Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

purwosoeAvatar border
TS
purwosoe
Media Sosial Referensi Utama Masyarakat dalam Berpolitik

Sejak awal kemunculannya, media sosial sudah diprediksi akan ikut andil dalam kontestasi politik di suatu negara. Media sosial yang semula hanya dijadikan alat komunikasi untuk membangun pertemanan dan persaudaraan, lama ke lamaan berubah fungsi untuk kepentingan keamanan, ekonomi dan juga politik. Tak heran saat ini dunia politik mampu menangkap fenomena media sosial sebagai bagian penting dari kampanye politik yang tidak bisa lagi dipisahkan. Paling tidak, media sosial sudah bisa merubah wajah demokrasi di negeri ini.


Ada beberapa alasan kenapa gerakan politik lebih banyak memanfaatkan media sosial untuk kepentingan kampanye atau penggirigan opini. Pertama bisa jadi kampanye di media sosial lebih efektif, murah, cepat, dan efisien. Pengaruhnya juga begitu kuat, masyarakat yang sudah terkena dampak dari strategi kampanye seseorang, maka dia dengan sendirinya akan ikut menyebarkan konten-konten yang berisi menyerang atau memuji salah satu pasangan calon tertentu. Konten itu akan menjadi pesan berantai.

Di Indonesia sendiri sudah sejak dua pemilihan umum nasional terakhir (2009 dan 2014) media sosial menjadi suatu ranah baru yang perlu diperhitungkan. Silakan dicermati, dalam dua pemilu terakhir itu kita melihat penggalangan massa kampanye dalam bentuk pawai, pertemuan besar di lapangan terbuka, dan sebagainya, mendapat saingan berat dengan adanya media sosial, yang telah menghasilkan lapangan baru untuk berkompetisi, saling cari simpati, serta mencerca para pesaing. Sentimen pribadi dan kelompok justru kadang lebih kuat dirasakan di media sosial ketika berbicara politik. 2014 misalnya, semua bahkan hampir terbelah.

Karena itu tidak berlebihan jika dikatakan demokrasi menjadi tanpa batas ketika sudah bersentuhan dengan media sosial. Budayawan Muhammad Ainun Najib atau Cak Nun pun pernah menyatakan bahwa media sosial adalah dunianya para pengecut. Seseorang bisa berbicara seenaknya sendiri karena secara fisik mereka tidak saling mengenal. Mereka bisa menghilang dan datang kapan saja. Situasi semacam ini kadang kala sampai pada tahap orang sudah banyak yang tidak lagi percaya dengan konten-konten yang disebar di media sosial karena marak berisi hoax dan ujaran kebencian.

Namun bagi yang tak punya daya filter yang bagus, kurang baca dan memahami isu politik mereka gampang percaya dan terbawah arus. Setidaknya media sosial pernah tampil dengan suatu harapan bahwa mereka akan memberikan pencerahan pada dunia politik, penyampaian informasi yang akurat, dan komunikasi yang tak henti-hentinya ditujukan untuk membantu orang-orang baik untuk memberantas korupsi, memerangi kebodohan, serta mengungkap kebohongan’. Kenyataannya, harapan tadi tinggallah harapan yang menjadi niatan baik, tetapi sulit terwujud, bahkan sebaliknya media sosial banyak berisi hoax dan cacian.

Meski banyak bertabur kabar hoax, namun tetap saja media sosial masih menjadi referensi utama bagi masyarakat untuk membaca kecenderungan politik seseorang. Saat ini orang tidak lagi hanya mengandalkan media televisi, maupun koran dalam mencari referensi politik. Hal ini berkaca pada pemilihan umum di Amerika pada 2015, data yang dikutip Majalah Inggris The Economist menunjuk pada kenyataannya banyak sekali warga Amerika yang mengakses misinformasi yang dilakukan Rusia dalam platform seperti Facebook dan kanal Youtube.

The Economist menambahkan fenomena politik menjadi makin buruk tidak hanya terjadi di Amerika, tetapi juga di Spanyol dan Afrika Selatan. Benar saja bahwa kecenderungan seseorang untuk membaca perkembangan politik di media sosial memang begitu kuat. Di Indonesia juga demikian gejala itu sudah terlihat. Semua partai dan hampir seluruh politisi sudah memiliki media sosial untuk kepentingan kampanye atau pencitraan. Dan semua dikelola dengan baik, ada yang bersifat pribadi ada juga yang menggunakan admin. Mereka jadikan media sosial sebagai alat komunikasi politik dengan konstituen. Mereka saling berbagi informasi tentang dunia politik.

Hanya saja masyarakat di Indonesia, kecenderungannya ketika mereka mencari informasi politik biasanya hanya mau mendengarkan informasi yang datang dari kelompok tertentu atau yang sepaham dengan mereka. Sedangkan informasi yang datang dari kelompok lain mereka cenderung menolak. Ini kadang yang berbahaya masyarakat sudah sedemikian rupa digiring untuk bersikap tertutup, merasa dirinya dan kelompoknya paling benar sedang di luar itu salah. Akibatnya sering terjadi permusuhan di media sosial, kabar hoax bisa dianggap bener, kabar yang bener juga bisa dianggap hoax, bila mereka tidak lagi memiliki kesadaran bahwa semua adalah bagian strategi politik yang dimainkan oleh politisi dan pihak tertentu.

Tentu ini menjadi tugas bersama, di saat masyarakat sedikit sekali yang abai tentang persoalan itu. Pemerintah melalui alat penggeraknya seperti KPU dan Bawaslu harus juga memiliki peran dan strategi yang matang untuk meminimalisir adanya pelanggaran Pemilu di media sosial. Sekaligus terus berupaya memberikan pemahaman dan ajakan kepada masyarakat agar bisa menjalankan prinsip demokrasi yang baik di media sosial. Karena suksesnya Pemilu tidak diukur dari banyaknya masyarakat yang memilih, namun juga semakin banyaknya pelanggaran, dan semakin baiknya sistem demokrasi di masyarakat. 

Sumber : ObsessionNews.com

Baca juga artikel tentang Buzzer Politik :
Spoiler for :
Diubah oleh purwosoe 04-07-2018 06:09
0
565
3
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan