azizm795Avatar border
TS
azizm795
Benang Kusut Reklamasi Pantai Balauring NTT (2)
Pengantar redaksi: sejumlah pihak menuding Bupati Lembata, Eliaser Yentji Sunur melakukan tindak pidana korupsi dalam proyek reklamasi pantai Balauring yang  dikerjakan pada Maret 2018 lalu. Proyek yang diduga merupakan proyek pribadi sang bupati ini telah dilaporkan Lembaga Bantuan Hukum Sikap Lembata ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Baca juga : Bupati Lembata NTT Mereklamasi Pantai untuk Proyek Pribadi? (I)
 
Proyek reklamasi pantai Balauring di Kabupaten Lembata, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) berdampak secara sosial terhadap penduduk Lembata yang hidup di sekitaran pantai. Hal itu dirasakan oleh masyarakat adat Dolulolong.
Baca juga : Soal Penyegelan Pulau D, Luhut Mengaku Tidak Tahu
Mei lalu, masyarakat adat Dolulolong telah menempuh jalur hukum dengan menggugat secara perdata Bupati Eliyaser Yentji Sunur terkait reklamasi pantai Balauring dan pembukaan jalan wisata lintas Lohu. Gugatan didaftarkan di Pengadilan Negeri Lembata pada Senin, 21 Mei 2018 dengan register perkara Nomor : 8/Pdt.G/2018/PN/Lbt tgl 21 Mei 2018.
Kuasa hukum masyarakat adat Dolulolong, Akhmad Bumi menjelaskan dalam gugatan perdata tersebut, terdapat dua objek gugatan yang dilayangkan kepada bupati Eliyaser Yentji Sunur. Keduanya adalah reklamasi pantai Balauring dan pembukaan jalan wisata lintas Lohu sepanjang 7 kilometer yang dinilai merugian masyarakat adat. 
Baca juga : Revisi Perpres 54 Tahun 2008, Pemerintah akan Lanjutkan Proyek Reklamasi
“Saya sebagai kuasa hukum, melawakili masyarakat adat Dolulolong telah mengajukan gugatan secara perdata kepada Bupati Eliyaser Yentji Sunur karena reklamasi dan pembukaan jalan itu di atas ulayat masyarakat adat Dolulolong,” ujar Akhmad Bumi saat dikonfirmasi Law-justice.co, Jumat (29/6). 
Secara rinci Akhmad menjelaskan, sedikitnya ada sekitar 400 jiwa masyarakat adat Dolulolong dirugikan atas pengerjaan proyek itu karena tidak persetujuan dan pemberitahuan dari pihak bupati Lembata. Masyarakat adat merasa kaget lantaran lahan tanahnya  mengalami pencaplokan tanpa melalui biaya ganti rugi dan mekanisme hukum apapun.
“Jadi masyarakat adat Dolulolong tidak pernah diberitahu, dikonfirmasi, dimintai persetujuan apapu. Tiba-tiba aja ada pengerjaan proyek di atas lahan masyarakat,” kata Akhmad.
Secara perundang-undangan, kata Akhmad, hak ulayat telah diakui negara melalui UU No. 5 Tahun 1960 atau UU Pokok Agraria (UUPA) mengakui adanya Hak Ulayat. Sedangkan kaitannya dengan reklamasi, keberadaan masyarakat adat diatur dalam UU Nomor 1 tahun 2014 dan Peraturan Presiden Nomor 122 tahun 2012 tentang Reklamasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.
Dalam sidang perdana perkara gugatan masyarakat adat Dolulolong di Pengadilan Negeri Lembata pada Rabu (30/5), Bupati Eliyaser Yentji Sunur berhalangan hadir. Oleh karena itu, ketua majelis hakim, Yogi Dulhadi menunda persidangan. Sayangnya, tergugat kembali berhalangan hadir sampai memasuki sidang ke 3 kalinya.
Sekarang sudah masuk sidang ke 3 tapi tergugat Eliyaser Yentji Sunur selalu berhalangan hadir. Padahal dalam hal ini pihak tergugat harus hadir. Terpaksa persidangannya ditunda sampai besok pada 3 Juli 2018,” kata Akhmad.
Selain itu, menurut Akhmad bahwa pembangunan jalan wisata lintas Lohu dibangun menggunakan anggaran Kementrian Desa (Kemendes) melalui program pembangunan desa tertinggal. Persoalannya, kata dia, hal tersebut tidak diketahui oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Lembata.
“Lokasi proyek itu harus berdasarkan pengetahuan DPRD karena masuk dalam aset daerah. Namun kenyataannya DPRD tidak mengetahui baik proyek reklamasi dan jalan wisata,” imbuh Akhmad.
Sementara itu, Ketua DPRD Kabupaten Lembata Ferdinandus Koda mengatakan persoalan ini bermula ketika Bupati Eliaser Yentji Sunur mengajukan pendahuluan perubahan Anggara Pendapatan Belanja Daerah (APBD) pada 10 Januari 2018 lalu. Padahal, APBD untuk tahun 2018 baru saja disahkan pada 30 Desember 2017.
Perubahan anggaran APBD itu, kata Koda, didasari pada dua alasan utama. Pertama, pemerintah Kabupaten Lembata ingin menyesuaikan anggaran dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) 2017-2021.
Kedua, Bupati Yentji ingin mengubah penyerapan anggaran, yang selama ini persentasenya 60 persen untuk belanja aparatur, dikurangi hanya 40 persen.Baca selengkapnya.....

Sumber: www.law-justice.co

0
848
7
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan