azizm795Avatar border
TS
azizm795
Kiriman Beha dan Celana Dalam untuk Trisakti Sebelum Tragedi 12 Mei 1998
Saat penembakan yang menewaskan mahasiswanya— Elang Mulia, Hafidin Royan, Hendriawan Sie, dan Hery Hartanto—pada [url=http://12%20mei%201998/][color=#b20202]12 Mei 1998[/color][/url], warga [url=http://trisakti/][color=#b20202]Trisakti [/color][/url]sebenarnya baru saja terjaga dari tidur panjangnya. Sebelumnya,  telah berbulan-bulan kampus-kampus   di Tanah Air berunjuk rasa  mengartikulasikan penderitaan rakyat yang terus bertambah akibat belitan krisis ekonomi, sementara perguruan tinggi di Jl. Kyai Tapa, Jakarta, ini berpangku tangan saja laksana  berada di dunia lain. Seperti otokritik Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Kedokteran, M. Leonardo, di kitab Trisakti Mendobrak Tirani Orde Baru—Rene L. Pattiradjawane (Penerbit Yayasan Trisakti, Mei 1999), kala itu ‘terasa susah banget untuk dapat membangkitkan sense of crisis pada para mahasiswa.”
Baca juga : Menagih Janji Wiranto
Aksi baru ada di sana pada 23 Maret 1998, dirancang oleh Senat Mahasiswa Universitas Trisakti (SMUT) yang merupakan organ utama. Hari itu di plaza kampus 9 ketua senat fakultas bergantian membacakan pernyataan berjudul ‘Seruan Keprihatinan Mahasiswa Trisakti Terhadap Nasib Bangsa’. Dalam pernyataan itu ditegaskan bahwa ‘Aksi Mahasiswa Trisakti adalah aksi moral dan intelektual yang berlandaskan kebenaran dan keadilan bagi kepentingan rakyat’.
Presiden Soeharto menjadi sorotan dunia (foto: P. Hasudungan Sirait)
Baca juga : Jokowi Temui Aksi Kamisan, Kemajuan Untuk HAM atau Pencitraan
Pada kesempatan itu berbicara juga Andi Andojo Soerjadi (Dekan Fakultas Hukum yang pernah menjadi anggota Mahkamah Agung) dan Chairuman Armia (Dekan Fakultas Ekonomi). Keduanya sepandangan dengan mahasiswa bahwa kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN) harus segera diakhiri.
Desakan sejumlah mahasiswa seusai acara agar mereka turun ke jalan, ditampik SMUT dengan alasan: tidak ada disain seperti itu. Komprominya adalah cukup mengitari kampus dengan berjalan kaki saja agar tidak didompleng pihak luar.  
Baca juga : Anak Tentara yang Tewas di Ujung Peluru Aparat
Kampus Trisakti kembali adem-ayem setelah acara pembacaan pernyataan sikap dan menapak seputaran kampus. Sampai terbetik kemudian, pada April, kabar bahwa mereka mendapat kiriman beha dan celana dalam entah dari siapa. Kiriman gelap itu tentu merupakan sindiran bahwa betapa bancinya—kalau menurut istilah anak zaman nowchicken-nya—mereka.
SMUT masih memilih  dialog dan mimbar bebas di kandang sendiri daripada turun ke jalan. Mereka tetap berhati-hati sebab otoritas kampusnya sedemikian jauh belum juga bersikap menanggapi keadaan yang kian memburuk di negeri ini.  Sikap itu tak berubah meski pada Hari Pendidikan 2 Mei mahasiswa pelbagai perguruan tinggi Jakarta telah bentrok dengan aparat keamanan di kampus IKIP [kini: Universitas Negeri Jakarta], Rawamangun.
Pada 4 Mei 1998 pemerintah mengumumkan kenaikan harga BBM. Menyahutinya, esoknya SMUT mengeluarkan pernyataan ‘Sikap Mahasiswa Universitas Trisakti: Perihal Keputusan Pemerintah mengenai Kenaikan BBM, Tarif Angkutan Umum,  dan Tarif Listrik’. Intinya, mereka meminta agar tambahan harga BBM, listrik, dan tarif kendaraan umum dibatalkan.
Penaikan harga BBM membuat banyak kampus bertambah bergolak. Pada 5-6 Mei bentrokan yang melibatkan mahasiswa dan tentara-polisi terjadi di Jember, Yogyakarta, dan Jakarta. 
Masih pada 6 Mei, aksi mahasiswa berubah menjadi kerusuhan besar di Medan dan kitarannya. Penjarahan dan pembakaran  yang menyasar kaum Tionghoa berlangsung dengan cepat. Sebelumnya, pada 25 April kampus Universitas Sumatra Utara (USU) menjadi ajang perbenturan mahasiswa dengan aparat negara. Akibatnya, sejak 29 29 April kampus ini diliburkan. Begitupun, konfrontasi berlanjut karena mahasiswa USU dan perguruan tinggi lain tetap turun ke jalan.
Melihat perkembangan yang makin panas di seantero negeri, otoritas Trisakti akhirnya bersikap. Pada 7 Mei Senat Universitas bersidang, dipimpin Rektor Prof. R. Moedanton Moertedjo. Dalam pernyataan yang dibacakan Rektor yang juga Ketua senat, peserta sidang—45 dari total 58 anggota—menyatakan mendukung mahasiswa –khususnya warga Trisakti—yang menyuarakan aspirasi rakyat banyak. Membaca tanda-tanda zaman, mereka juga sepakat membentuk Crisis Center. Ketuanya Adi Andojo Sutjipto.
Dukungan Senat Universitas ini menjadi suntikan moral bagi SMUT. Begitupun,  mereka tidak serta-merta menjadi progresif. Mereka tetap masih memilih jalur dialog dan mimbar bebas di kampus.  
Demonstrasi mahasiswa berlangsung di banyak kota pada 8 Mei. Bentrokan terjadi di Solo, Yogyakarta, Samarinda, dan Jakarta. Di Solo 125 orang terluka. Di Yogyakarta, aparat mengejar mahasiswa hingga ke kampus UGM dan Sanata Dharma. Tujuh mahasiswa ditangkap dan 1 tewas yakni Moses Gatotkaca, mahasiswa Sanata Dharma.

Gelombang aksi mahasiswa (foto: P. Hasudungan Sirait)
Masih pada 8 Mei berlangsung unjuk rasa yang melibatkan kampus-kampus swasta di kitaran kampus Trisakti, di Jl. Kyai Tapa, Grogol.    Bergerak dari kampus STMIK, para demonstran kemudian berhenti di sisi pagar Trisakti. Tujuannya,  memprovokasi agar para mahasiswa yang di dalam keluar dan bergabung. SMUT membentengi sehingga ajakan tak bersambut.
Seusai kejadian itu SMUT melabrak Kelompok Studi Trisakti (KST). Pasalnya, yang terakhir ini ada di barisan kelompok pengunjuk rasa di luar pagar. Kecil tapi progresif, KST tidak menyukai sikap lembek SMUT, organisasi resmi mahasiswa yang paling besar tapi anak ‘mami’.Baca selengkapnya...

Sumber: www.law-justice.co

tien212700Avatar border
tien212700 memberi reputasi
1
3.8K
18
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan