan Jokowi tak disokong umat Islam. Sebagian besar dari 52 persen pemilih Jokowi-elektabilitas sang petahana dalam survei terakhir-jelas beragama Islam. Tapi pasca-demonstrasi 212, "hantu" tak disukai pemilih muslim itu telanjur dipercaya Jokowi.
Karena itu, sungguh menyedihkan jika Presiden Jokowi kini berfokus pada usaha menaklukkan kelompok yang selama ini dipercaya tidak mendukungnya tersebut. Berbagai upaya telah diarahkan untuk keperluan ini: sejumlah kebijakan kini diambil dengan berorientasi pada pencitraan demi konstituen Islam. Kini, dalam proses penentuan calon wakil presiden oleh Jokowi dan partai koalisinya, faktor Islam pun dianggap menjadi sangat penting.
Sejumlah informasi menyebutkan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia Ma’ruf Amin masuk daftar pendek calon wakil presiden, bersama mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud Md. Jika informasi itu benar, terlihat betapa Jokowi lebih mementingkan usaha menaklukkan "pemilih Islam" daripada mencari sekondan yang cakap untuk menjawab tantangan zaman. Ia lebih mengutamakan pertimbangan elektoral dibandingkan dengan kepentingan masyarakat banyak.
Tahun-tahun ke depan jelas bukan masa yang mudah bagi presiden terpilih. Tekanan ekonomi akibat perkembangan global-termasuk akibat perang dagang dua raksasa, Cina dan Amerika Serikat-perlu direspons dengan cepat dan lihai. Soal kurs rupiah yang mencapai titik terendah sepanjang sejarah perlu dijawab dengan kebijakan tepat.
Dalam situasi normal, peran wakil presiden memang kurang signifikan. Pengisi jabatan ini lebih banyak berfungsi pada seremonial. Namun, dalam situasi krisis, wakil presiden sebenarnya juga bisa menjadi sekondan bagi RI-1 untuk mengatasi persoalan. Karena itu, Jokowi, yang memiliki peluang kembali terpilih relatif besar dengan posisinya sebagai inkumben, perlu menggandeng pendamping yang cakap buat mengatasi berbagai hambatan ekonomi dalam jangka pendek. Jokowi semestinya tidak semata-mata menggunakan pendekatan elektoral, baik dalam membuat kebijakan publik maupun menentukan calon wakil presiden.
https://kolom.tempo.co/read/1113794/ketika-inkumben-menoleh-ke-kanan?KolomUtama&campaign=KolomUtama_Click_4
Membangun pesantren, mendekati umat islam dan ulama, dianggap pencitraan. Ntar klo dicuekin, dianggap musuh islam. Kan repot...
Si penulis terlalu idealis dan tidak realistis. Dia tidak sadar bahwa di negara seperti AS pun, pertimbangan elektabilitas dan akseptabilitas pun tetap menjadi pertimbangan memilih cawapres.
Itulah politik. Jokowi bisa saja memilih menteri Basuki, Luhut, atau bahkan Ahok jika berdasarkan kompetensi mengatasi persoalan bangsa ke depan. Tapi tentu hal itu akan menggerus suara Jokowi sekaligus menambah amunisi oposisi.
Sang inkumben mengunjungi banyak pondok pesantren menjelang tahun pemilihan. Ia berdalih ingin tahu lebih banyak tentang pesantren, yang menurut dia penting dalam pembangunan karakter bangsa. Ia juga menganggap ekonomi pesantren perlu dikembangkan.
Jokowi juga terkesan tengah merangkul kelompok yang sama. Pada Mei lalu, ia memerintahkan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basoeki Hadimoeljono membangun rumah susun di kompleks Pondok Pesantren Prof Dr Hamka di Padang. Bukan kebetulan, Sumatera Barat adalah satu dari lima provinsi tempat Jokowi kalah oleh Prabowo Subianto pada pemilihan presiden 2014-selain Jawa Barat, Banten, Gorontalo, dan Nusa Tenggara Barat.
Tak bisa dibantah, sesuai dengan komposisi demografi Indonesia, pemilih beragama Islam merupakan ceruk terbesar dalam setiap pemilihan umum. Tak mengherankan jika mereka yang hendak memenangi pemilihan presiden mencurahkan banyak sumber daya buat menaklukkan pemilih Islam.
Meski begitu, sejarah menunjukkan "suara Islam" sebenarnya tak pernah tunggal dalam konteks politik. Anggota Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, yang merupakan organisasi kemasyarakatan Islam terbesar, hampir tak pernah memiliki pilihan politik yang sama. Partai-partai pengusung bendera Islam-dengan derajat ideologis berbeda-beda-pun tak kunjung memperoleh suara signifikan dalam setiap pemilihan umum pasca-reformasi 1998.
Sejumlah penelitian menunjukkan Islam ideologis tak sepenuhnya laku di Indonesia. Orang boleh jadi makin taat beribadah, tapi kehadiran mereka tidak serta-merta mendongkrak suara partai-partai "hijau". Karena itu, mencurahkan perhatian pada pemilih muslim tertentu belum tentu efektif mendongkrak suara Jokowi.
Boleh jadi, kekhawatiran Jokowi terhadap "kekuatan Islam" bersumber dari pengalaman pemilihan Gubernur DKI Jakarta yang keras tahun lalu. Di sini, kekuatan Islam konservatif terasa menguat. Mereka mengerahkan ratusan ribu orang ke jalan untuk menolak gubernur inkumben Basuki Tjahaja Purnama-yang ditengarai disokong Jokowi. Namun kekuatan ini pun sebenarnya segera cair. Ketika kelompok ini berniat membentuk partai, kelompok penggerak demonstrasi pada 2 Desember 2016 yang menamai diri Alumni 212 segera cerai-berai.
Jokowi tentu saja bukan Basuki-gubernur yang terperosok dalam polemik penghinaan agama lewat pidatonya di Kepulauan Seribu. Tak ada pula data yang meyakinkan yang menyebutkan Jokowi tak disokong umat Islam. Sebagian besar dari 52 persen pemilih Jokowi-elektabilitas sang petahana dalam survei terakhir-jelas beragama Islam. Tapi pasca-demonstrasi 212, "hantu" tak disukai pemilih muslim itu telanjur dipercaya Jokowi.
Karena itu, sungguh menyedihkan jika Presiden Jokowi kini berfokus pada usaha menaklukkan kelompok yang selama ini dipercaya tidak mendukungnya tersebut. Berbagai upaya telah diarahkan untuk keperluan ini: sejumlah kebijakan kini diambil dengan berorientasi pada pencitraan demi konstituen Islam. Kini, dalam proses penentuan calon wakil presiden oleh Jokowi dan partai koalisinya, faktor Islam pun dianggap menjadi sangat penting.
Sejumlah informasi menyebutkan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia Ma’ruf Amin masuk daftar pendek calon wakil presiden, bersama mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud Md. Jika informasi itu benar, terlihat betapa Jokowi lebih mementingkan usaha menaklukkan "pemilih Islam" daripada mencari sekondan yang cakap untuk menjawab tantangan zaman. Ia lebih mengutamakan pertimbangan elektoral dibandingkan dengan kepentingan masyarakat banyak.
Tahun-tahun ke depan jelas bukan masa yang mudah bagi presiden terpilih. Tekanan ekonomi akibat perkembangan global-termasuk akibat perang dagang dua raksasa, Cina dan Amerika Serikat-perlu direspons dengan cepat dan lihai. Soal kurs rupiah yang mencapai titik terendah sepanjang sejarah perlu dijawab dengan kebijakan tepat.
Dalam situasi normal, peran wakil presiden memang kurang signifikan. Pengisi jabatan ini lebih banyak berfungsi pada seremonial. Namun, dalam situasi krisis, wakil presiden sebenarnya juga bisa menjadi sekondan bagi RI-1 untuk mengatasi persoalan. Karena itu, Jokowi, yang memiliki peluang kembali terpilih relatif besar dengan posisinya sebagai inkumben, perlu menggandeng pendamping yang cakap buat mengatasi berbagai hambatan ekonomi dalam jangka pendek. Jokowi semestinya tidak semata-mata menggunakan pendekatan elektoral, baik dalam membuat kebijakan publik maupun menentukan calon wakil presiden.
https://kolom.tempo.co/read/1113794/ketika-inkumben-menoleh-ke-kanan?KolomUtama&campaign=KolomUtama_Click_4
Membangun pesantren, mendekati umat islam dan ulama, dianggap pencitraan. Ntar klo dicuekin, dianggap musuh islam. Kan repot...
Si penulis terlalu idealis dan tidak realistis. Dia tidak sadar bahwa di negara seperti AS pun, pertimbangan elektabilitas dan akseptabilitas pun tetap menjadi pertimbangan memilih cawapres.
Itulah politik. Jokowi bisa saja memilih menteri Basuki, Luhut, atau bahkan Ahok jika berdasarkan kompetensi mengatasi persoalan bangsa ke depan. Tapi tentu hal itu akan menggerus suara Jokowi sekaligus menambah amunisi oposisi.
0
6.4K
55


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan