- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
LAGA RASA : STORIES OF THE KITCHEN WARRIORS


TS
reloaded0101
LAGA RASA : STORIES OF THE KITCHEN WARRIORS
LAGA RASA: STORIES OF THE KITCHEN WARRIORS
BAB 1 THE FALLEN
Spoiler for :
Sebelum keluar rumah, Zeno berhenti sebentar di depan pintu dan berbalik. Ia memandangi tumpukan meja kursi berselimut kain putih, lantai kayu yang baru dipelnya fajar tadi, paku-paku tempat foto-foto dan hiasan dinding semula dipajang dan untuk terakhir kalinya ia menengok dapur dibelakang meja kasir yang gelap-lampu neonnya sudah diambil kemarin untuk ditempatkan di kost Zeno yang baru. Ada rasa lengang yang sedih terpancar dari tempat remang yang dulu terang itu. Ia masih ingat bagaimana panas api kompor terpapar di kulitnya hampir sepuluh jam per hari, berapa ratus kali ia harus melihat catatan menu pesanan pengunjung yang dibawa Mbak Di sang waitress dan bagaimana gendang telinganya sudah terbiasa mendengar suara mesin kasir kuno yang membunyikan bel sebelum tempat uangya terbuka ketika Mbak Astri, Mas Aldo atau ayahnya memasukkan dan mengeluarkan uang.
Dulu kedai kecil di pojok jalan itu ramai bukan main. Menunya biasa saja, aneka masakan tradisional Indonesia yang resepnya diciptakan dan komposisi bmbunya diracik sendiri oleh Sang ayah. Tak banyak yang Zeno ketahui tentang resep hidangan-hidangan yang sukses menggoyang lidah konsumen tersebut. Ia sendiri bersama sepupu-sepupunya hanya menjadi asisten saja di dapur. Resepnya rahasia, tempat Sang ayah meletakkannyapun rahasia juga. Awalnya hal ini biasa-biasa saja dan tidak berpengaruh pada aktivitas operasional kedai secara umum, hingga tiga bulan yang lalu. Hari ketika Pak Dirga, ayah Zeno meninggal mendadak akibat serangan jantung pada usia 58 tahun.
Seminggu setelah Pak Dirga wafat, Zeno membuka kembali warungnya dan inilah komentar para pengunjung merangkap warganet di media sosial ofisial kedai itu.
“Katanya enak tapi aku coba sendiri kok tidak ya.”
“Benar, Karinya jadi hambar.”
“Sotonya malah rasanya jadi terlalu tajam.”
“Dulu enak sekarang tidak.”
“Kok bisa begitu?”
“Dulu yang masak ayahnya, sekarang anaknya.”
“Oh yang masak bocah? kid jaman now anj*ng!”
“Iya kalau gak bisa kayak bapaknya mending tutup saja!”
“Pokoknya gak recomend!”
“Iya, makan di tempat lain saja.”
Zeno membuka pintu lalu menguncinya dari luar. Saat itulah seseorang menyapanya. Seorang pemuda berkacamata dengan tampilan yang intelek dan terpelajar.
“Mau kemana Ze?”
“Ke kelurahan.”
“Bareng saja pakai motorku.”
“Memangnya, Mas Aldo hari ini nggak narik?”
Semenjak Zeno memutuskan untuk menutup kedai tiga minggu lalu, kakak sepupunya ini memang beralih profesi menjadi mitra ojek online. Aldo menjawab dengan pertanyaan.
“Memangnya kamu hari ini nggak mbanci?”
Semenjak memutuskan untuk menutup kedai tiga minggu lalu, adik sepupunya ini memang beralih profesi menjadi pengamen di lampu merah. Supaya unik dan dapat uang banyak Zeno ber-cosplay mengenakan dandanan wanita dan make-up aneh seperti para komedian yang dulu sering ia tonton di tv.
“Sstt jangan keras-keras,malu tahu.” Jawb Zeno sambil melotot dan mengacungkan telunjuk di depan bibir.
“Memangnya mau apa ke kelurahan?”
“Ngurus surat ahli waris. Kalau Mas Aldo sendiri?”
“Ikut lomba”
“Lomba apa?”
“Lomba masak.”
Sukseskan gerakan diversifikasi pangan. Ikuti lomba memasak aneka hidangan pengganti nasi.
Demikian bunyi spanduk di balai desa samping kantor warna putih tersebut.
“Pendaftarannya masih buka?” Tanya Zeno
Aldo terdiam sejenak lalu membetulkan kacamatanya dengan jari sebelum akhirnya balik bertanya
“Masih. Mau ikut juga?”
“Bukannya mau nantang Mas Aldo, tapi sumpah aku benar-benar butuh uang.”
“Mau nantang juga tidak apa-apa. Justru itu yang kuinginkan Ze.”
“Sama kalau begitu. Aku juga sudah lama penasaran, kalau kita duel yang menang siapa.”
Zeno,Aldo dan para peserta lain memasuki dapur tempat pertandingan diadakan. Setelah itu masuk tiga orang juri dan MC perempuan yang cantiknya cukupan saja. Sambil memegang kertas dari panitia pembawa acara itu mengumumkan.
“Selamat datang di lomba masak diversifikasi pangan. Untuk menyingkat waktu langsung saja kami umumkan, tema hari ini adalah hidangan pengganti nasi berbahan dasar....singkong.”
Singkong? Zeno terdiam sejenak sambil memejamkan mata. Cukup sulit karena ia jarang masak singkong. Berbeda 180 derajat dari sepupunya, Aldo langsung mengambil singkong,bawang,garam,kaldu,keju dan air dalam baskom sambil memanaskan minyak di penggorengan.
Dibalik kilatan cahaya dari lensa kacamatanya, sepasang indera penglihatan Aldo mengamati keseragaman ukuran dari singkong yang ia potong-potong dengan sangat cekatan. Ia goreng singkong-singkong itu sebentar setengah matang lalu dicelupkannya ke dalam air yang sudah dicampur bumbu-bumbu.
“Singkongnya mekar di dalam air?” Penonton berdecak kagum.
“Itu bukan air biasa.”
“Itu...itu....air es.”
Potongan-potongan kecil singkong setengah matang yang panas dicelupkan ke dalam air es dingin menyebabkan permukaannya mengkerut dan pecah-pecah. Setelah itu Aldo mempersiapkan keju,telur dan tepung panir.
Berseberangan darinya Zeno, mempersiapkan tampah anyaman bambu. Ia masih mengkukus masakannyaketika sepupunya itu menyerahkan hidangan ke meja juri. MC bertanya
“Nama masakannya apa Mas?”
“Apa ya? Singkong keju panir saja sesuai wujudnya.”
“Hadirin inilah peserta nor 7 dengan masakan singkong keju panir. Dapatkah Mas ganteng berkacamata ini memukau para juri yang terhormat?”
Juri pertama mengamati piringnya. Tampak mencari-cari sesuatu.
“Singkong keju saya dimakannya cukup pakai tangan saja.”
“Saya coba ya.”
KRES
Renyah tepung panir terasa di gigi dan bibirnya, disusul oleh keras dan crispy-nya singkong yang bagian tengahnya mengeluarkan rasa gurih dari kombinasi garam dan kaldu. Aroma bawang yang harum menusuk hidung, menggelitik selera makan.
“Dahsyat sekali.”
“Mantap. Lalu ini.....di tengah singkong yang terbungkus tepung panir ada keju yang meleleh keluar.”
“Sekali coba tidak cukup. Rasanya ingin terus tambah lagi.”
Setelah berunding juri memutuskan untuk memberi skor 9,5 kali tiga kepada Aldo.
“Sebenarnya nilainya hanya sampai sembilan,tapi karena enak kami tambahkan 0.5.”
“Wow luar biasa! Akankah Mas....”
“Aldo.”
“Mas Aldo akan jadi pemenangnya? Kita tunggu dulu hingga peserta terakhir menyelesaikan masakannya.”
Tak lama kemudian Zeno datang membawa nampan tertutup kehadapan juri.
“Maaf menunggu lama.” Kata Zeno.
“Apa nama hidangannya?”
“Mahameru.”
Jawab Zeno sambil membuka tudung penutup hidangan, memperlihatkan sebuah tumpeng berbentuk kerucut dengan aneka dressing yang terdiri dari acar mentimun dan sambal goreng wortel di sisinya.
“Ha tumpeng?”
“Begini saja?”
“Silahkan dipotong dulu.”
Juri kepala memotong tumpeng dan terkejut ketika menyaksikan dari dalam singkong yang tertumbuk bercampur daun bawang,lada hitam dan suwiran ayam mengalir cairan gelap agak kental dari dalamnya,seperti magma di lereng gunung.
“Apa ini?”
“Di dalam tumpeng singkong tumbuk ada rendangnya.”
“Kuah rendang yang gurih bercampur dengan tumbukan singkong yang lembut,aneka rempah menyeruak membalut daging dan suwiran ayam. Tidak kalah dengan nasi.”
“Temanya nusantara sekali, aku suka.”
Ketiga juri mengangkat papan nilai.
“9,6 kali tiga. Nilai terbaik di lomba masak kali ini diraih oleh peserta terakhir. Kita dengarkan apa alasannya menurut juri.”
“Pertama, tema lomba adalah hidangan singkong pengganti nasi sebagai makanan pokok. Singkong keju panir memang lezat tapi karena ukurannya yang kecil hanya akan dianggap sebagai cemilan saja bukan makanan pokok. Kita kan tahu masyarakat kota ini mesipun sudah makan roti,burger atau gorengan tapi belum makan nasi sama saja dengan belum makan. Jadi meskipun sudah habis sepuluh potong orang-orang akan tetap makan nasi.
Berbeda dengan tumpeng Mahameru,formatnya sebagai hidangan utama dan menyerupai nasi bahkan rasanya tidak kalah lezat dari nasi menurut saya sudah mampu mengantarkan singkong menuju kasta tertinggi sumber karbohidrat pokok menggantikan nasi. Setelah makan ini tidak perlu makan nasi lagi.Selain itu tumpeng ini juga mengusung beragam masakan nusantara dan satu lagi menurut saya kalau mau main panir, lebih baik singkongnya ditumbuk dulu tapi peserta nomor 7 tidak melakukannya, jadinya tidak muncul beda tekstur yang kontras antara tepung panir yang renyah dengan isi di dalamnya yang seharusnya lembut. Karena itu menurut kami hidangan peserta kedelapan lebih baik dari masakan peserta nomor tujuh.”
Zeno berjalan kaki di trotoar lalu berhenti di depan kedai dan melepas tulisan dijual yang tergantung pada daun pintunya. Aldo juga ada di situ.
“Tulisan 'tutup' sudah cukup. Tak perlu ditambah kata dijual.”
“Kau batal jual kedai ini Ze?”
“Ya.”
“Kok?”
“Karena nanti aku akan kembali dan membukanya lagi.”
“Nanti? Berarti sekarang kau akan pergi?”
“Ya, mau keliling-keliling dulu, belajar masak lagi kalau sudah jadi lebih kuat, kedai ini nanti buka lagi kok tapi menunya berbeda."
"Beda menu?"
"Menuku bukan menu ayahku.”
“Kalau begitu aku juga sama.” Kata Aldo.
Zeno menenteng koper dan pergi kearah barat sedangkan Aldo berjalan ke arah timur.
Dulu kedai kecil di pojok jalan itu ramai bukan main. Menunya biasa saja, aneka masakan tradisional Indonesia yang resepnya diciptakan dan komposisi bmbunya diracik sendiri oleh Sang ayah. Tak banyak yang Zeno ketahui tentang resep hidangan-hidangan yang sukses menggoyang lidah konsumen tersebut. Ia sendiri bersama sepupu-sepupunya hanya menjadi asisten saja di dapur. Resepnya rahasia, tempat Sang ayah meletakkannyapun rahasia juga. Awalnya hal ini biasa-biasa saja dan tidak berpengaruh pada aktivitas operasional kedai secara umum, hingga tiga bulan yang lalu. Hari ketika Pak Dirga, ayah Zeno meninggal mendadak akibat serangan jantung pada usia 58 tahun.
Seminggu setelah Pak Dirga wafat, Zeno membuka kembali warungnya dan inilah komentar para pengunjung merangkap warganet di media sosial ofisial kedai itu.
“Katanya enak tapi aku coba sendiri kok tidak ya.”
“Benar, Karinya jadi hambar.”
“Sotonya malah rasanya jadi terlalu tajam.”
“Dulu enak sekarang tidak.”
“Kok bisa begitu?”
“Dulu yang masak ayahnya, sekarang anaknya.”
“Oh yang masak bocah? kid jaman now anj*ng!”
“Iya kalau gak bisa kayak bapaknya mending tutup saja!”
“Pokoknya gak recomend!”
“Iya, makan di tempat lain saja.”
Zeno membuka pintu lalu menguncinya dari luar. Saat itulah seseorang menyapanya. Seorang pemuda berkacamata dengan tampilan yang intelek dan terpelajar.
“Mau kemana Ze?”
“Ke kelurahan.”
“Bareng saja pakai motorku.”
“Memangnya, Mas Aldo hari ini nggak narik?”
Semenjak Zeno memutuskan untuk menutup kedai tiga minggu lalu, kakak sepupunya ini memang beralih profesi menjadi mitra ojek online. Aldo menjawab dengan pertanyaan.
“Memangnya kamu hari ini nggak mbanci?”
Semenjak memutuskan untuk menutup kedai tiga minggu lalu, adik sepupunya ini memang beralih profesi menjadi pengamen di lampu merah. Supaya unik dan dapat uang banyak Zeno ber-cosplay mengenakan dandanan wanita dan make-up aneh seperti para komedian yang dulu sering ia tonton di tv.
“Sstt jangan keras-keras,malu tahu.” Jawb Zeno sambil melotot dan mengacungkan telunjuk di depan bibir.
“Memangnya mau apa ke kelurahan?”
“Ngurus surat ahli waris. Kalau Mas Aldo sendiri?”
“Ikut lomba”
“Lomba apa?”
“Lomba masak.”
Sukseskan gerakan diversifikasi pangan. Ikuti lomba memasak aneka hidangan pengganti nasi.
Demikian bunyi spanduk di balai desa samping kantor warna putih tersebut.
“Pendaftarannya masih buka?” Tanya Zeno
Aldo terdiam sejenak lalu membetulkan kacamatanya dengan jari sebelum akhirnya balik bertanya
“Masih. Mau ikut juga?”
“Bukannya mau nantang Mas Aldo, tapi sumpah aku benar-benar butuh uang.”
“Mau nantang juga tidak apa-apa. Justru itu yang kuinginkan Ze.”
“Sama kalau begitu. Aku juga sudah lama penasaran, kalau kita duel yang menang siapa.”
Zeno,Aldo dan para peserta lain memasuki dapur tempat pertandingan diadakan. Setelah itu masuk tiga orang juri dan MC perempuan yang cantiknya cukupan saja. Sambil memegang kertas dari panitia pembawa acara itu mengumumkan.
“Selamat datang di lomba masak diversifikasi pangan. Untuk menyingkat waktu langsung saja kami umumkan, tema hari ini adalah hidangan pengganti nasi berbahan dasar....singkong.”
Singkong? Zeno terdiam sejenak sambil memejamkan mata. Cukup sulit karena ia jarang masak singkong. Berbeda 180 derajat dari sepupunya, Aldo langsung mengambil singkong,bawang,garam,kaldu,keju dan air dalam baskom sambil memanaskan minyak di penggorengan.
Dibalik kilatan cahaya dari lensa kacamatanya, sepasang indera penglihatan Aldo mengamati keseragaman ukuran dari singkong yang ia potong-potong dengan sangat cekatan. Ia goreng singkong-singkong itu sebentar setengah matang lalu dicelupkannya ke dalam air yang sudah dicampur bumbu-bumbu.
“Singkongnya mekar di dalam air?” Penonton berdecak kagum.
“Itu bukan air biasa.”
“Itu...itu....air es.”
Potongan-potongan kecil singkong setengah matang yang panas dicelupkan ke dalam air es dingin menyebabkan permukaannya mengkerut dan pecah-pecah. Setelah itu Aldo mempersiapkan keju,telur dan tepung panir.
Berseberangan darinya Zeno, mempersiapkan tampah anyaman bambu. Ia masih mengkukus masakannyaketika sepupunya itu menyerahkan hidangan ke meja juri. MC bertanya
“Nama masakannya apa Mas?”
“Apa ya? Singkong keju panir saja sesuai wujudnya.”
“Hadirin inilah peserta nor 7 dengan masakan singkong keju panir. Dapatkah Mas ganteng berkacamata ini memukau para juri yang terhormat?”
Juri pertama mengamati piringnya. Tampak mencari-cari sesuatu.
“Singkong keju saya dimakannya cukup pakai tangan saja.”
“Saya coba ya.”
KRES
Renyah tepung panir terasa di gigi dan bibirnya, disusul oleh keras dan crispy-nya singkong yang bagian tengahnya mengeluarkan rasa gurih dari kombinasi garam dan kaldu. Aroma bawang yang harum menusuk hidung, menggelitik selera makan.
“Dahsyat sekali.”
“Mantap. Lalu ini.....di tengah singkong yang terbungkus tepung panir ada keju yang meleleh keluar.”
“Sekali coba tidak cukup. Rasanya ingin terus tambah lagi.”
Setelah berunding juri memutuskan untuk memberi skor 9,5 kali tiga kepada Aldo.
“Sebenarnya nilainya hanya sampai sembilan,tapi karena enak kami tambahkan 0.5.”
“Wow luar biasa! Akankah Mas....”
“Aldo.”
“Mas Aldo akan jadi pemenangnya? Kita tunggu dulu hingga peserta terakhir menyelesaikan masakannya.”
Tak lama kemudian Zeno datang membawa nampan tertutup kehadapan juri.
“Maaf menunggu lama.” Kata Zeno.
“Apa nama hidangannya?”
“Mahameru.”
Jawab Zeno sambil membuka tudung penutup hidangan, memperlihatkan sebuah tumpeng berbentuk kerucut dengan aneka dressing yang terdiri dari acar mentimun dan sambal goreng wortel di sisinya.
“Ha tumpeng?”
“Begini saja?”
“Silahkan dipotong dulu.”
Juri kepala memotong tumpeng dan terkejut ketika menyaksikan dari dalam singkong yang tertumbuk bercampur daun bawang,lada hitam dan suwiran ayam mengalir cairan gelap agak kental dari dalamnya,seperti magma di lereng gunung.
“Apa ini?”
“Di dalam tumpeng singkong tumbuk ada rendangnya.”
“Kuah rendang yang gurih bercampur dengan tumbukan singkong yang lembut,aneka rempah menyeruak membalut daging dan suwiran ayam. Tidak kalah dengan nasi.”
“Temanya nusantara sekali, aku suka.”
Ketiga juri mengangkat papan nilai.
“9,6 kali tiga. Nilai terbaik di lomba masak kali ini diraih oleh peserta terakhir. Kita dengarkan apa alasannya menurut juri.”
“Pertama, tema lomba adalah hidangan singkong pengganti nasi sebagai makanan pokok. Singkong keju panir memang lezat tapi karena ukurannya yang kecil hanya akan dianggap sebagai cemilan saja bukan makanan pokok. Kita kan tahu masyarakat kota ini mesipun sudah makan roti,burger atau gorengan tapi belum makan nasi sama saja dengan belum makan. Jadi meskipun sudah habis sepuluh potong orang-orang akan tetap makan nasi.
Berbeda dengan tumpeng Mahameru,formatnya sebagai hidangan utama dan menyerupai nasi bahkan rasanya tidak kalah lezat dari nasi menurut saya sudah mampu mengantarkan singkong menuju kasta tertinggi sumber karbohidrat pokok menggantikan nasi. Setelah makan ini tidak perlu makan nasi lagi.Selain itu tumpeng ini juga mengusung beragam masakan nusantara dan satu lagi menurut saya kalau mau main panir, lebih baik singkongnya ditumbuk dulu tapi peserta nomor 7 tidak melakukannya, jadinya tidak muncul beda tekstur yang kontras antara tepung panir yang renyah dengan isi di dalamnya yang seharusnya lembut. Karena itu menurut kami hidangan peserta kedelapan lebih baik dari masakan peserta nomor tujuh.”
Zeno berjalan kaki di trotoar lalu berhenti di depan kedai dan melepas tulisan dijual yang tergantung pada daun pintunya. Aldo juga ada di situ.
“Tulisan 'tutup' sudah cukup. Tak perlu ditambah kata dijual.”
“Kau batal jual kedai ini Ze?”
“Ya.”
“Kok?”
“Karena nanti aku akan kembali dan membukanya lagi.”
“Nanti? Berarti sekarang kau akan pergi?”
“Ya, mau keliling-keliling dulu, belajar masak lagi kalau sudah jadi lebih kuat, kedai ini nanti buka lagi kok tapi menunya berbeda."
"Beda menu?"
"Menuku bukan menu ayahku.”
“Kalau begitu aku juga sama.” Kata Aldo.
Zeno menenteng koper dan pergi kearah barat sedangkan Aldo berjalan ke arah timur.
BERSAMBUNG
Diubah oleh reloaded0101 29-08-2018 02:46






Gimi96 dan 16 lainnya memberi reputasi
17
14.2K
Kutip
92
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan