- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Penggugat "Presidential Threshold" Ajukan Argumentasi Tambahan ke MK


TS
lucy...pinder
Penggugat "Presidential Threshold" Ajukan Argumentasi Tambahan ke MK
Quote:
JAKARTA, KOMPAS.com - Sebanyak 12 orang pemohon uji materi Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum mengajukan argumentasi tambahan ke Mahkamah Konstitusi.
Hal itu untuk memenuhi syarat perbaikan dalam sidang pendahuluan beberapa waktu silam.
"Kami berusaha secepat mungkin memperbaiki permohonan dengan memerhatikan masukan-masukan dari sidang pendahuluan yang telah kami lakukan. Karena kami ingin juga MK melanjutkan proses persidangan ini dengan cepat," ujar salah satu pemohon, Hadar Nafis Gumay di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Jumat (6/7/2018).
Menurut Hadar, dasar argumentasi yang diajukan hampir sama dengan permohonan sebelumnya.
Namun, pemohon menambah argumentasi lain yang belum pernah digunakan pada uji materi sebelumnya.
Argumentasi tambahan itu merupakan pasal 6A ayat 3 dan 4 Undang-Undang Dasar 1945.
Bunyi ayat 3: Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden.
Sementara ayat4: Dalam hal tidak ada pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih, dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum dipilih oleh rakyat secara langsung dan pasangan yang memperoleh suara rakyat terbanyak dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden.
"Di dua ayat tersebut sangat jelas pemilihan kita seperti apa, yaitu sistem pemilihan dua putaran. Dimana kalau pasangan presiden dan wakil presiden tidak bisa ditetapkan, maka harus digelar pemilihan putaran kedua," kata Hadar.
Dalam dua ayat tersebut, kata dia, memungkinkan adanya keragaman pasangan calon presiden dan wakil presiden. Hal itu yang dinilainya bertentangan dengan kondisi pemilihan belakangan ini yang hanya diikuti oleh sedikit pasangan.
"Padahal sistem dua putaran kita itu dibuka konstitusi kita untuk banyak menerima banyak pasangan calon yaitu seperti pasal 6A di ayat 1 dan 2-nya, dimana diajukan partai politik baik sendiri atau gabungan peserta pemilu," ujar Hadar.
"Jadi sinkron sekali pengaturan dalam konstitusi kita ini, bahwa yang mengajukan bisa banyak dan sistem pemilihannya dua pemutaran yang membuka luas pasangan calon bisa banyak," lanjutnya.
Ia menilai, jika Pasal 222 UU Pemilu terus dipertahankan, akan menghambat pelaksanaan pemilihan dua putaran. Dengan demikian, Hadar menyimpulkan pasal itu bertentangan dengan konstitusi.
"Kalau kita teruskan Pasal 222 itu akan menghambat dua putaran itu tidak perlu dilaksanakan. Menurut hemat kami ini bertentangan dengan konstitusi. Kira-kira itu tambahan alasannya dan juga batu uji ayatnya," ujar dia.
Hadar optimistis MK bisa memutuskan perkara ini sebelum tahapan pendaftaran capres-cawapres 2019 dimulai. Selain itu, ia juga optimistis MK mengabulkan dan membatalkan pasal 222 tersebut.
"Dengan demikian menjamin dan melindungi hak konstitusional para pemohon dan seluruh rakyat Indonesia agar tidak dirugikan," ujar dia.
Dalam dokumen permohonannya, ada penguatan argumentasi permohonan yang berbeda, yaitu:
1) Pasal 222 UU 7/2017 menambahkan syarat ambang batas pencaionan yang berpotensi menghllangkan potensi lahirnya pasangan capres dan cawapres alternatif, yang sebenamya telah diantislpasi dengan sangat lengkap bahkan melalui sistem pilpres putaran kedua, sehingga pasal a quo bertentangan dengan pasai 63 ayat (3) dan ayat (4) UUD 1945;
2) Syarat pengusulan calon presiden oleh parpol sudah sangat lengkap diatur dalam UUD 1945, karenanya seharusnya adalah close legal policy bukan open legal policy, sehingga pasal 222 UU 7/2017 bertentangan dengan pasal 6 ayat (1), pasal 6 ayat (2), pasal 6a ayat (1), pasal 6a ayat (2), pasal 6a ayat (3), pasal 6a ayat (4), pasal 6a ayat (5), pasal 22a ayat ( 1), pasal 229 ayat (2), pasal 229 ayat (6), dan pasal 28d ayat (1) UUD 1945;
3) Pasal 222 UU 7/2017 bukanlah constitutional engineering, tetapi justru adalah constitutional breaching karena melanggar pasal 6 ayat (2), pasal 6a ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), pasal 22a ayat ( 1) clan (2), serta pasal 28d ayat (1) UUD 1945;
4) Penghitungan presidential threshold berdasarkan hasil pemilu DPR sebelumnya telah menghilangkan esensi pelaksanaan pemilu dan karenanya pasal 222 UU 7/2017 bertentangan dengan pasal 22e ayat (1), (2) den (6) UUD 1945;
5) Pasal 222 UU 7/2017 mengatur syarat capres, dan karenanya bertentangan dengan pasal 6A ayat (5) UUD 1945 yang hanya mendelegasikan pengaturan “tata cara";
6) Pengaturan delegasi syarat capres ke UU ada pada pasal 6 ayat (2) UUD 1945, dan tidak terkait pengusulan oteh parpol, sehingga pasal 222 UU 7/2017 yang mengatur syarat capres oleh parpol bertentangan dengan pasal 6 ayat (2) UUD 1945;
7) Presidential threshold menghilangkan esensi pemilihan presiden, karena lebih berpotensi menghadirkan capres tunggal, sehingga bertentangan dengan pasal 6A ayat (1), (3), dan (4} UUD 1945;
8) Kalaupun pasal 222 UU 7/2017 dianggap tidak langsung bertentangan dengan konstitusi, quod non-tetapi potensi pelanggaran konstitusi sekecil apapun yang disebabkan pasal tersebut harus diantisipasi mahkamah, agar tidak muncul ketidakpastian hukum yang bertentangan dengan pasal 28D ayat (1) UUD 1945;
9) Pengusulan capres dilakukan oleh partai potitik peserta pemilu yang akan berlangsung bukan pemilu anggota DPR sebelumnya, sehingga pasal 222 UU 7/2017 bertentangan dengan pasal 6A ayat (2) UUD 1945;
sumur
Hal itu untuk memenuhi syarat perbaikan dalam sidang pendahuluan beberapa waktu silam.
"Kami berusaha secepat mungkin memperbaiki permohonan dengan memerhatikan masukan-masukan dari sidang pendahuluan yang telah kami lakukan. Karena kami ingin juga MK melanjutkan proses persidangan ini dengan cepat," ujar salah satu pemohon, Hadar Nafis Gumay di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Jumat (6/7/2018).
Menurut Hadar, dasar argumentasi yang diajukan hampir sama dengan permohonan sebelumnya.
Namun, pemohon menambah argumentasi lain yang belum pernah digunakan pada uji materi sebelumnya.
Argumentasi tambahan itu merupakan pasal 6A ayat 3 dan 4 Undang-Undang Dasar 1945.
Bunyi ayat 3: Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden.
Sementara ayat4: Dalam hal tidak ada pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih, dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum dipilih oleh rakyat secara langsung dan pasangan yang memperoleh suara rakyat terbanyak dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden.
"Di dua ayat tersebut sangat jelas pemilihan kita seperti apa, yaitu sistem pemilihan dua putaran. Dimana kalau pasangan presiden dan wakil presiden tidak bisa ditetapkan, maka harus digelar pemilihan putaran kedua," kata Hadar.
Dalam dua ayat tersebut, kata dia, memungkinkan adanya keragaman pasangan calon presiden dan wakil presiden. Hal itu yang dinilainya bertentangan dengan kondisi pemilihan belakangan ini yang hanya diikuti oleh sedikit pasangan.
"Padahal sistem dua putaran kita itu dibuka konstitusi kita untuk banyak menerima banyak pasangan calon yaitu seperti pasal 6A di ayat 1 dan 2-nya, dimana diajukan partai politik baik sendiri atau gabungan peserta pemilu," ujar Hadar.
"Jadi sinkron sekali pengaturan dalam konstitusi kita ini, bahwa yang mengajukan bisa banyak dan sistem pemilihannya dua pemutaran yang membuka luas pasangan calon bisa banyak," lanjutnya.
Ia menilai, jika Pasal 222 UU Pemilu terus dipertahankan, akan menghambat pelaksanaan pemilihan dua putaran. Dengan demikian, Hadar menyimpulkan pasal itu bertentangan dengan konstitusi.
"Kalau kita teruskan Pasal 222 itu akan menghambat dua putaran itu tidak perlu dilaksanakan. Menurut hemat kami ini bertentangan dengan konstitusi. Kira-kira itu tambahan alasannya dan juga batu uji ayatnya," ujar dia.
Hadar optimistis MK bisa memutuskan perkara ini sebelum tahapan pendaftaran capres-cawapres 2019 dimulai. Selain itu, ia juga optimistis MK mengabulkan dan membatalkan pasal 222 tersebut.
"Dengan demikian menjamin dan melindungi hak konstitusional para pemohon dan seluruh rakyat Indonesia agar tidak dirugikan," ujar dia.
Dalam dokumen permohonannya, ada penguatan argumentasi permohonan yang berbeda, yaitu:
1) Pasal 222 UU 7/2017 menambahkan syarat ambang batas pencaionan yang berpotensi menghllangkan potensi lahirnya pasangan capres dan cawapres alternatif, yang sebenamya telah diantislpasi dengan sangat lengkap bahkan melalui sistem pilpres putaran kedua, sehingga pasal a quo bertentangan dengan pasai 63 ayat (3) dan ayat (4) UUD 1945;
2) Syarat pengusulan calon presiden oleh parpol sudah sangat lengkap diatur dalam UUD 1945, karenanya seharusnya adalah close legal policy bukan open legal policy, sehingga pasal 222 UU 7/2017 bertentangan dengan pasal 6 ayat (1), pasal 6 ayat (2), pasal 6a ayat (1), pasal 6a ayat (2), pasal 6a ayat (3), pasal 6a ayat (4), pasal 6a ayat (5), pasal 22a ayat ( 1), pasal 229 ayat (2), pasal 229 ayat (6), dan pasal 28d ayat (1) UUD 1945;
3) Pasal 222 UU 7/2017 bukanlah constitutional engineering, tetapi justru adalah constitutional breaching karena melanggar pasal 6 ayat (2), pasal 6a ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), pasal 22a ayat ( 1) clan (2), serta pasal 28d ayat (1) UUD 1945;
4) Penghitungan presidential threshold berdasarkan hasil pemilu DPR sebelumnya telah menghilangkan esensi pelaksanaan pemilu dan karenanya pasal 222 UU 7/2017 bertentangan dengan pasal 22e ayat (1), (2) den (6) UUD 1945;
5) Pasal 222 UU 7/2017 mengatur syarat capres, dan karenanya bertentangan dengan pasal 6A ayat (5) UUD 1945 yang hanya mendelegasikan pengaturan “tata cara";
6) Pengaturan delegasi syarat capres ke UU ada pada pasal 6 ayat (2) UUD 1945, dan tidak terkait pengusulan oteh parpol, sehingga pasal 222 UU 7/2017 yang mengatur syarat capres oleh parpol bertentangan dengan pasal 6 ayat (2) UUD 1945;
7) Presidential threshold menghilangkan esensi pemilihan presiden, karena lebih berpotensi menghadirkan capres tunggal, sehingga bertentangan dengan pasal 6A ayat (1), (3), dan (4} UUD 1945;
8) Kalaupun pasal 222 UU 7/2017 dianggap tidak langsung bertentangan dengan konstitusi, quod non-tetapi potensi pelanggaran konstitusi sekecil apapun yang disebabkan pasal tersebut harus diantisipasi mahkamah, agar tidak muncul ketidakpastian hukum yang bertentangan dengan pasal 28D ayat (1) UUD 1945;
9) Pengusulan capres dilakukan oleh partai potitik peserta pemilu yang akan berlangsung bukan pemilu anggota DPR sebelumnya, sehingga pasal 222 UU 7/2017 bertentangan dengan pasal 6A ayat (2) UUD 1945;
sumur
Mudah2an jebol sebelum 4 agustus, amin

0
2.6K
Kutip
54
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan