- Beranda
- Komunitas
- Games
- Mobile Games
Yang Bikin Ngakak Dari Persaingan Gamer Mobile Legends VS Arena Of Valor


TS
yudsky
Yang Bikin Ngakak Dari Persaingan Gamer Mobile Legends VS Arena Of Valor
Pertama yang harus kamu semua tahu, saya bukan penggemar ML atau AOV, apalagi difitnah sebagai sales/marketing salah satu game tersebut. Disini, saya hanya ingin menyampaikan kegelian saya pada para fans yang suka saling ejek soal ML vs AOV.
OK, let’s the joke begin
ML vs AOV = PES vs FIFA

Membandingkan ML vs AOV mungkin seperti membandingkan PES dengan FIFA. Sama-sama multi platform, genre sama, gameplay tidak berbeda jauh. Hal ini berbeda dengan, misal Gran Turismo vs Forza, karena meski genre dan gameplay tidak berbeda jauh, mereka berada di platform berbeda (PS vs Xbox/PC).
Yang harus kita ingat, berkaca dari sejarah rivalitas PES (dulu WE) vs FIFA, tidak selamanya persaingan didominasi oleh satu judul saja. Seperti dalam PES vs FIFA, PES/WE menjadi yang terbaik dari era PS1 dan awal PS3. Karena harus diakui, saat itu gameplay PES jauuhhh lebih baik dari FIFA. Tapi semua berubah setelah FIFA12 menghadirkan perubahan besar, sementara PES mengalami stagnasi.
Bisa jadi, mungkin saat ini ML lebih baik tapi besok gantian AOV menyalip, begitu juga sebaliknya. Sebagai gamer, sebaiknya tidak usah mempersoalkan siapa yang lebih baik dan menjelekan yang lain. Dinikmati saja, tanpa perlu kaku dengan satu game saja. Saya sendiri menikmati baik seri PES ataupun FIFA. Memang, ada kalanya PES lebih baik, ada kalanya FIFA lebih baik. So, dinikmati saja lah….
Memang kenapa kalau MOBA itu analog?

Ini juga hal yang membuat saya tertawa ngakak. Memang kenapa kalau MOBA itu analog? Harus diingat, MOBA pertama dimainkan menggunakan gamepad yang memiliki D-Pad dan 3 face button. Coba saja cek Herzog Zwei, game MOBA pertama di console SEGA Genesis/MD.
Wajar kalau tiap game memiliki mekanisme berbeda dengan game sejenis lainnya. Justru hal tersebut memberikan gamer pilihan dan variasi. Di game fighting, saya sendiri menikmati perbedaan pada game Samurai Showdown (condong ke pacing dan timing), Street Fighter (simple tapi dalam), KOF (kompleksitas), Capcom Vs (kehebohannya) dll. Itupun belum termasuk setiap edisi sebuah judul game memiliki mekanisme berbeda dengan edisi lainnya.
Jadi, ga ada yang salah dengan MOBA analog, ngedrag, ngetouch, ngeklik atau apalah itu. Justru itu memberikan variasi supaya game MOBA juga punya keunikan masing-masing
MOBA kok Batman?

Nah, ini juga hal yang bikin ketawa dari die hard fans MOBA. Apa salahnya dengan karakter crossover? Bukannya malah mengapresiasi, malah mencela. Padahal memasukan karakter crossover itu bukanlah hal yang mudah, baik dari aspek penyesuaian gameplay maupun legalitas.
Berbeda dengan di genre fighting, para fans menyambut antusias kemunculan Darth Vader di Soul Calibur IV, karakter Marvel di serial Capcom Vs, Predator di Mortal Kombat X, Noctis di Tekken 7 dsb. Selama para karakter itu bisa diimplementasikan pada gameplay, harusnya tidak menjadi masalah.
Saya pribadi berharap, suatu saat ada karakter croosover antara ML x AOV x DOTA2, seperti layaknya yang dilakukan pada game Capcom vs SNK atau Street Fighter X Tekken. Tentu saja, dengan penyesuaian gameplay mengikuti ciri khas gameplay developer yang membuat gamenya (Capcom vs SNK memiliki gameplay berbeda dengan SNK vs Capcom).
MOBA kok plagiat?

Sebenarnya, adalah hal yang wajar ketika sesuatu sukses, maka akan diikuti oleh pihak lain yang melakukan hal yang sama. Pada batas tertentu, hal tersebut masih bisa dimaklumi. Semisal pada genre MOBA, bisa di maklumi jika banyak elemen yang “saling pinjam” antar judul game MOBA. Semisal elemen/mekanisme dasar MOBA, tentu banyak yang mirip karena genrenya sama. Kan tidak mungkin bikin game MOBA yang ditiru malah elemen game racing (walau bukan tidak mungkin suatu saat ada). Kalau di hampir semua game fighting, sudah hal yang wajar kalau ada gerakan D,DF,F+P atau F,D,DF+P untuk special move (pasti tau yg saya maksud). Dan hal tersebut bukanlah persoalan.
Nah, yang menjadi persoalan adalah saat ada game yang meniru elemen dari sumber lain yang mirip banget, di luar konteks elemen dasar sebagai genre. Saya sendiri pernah melihat iklan sebuah game MOBA yang desain karakternya langsung mengingatkan saya pada Dante DMC. Pada gamenya sendiri, nama karakternya bukanlah Dante. Padahal, sebagai salah satu game MOBA dengan (katanya) pendapatan tinggi, masak membayar lisensi saja tidak mau? Terlebih Capcom dikenal sebagai developer yang tidak mempersoalkan crossover karakter mereka pada game lain (vice versa). Dan ternyata, bukan cuma “Dante” karakter yang saya temui mirip banget dengan karakter di luar judul game tersebut.
Dalam hal ini, meski sungguh disayangkan, tidak perlu membuat saling mencela. Karena dalam game yang populer, masih banyak yang saling tiru, baik dari sesama game, maupun dari karakter populer lain (di luar media game). Apresiasi lebih tentu pantas ditujukan pada desain karakter orisinal dan karakter crossover resmi.
Event E-Sport tidak harus berhadiah besar

Event E-Sport adalah suatu hal yang wajib diadakan oleh game kompetitif. Semua judul yang ditujukan sebagai game kompetitif, pasti ada kompetisi berhadiah. Baik mulai dari jutaan, puluhan, sampai milyaran rupiah. Semua harus diapresiasi, berapapun nilainya. Karena membuat event e-sport bukanlah hal yang mudah, terutama bagi pendatang baru maupun game yang termasuk niche.
Hal ini seperti diakuai developer PUBG, mereka merasa belum menemukan format yang pas untuk kompetisi battle royale, tapi tetap akan mengadakan event tersebut dengan target 5 tahun lagi akan ketemu format yang matang. Event legendaris semacam EVO pun butuh beberapa tahun sampai bisa menemukan format yang matang hingga mendapat sorotan luas. The International-pun memulainya secara bertahap hingga bisa menjadi seperti sekarang.
So, tetap apresiasi developer/publisher yang sudah berusaha membuat event e-sport untuk game mereka. Mereka baru pantas dikecam jika setelah beberapa kali mengadakan event e-sport kok masih belum menemukan format yang matang. Dan semua memang butuh waktu.
Game yang lebih kompleks selalu lebih baik?

Soal mana yang terbaik, semua kembali kepada selera masing-masing orang, yang tentu saja berbeda-beda. Seperti halnya membandingkan mana yang lebih enak, teh atau kopi. Kopi pakai gula atau tanpa gula. Semua sama enak juga sama ga enaknya, tergantung selera.
Kalau saya amati sih, sebagai gamer, ML lebih simple daripada AOV (apalagi DOTA). Tapi hal tersebut tidak langsung menyebut ML lebih baik dari AOV ataupun sebaliknya. Hal tersebut bagaikan membicarakan Virtua Fighter vs Tekken atau Street Fighter vs KOF.
Dalam beberapa tahun terakhir, developer game banyak yang berusaha membuat rilis game terbaru mereka gameplaynya sederhana untuk menarik pemain baru, tapi tetap menyediakan kedalaman untuk dikuasai bagi para gamer veteran ataupun pro. Jadi, yang rumit belum tentu lebih baik dari yang sederhana, begitu juga sebaliknya.
Ga tahan dengan toxic player dan trash talk?

Meh.., cemen amat sih kamu. Masak diprovokasi gitu aja langsung tersulut emosinya. Cuekin aja, atau di mute sekalian.
Provokasi yang saya temui di game ML atau AOV (game mobile lain juga) masih terasa garing, dibandingkan provokasi saat beradu langsung secara offline. Masih pada inget gak, suasana dan sensasi trash talk saat beradu game secara offline? Baik di rental PS ataupun ding-dong-an. Saya pribadi justru menikmati moment seperti itu, kalau dilakukan secara langsung (offline). Kalau online ya…rasanya garing sih gan, mau nulis kayak apapun juga datar rasanya.
Soal banyaknya pemain yang masih yesterday evening boys, wajar lah. Mau gimana lagi, game mobile adalah game yang bisa dimainkan siapa saja. Di masa sekarang, smart phone adalah perangkat yang nyaris dimiliki semua orang. Semua pemilik smart phone bisa main game apa saja dan kapan saja mereka mau, semua kalangan dan usia. Otomatis tidak ada filter gamer seperti layaknya di game console atau PC (kudu punya perangkatnya dulu). Bahkan untuk main game ding-dong pun ada filternya (harus mau berangkat ke tempat ding-dong).
Kesimpulan

Sebagai penikmat game, tidak perlulah saling mencela. Karena bagus tidaknya sebuah game, tetap tergantung selera gamer yang memainkannya (dengan asumsi kualitas gamenya setara).
Saya sendiri bukan penggemar game genre MOBA, apalagi fanatik dengam judul tertentu. Saya pernah mengincip beberapa game MOBA, itupun dalam hitungan hari sudah bosan. Jadi, semua pendapat di atas saya tulis dari sudut pandang gamer netral dan awam tentang MOBA, tanpa ada unsur berat sebelah ke salah satu judul MOBA tertentu.
Meskipun saya penggemar berat genre figthing, saya tetap menikmati banyak judul game fighting yang ada. Karena masing-masing judul tentu memiliki perbedaan, baik dari mekanisme gameplay, tema maupun visual (bukan faktor utama bagi saya). Memang tidak semua jadi favorit saya, tapi tidak serta merta saya mencela yang bukan favorit saya.
Jadi gamer yang sehat yuk…
OK, let’s the joke begin
ML vs AOV = PES vs FIFA

Membandingkan ML vs AOV mungkin seperti membandingkan PES dengan FIFA. Sama-sama multi platform, genre sama, gameplay tidak berbeda jauh. Hal ini berbeda dengan, misal Gran Turismo vs Forza, karena meski genre dan gameplay tidak berbeda jauh, mereka berada di platform berbeda (PS vs Xbox/PC).
Yang harus kita ingat, berkaca dari sejarah rivalitas PES (dulu WE) vs FIFA, tidak selamanya persaingan didominasi oleh satu judul saja. Seperti dalam PES vs FIFA, PES/WE menjadi yang terbaik dari era PS1 dan awal PS3. Karena harus diakui, saat itu gameplay PES jauuhhh lebih baik dari FIFA. Tapi semua berubah setelah FIFA12 menghadirkan perubahan besar, sementara PES mengalami stagnasi.
Bisa jadi, mungkin saat ini ML lebih baik tapi besok gantian AOV menyalip, begitu juga sebaliknya. Sebagai gamer, sebaiknya tidak usah mempersoalkan siapa yang lebih baik dan menjelekan yang lain. Dinikmati saja, tanpa perlu kaku dengan satu game saja. Saya sendiri menikmati baik seri PES ataupun FIFA. Memang, ada kalanya PES lebih baik, ada kalanya FIFA lebih baik. So, dinikmati saja lah….
Memang kenapa kalau MOBA itu analog?

Ini juga hal yang membuat saya tertawa ngakak. Memang kenapa kalau MOBA itu analog? Harus diingat, MOBA pertama dimainkan menggunakan gamepad yang memiliki D-Pad dan 3 face button. Coba saja cek Herzog Zwei, game MOBA pertama di console SEGA Genesis/MD.
Wajar kalau tiap game memiliki mekanisme berbeda dengan game sejenis lainnya. Justru hal tersebut memberikan gamer pilihan dan variasi. Di game fighting, saya sendiri menikmati perbedaan pada game Samurai Showdown (condong ke pacing dan timing), Street Fighter (simple tapi dalam), KOF (kompleksitas), Capcom Vs (kehebohannya) dll. Itupun belum termasuk setiap edisi sebuah judul game memiliki mekanisme berbeda dengan edisi lainnya.
Jadi, ga ada yang salah dengan MOBA analog, ngedrag, ngetouch, ngeklik atau apalah itu. Justru itu memberikan variasi supaya game MOBA juga punya keunikan masing-masing
MOBA kok Batman?

Nah, ini juga hal yang bikin ketawa dari die hard fans MOBA. Apa salahnya dengan karakter crossover? Bukannya malah mengapresiasi, malah mencela. Padahal memasukan karakter crossover itu bukanlah hal yang mudah, baik dari aspek penyesuaian gameplay maupun legalitas.
Berbeda dengan di genre fighting, para fans menyambut antusias kemunculan Darth Vader di Soul Calibur IV, karakter Marvel di serial Capcom Vs, Predator di Mortal Kombat X, Noctis di Tekken 7 dsb. Selama para karakter itu bisa diimplementasikan pada gameplay, harusnya tidak menjadi masalah.
Saya pribadi berharap, suatu saat ada karakter croosover antara ML x AOV x DOTA2, seperti layaknya yang dilakukan pada game Capcom vs SNK atau Street Fighter X Tekken. Tentu saja, dengan penyesuaian gameplay mengikuti ciri khas gameplay developer yang membuat gamenya (Capcom vs SNK memiliki gameplay berbeda dengan SNK vs Capcom).
MOBA kok plagiat?

Sebenarnya, adalah hal yang wajar ketika sesuatu sukses, maka akan diikuti oleh pihak lain yang melakukan hal yang sama. Pada batas tertentu, hal tersebut masih bisa dimaklumi. Semisal pada genre MOBA, bisa di maklumi jika banyak elemen yang “saling pinjam” antar judul game MOBA. Semisal elemen/mekanisme dasar MOBA, tentu banyak yang mirip karena genrenya sama. Kan tidak mungkin bikin game MOBA yang ditiru malah elemen game racing (walau bukan tidak mungkin suatu saat ada). Kalau di hampir semua game fighting, sudah hal yang wajar kalau ada gerakan D,DF,F+P atau F,D,DF+P untuk special move (pasti tau yg saya maksud). Dan hal tersebut bukanlah persoalan.
Nah, yang menjadi persoalan adalah saat ada game yang meniru elemen dari sumber lain yang mirip banget, di luar konteks elemen dasar sebagai genre. Saya sendiri pernah melihat iklan sebuah game MOBA yang desain karakternya langsung mengingatkan saya pada Dante DMC. Pada gamenya sendiri, nama karakternya bukanlah Dante. Padahal, sebagai salah satu game MOBA dengan (katanya) pendapatan tinggi, masak membayar lisensi saja tidak mau? Terlebih Capcom dikenal sebagai developer yang tidak mempersoalkan crossover karakter mereka pada game lain (vice versa). Dan ternyata, bukan cuma “Dante” karakter yang saya temui mirip banget dengan karakter di luar judul game tersebut.
Dalam hal ini, meski sungguh disayangkan, tidak perlu membuat saling mencela. Karena dalam game yang populer, masih banyak yang saling tiru, baik dari sesama game, maupun dari karakter populer lain (di luar media game). Apresiasi lebih tentu pantas ditujukan pada desain karakter orisinal dan karakter crossover resmi.
Event E-Sport tidak harus berhadiah besar

Event E-Sport adalah suatu hal yang wajib diadakan oleh game kompetitif. Semua judul yang ditujukan sebagai game kompetitif, pasti ada kompetisi berhadiah. Baik mulai dari jutaan, puluhan, sampai milyaran rupiah. Semua harus diapresiasi, berapapun nilainya. Karena membuat event e-sport bukanlah hal yang mudah, terutama bagi pendatang baru maupun game yang termasuk niche.
Hal ini seperti diakuai developer PUBG, mereka merasa belum menemukan format yang pas untuk kompetisi battle royale, tapi tetap akan mengadakan event tersebut dengan target 5 tahun lagi akan ketemu format yang matang. Event legendaris semacam EVO pun butuh beberapa tahun sampai bisa menemukan format yang matang hingga mendapat sorotan luas. The International-pun memulainya secara bertahap hingga bisa menjadi seperti sekarang.
So, tetap apresiasi developer/publisher yang sudah berusaha membuat event e-sport untuk game mereka. Mereka baru pantas dikecam jika setelah beberapa kali mengadakan event e-sport kok masih belum menemukan format yang matang. Dan semua memang butuh waktu.
Game yang lebih kompleks selalu lebih baik?

Soal mana yang terbaik, semua kembali kepada selera masing-masing orang, yang tentu saja berbeda-beda. Seperti halnya membandingkan mana yang lebih enak, teh atau kopi. Kopi pakai gula atau tanpa gula. Semua sama enak juga sama ga enaknya, tergantung selera.
Kalau saya amati sih, sebagai gamer, ML lebih simple daripada AOV (apalagi DOTA). Tapi hal tersebut tidak langsung menyebut ML lebih baik dari AOV ataupun sebaliknya. Hal tersebut bagaikan membicarakan Virtua Fighter vs Tekken atau Street Fighter vs KOF.
Dalam beberapa tahun terakhir, developer game banyak yang berusaha membuat rilis game terbaru mereka gameplaynya sederhana untuk menarik pemain baru, tapi tetap menyediakan kedalaman untuk dikuasai bagi para gamer veteran ataupun pro. Jadi, yang rumit belum tentu lebih baik dari yang sederhana, begitu juga sebaliknya.
Ga tahan dengan toxic player dan trash talk?

Meh.., cemen amat sih kamu. Masak diprovokasi gitu aja langsung tersulut emosinya. Cuekin aja, atau di mute sekalian.
Provokasi yang saya temui di game ML atau AOV (game mobile lain juga) masih terasa garing, dibandingkan provokasi saat beradu langsung secara offline. Masih pada inget gak, suasana dan sensasi trash talk saat beradu game secara offline? Baik di rental PS ataupun ding-dong-an. Saya pribadi justru menikmati moment seperti itu, kalau dilakukan secara langsung (offline). Kalau online ya…rasanya garing sih gan, mau nulis kayak apapun juga datar rasanya.
Soal banyaknya pemain yang masih yesterday evening boys, wajar lah. Mau gimana lagi, game mobile adalah game yang bisa dimainkan siapa saja. Di masa sekarang, smart phone adalah perangkat yang nyaris dimiliki semua orang. Semua pemilik smart phone bisa main game apa saja dan kapan saja mereka mau, semua kalangan dan usia. Otomatis tidak ada filter gamer seperti layaknya di game console atau PC (kudu punya perangkatnya dulu). Bahkan untuk main game ding-dong pun ada filternya (harus mau berangkat ke tempat ding-dong).
Kesimpulan

Damai aja lur….
Sebagai penikmat game, tidak perlulah saling mencela. Karena bagus tidaknya sebuah game, tetap tergantung selera gamer yang memainkannya (dengan asumsi kualitas gamenya setara).
Saya sendiri bukan penggemar game genre MOBA, apalagi fanatik dengam judul tertentu. Saya pernah mengincip beberapa game MOBA, itupun dalam hitungan hari sudah bosan. Jadi, semua pendapat di atas saya tulis dari sudut pandang gamer netral dan awam tentang MOBA, tanpa ada unsur berat sebelah ke salah satu judul MOBA tertentu.
Meskipun saya penggemar berat genre figthing, saya tetap menikmati banyak judul game fighting yang ada. Karena masing-masing judul tentu memiliki perbedaan, baik dari mekanisme gameplay, tema maupun visual (bukan faktor utama bagi saya). Memang tidak semua jadi favorit saya, tapi tidak serta merta saya mencela yang bukan favorit saya.
Jadi gamer yang sehat yuk…


corpcopsld. memberi reputasi
1
1.3K
3


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan