Quote:
JAKARTA, KOMPAS.com - Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto menghadiri pentas seni budaya peringatan peristiwa Kerusuhan 27 Juli 1996 (Kudatuli), di Telaga Jonge, Desa Pacarejo, Kecamatan, Semanu, Kabupaten Gunung Kidul, Jumat (27/7/2018).
Dalam peringatan tersebut, Hasto mengajak seluruh kader PDI Perjuangan dan masyarakat yang hadir untuk mengingat dengan mendalam peristiwa perebutan paksa kantor DPP PDI di Jl Diponegoro 58, Menteng, Jakarta Pusat, 22 tahun silam.
"Peristiwa tersebut merupakan skenario rekayasa politik Orde Baru untuk membungkam demokrasi arus bawah dengan kekerasan," kata Hasto dalam keterangan tertulisnya, Jumat (27/7/2018).
Pada tahun 1993, Megawati lewat Kongres Surabaya terpilih menjadi Ketua Umum PDI hingga periode 1998. Namun, terpilihnya Megawati tak mendapat restu dari pemerintah Soeharto sehingga dibuatlah PDI tandingan.
Difasilitasi pemerintah Orde Baru, PDI tandingan menggelar kongres di Medan dan memilih Soerjadi sebagai ketua umum. Upaya massa PDI Soerjadi merebut kantor PDI inilah yang memicu terjadinya peristiwa Kudatuli.
"Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri selalu berpesan untuk tidak menggunakan kekerasan di dalam menyikapi peristiwa kekerasan tersebut," kata Hasto.
Hasto menambahkan, dalam Pemilu 1999, tiga tahun pasca peristiwa Kudatuli, PDI pro Megawati yang sudah berubah nama menjadi PDI Perjuangan mampu merebut mayoritas hati rakyat. Dalam kontestasi tersebut, PDI Perjuangan menang dengan 33 persen suara. Hasto pun optimistis kemenangan serupa akan terulang di Pilpres 2019 mendatang.
"Rakyat menghendaki PDI Perjuangan untuk menang," kata Hasto.
play victim
Dewa 19
Bukan rahasia bila segenggam kekuasaan
lebih berharga dari sekeranjang kebenaran
Bukan rahasia bila penguasa pun bisa
merubah sejarah dan memutar balikkan fakta
Quote:
"Laporan itu adalah upaya politik yang sudah kesiangan. Tapi memanfaatkan kasus 27 Juli adalah ritual politik PDIP sejak Pak SBY mengalahkan Ibu Megawati dalam Pemilu 2004," ucap Wasekjen PD Rachland Nashidik, Jumat (27/7/2018).
Jika tragedi Kudatuli atau perebutan paksa kantor PDI kala itu ingin serius diungkap, Rachland menyebut Megawati sebenarnya punya kesempatan melakukannya ketika menjabat presiden 2001. Mega disebut Rachland dapat menggunakan pengaruh untuk membuka jalan bagi investigasi, seperti kuat didesak masyarakat. Sayang, kata Rachland, Mega memilih diam dan bahkan mengangkat Sutiyoso, Pangdam Jaya, saat kejadian menjadi Gubernur DKI Jakarta.
"Pada 2004, Presiden Megawati malah menghalangi penyidikan Tim Koneksitas Polri atas kasus 27 Juli dengan alasan pemilu sudah dekat. Tak ada nama SBY dalam daftar orang yang disangka oleh Tim Koneksitas Polri," tuding Rachland.
Kesempatan kedua pengungkapan tragedi itu, lanjut Rachland, datang saat negara didesak membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang sudah dimulai pada era Presiden BJ Habibie. Inisiatif masyarakat sipil mengikuti pengalaman Afrika Selatan ini, disebut Rachland, mendapat resistensi.
"Fraksi PDIP sejak Mega presiden bukan saja tidak pernah mendukung, tapi paling keras menolak," ucap Rachland.
"Sebagai Ketua Umum PDIP, Mega tidak memerintahkan fraksinya menyetujui inisiatif itu. Padahal bila Komisi terbentuk, Megawati mendapat alat yang kuat untuk mengungkap 27 Juli," sambung dia.
Rachland meminta publik menilai fakta yang diungkapkannya ini sembari mendalami maksud dan tujuan Sekjen PDIP Hasto kristiyanto ke Komnas HAM. Menurut Rachland, Megawati sebenarnya saat itu bisa menyelesaikan misteri dari tragedi ini.
"Begitulah. Saat para korban 27 Juli masih keras berteriak, Mega memilih berkompromi demi melindungi kekuasaan politiknya. Mungkin juga karena dia mengkhawatirkan political backlash," tegas Rachland.
play victim
Kesempatan berikutnya ada ditangan jokowi yg notabene presiden dari pdip, tapi selama 4th ini udah apa aja yg dilakukan pdip lewat jokowi untuk mengungkap kasus ini? Nihil, so intinya cuma main drama play victim aja..dan play victimnya jauh lebih sadis drpd yg dituduhkan kpd sby
