azizm795Avatar border
TS
azizm795
Pencari Keadilan dari Muna
 Seorang buruh bangunan di Desa Masalili, Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara (Sultra) bernama Laode Hamundu meninggal secara misterius pada 1 November 2015. Kasusnya kemudian ditangani aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat Pemerhati Hak Asasi Manusia (LSM LEPHAM) La Ode Alfa’an.
Baca juga : Fakta Persidangan Lemah, Siti Aisyah diyakini Bebas dari Kasus Pembunuhan Kim Jong-Nam 
Lelaki paruh baya itu menduga Laode Hamundu meninggal dibunuh bukan karena bunuh diri seperti yang disimpulkan kepolisian.
Alfa'an mengaku kerap mendapat intimidasi dari kepolisian setempat saat mengadvokasi kasus Laode Hamundu. Intimidasi tersebut mulai dari ancaman pembunuhan, upaya penghalangan keluar dari Pulau Muna, dan ditahan tanpa alasan yang jelas.
Baca juga : Wa Tiba, Ibu Dua Anak Tewas Ditelan Seekor Ular Piton
“Mereka itu ada upaya menghilangkan saya. Mereka mau habisin saya kan. Itu sejak dulu sampai sekarang karena kasus-kasus di Sulawesi Tenggara kan saya yang pegang. Terus mereka mau incar saya karena saya tidak ada tawar-menawar seperti itu dengan mereka,” kata Al Fa’an kepada Law-Jusitice.co, Rabu (11/7).
Alfa’an lantas mengadu ke Jakarta untuk memperjuangkan kasusnya dan meminta perlindungan dirinya. Ia mendatangi Mabes Polri, Komnas HAM, Kompolnas dan, Kontras. Belakangan ia menemui Komisi III DPR RI pada akhir Mei lalu dengan menyertakan sejumlah barang bukti.
Baca juga : OTT Kendari untuk Kepentingan Pilkada Cagub Sulawesi Tenggara
Barang bukti yang menurut Alfa’an mengarah pada dugaan pembunuhan terhadap Hamundu antara lain bekas luka, senjata tajam, pakaian, visum, autopsi, dan rekaman digital, tempat korban bekerja sebagai tukang.
Bukti-Bukti Kasus Laode Hamundu
Menurut Al Fa’an, tim Polda Sultra saat melakukan olah tempat kejadian perkara (TKP) menemukan bukti bekas darah di tembok rumah majikannya. Selain itu, kata dia, sebuah motor yang terparkir di samping rumah dan telepon gengam telah disita oleh pihak yang berwajib. Sebelumnya, tambah AlFa’an telah didapatkan pula sarung robek yang biasa dipakai korban untuk salat dan gergaji dalam kondisi berlumur darah.
Selain itu, Alfa’an menilai klaim polisi yang menyatakan korban bunuh diri juga penuh kejanggalan. Ia beralasan, ditemukan luka benda tajam dan tumpul di tubuh Hamundu. Sementara di bagian tangan, lanjutnya, terdapat bekas ikatan tali, seperti juga ditemukan di bagian leher yang memberikan petunjuk bahwa korban mengalami penganiayaan hingga akhirnya meninggal.
“Korban ditemukan tergantung di belakang rumah tempat ia bekerja dengan luka yang bervariasi. Lukanya di leher bagian belakang ditikam, lutut bekas pukulan biru, tangan ada bekas ikatan. Kalau bekas gantungan tali ada tapi bekas iris-iris itu dan pukulan juga ada,” papar Al Fa’an.
Ketika ditemukan, Hamundu memang terlihat bunuh diri karena posisinya yang tergantung di belakang rumah tempatnya bekerja. Namun Al Fa’an menolak dugaan ini. Ia beralasan, Hamundu telah meninggal terlebih dahulu sebelumnya akhirnya digantung.
“Dia sudah mati dulu sebelum digantung karena lidahnya tidak keluar, tidak ada cairan di kemaluannya. Biasanya kan orang gantung diri itu kan lidah keluar kemudian dia punya air mani atau sperma keluar itu, tidak ada tertidur dia,” imbuh Alfa’an.
Kejanggalan Proses Autopsi
Alfaan melanjutkan upaya untuk membuktikan korban dibunuh dihadang oleh pihak kepolisian. Pihak keluarga sebenarnya sudah mengajukan permohonan ke Polres Muna untuk melakukan autopsi. Namun pihak yang berwajib, kata dia, menolak dengan alasan yang tidak jelas.
Ia menambahkan Dr Leli memang pernah membedah tubuh korban tapi tidak melakukan pemeriksaan secara detail dan mengujinya ke laboratorium. Anehnya, kata Alfa’an, dokter tersebut dengan mantap menyatakan korban meninggal karena bunuh diri.
Meskipun dipaksa menandatangani Berita Acara Pemeriksaan (BAP) kasus ini, katanya, pihak keluarga korban menolak. Sebagai pembanding kemudian didatangkan Dr Tutut Purwanto untuk melakukan proses autopsi. Hasilnya, tuturnya, sesuai harapan keluarga yaitu korban dinyatakan meninggal karena dibunuh. Hal ini dibuktikan dengan luka-luka yang ditemukan di sekujur tubuh korban.
Kembali menurutnya, perbedaan hasil autopsi ini membuat kepercayaan keluarga pada Polres Muna luntur. Mereka selanjutnya berniat melaporkan kasus tersebut ke Polda Sulawesi Tenggara, tetapi dihadang oleh aparat setempat. Petugas kepolisian ditempatkan di beberapa titik penyeberangan kapal karena untuk mencapai Polda Sultra harus ditempuh melalui pelayaran selama satu hari satu malam.
Namun Al Fa’an menuturkan berhasil lolos dari hadangan itu karena menumpang kapal nelayan. Untuk itu ia berangkat sekitar pukul lima pagi dan menempuh jarak hingga 154 km sebelum akhirnya sampai di Kendari pada malam hari. Setelah itu, ia langsung melaporkan kasus ini ke Polda Sultra. Menurutnya, Kapolda langsung memerintahkan agar segera dilakukan visum et repertum dan autopsi.baca selengkapnya...

Sumber: www.law-justice.co

0
584
1
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan