chikiboysAvatar border
TS
chikiboys
Om Ganteng








Sudah 3 hari ayah menunggu permohonan agar rumah kami yang berada di daerah proyek waduk tidak kena gusur oleh pemerintah daerah. Dengan berbekal surat tanah dan beberapa surat-surat yang tidak kuketahui ayah pergi ke kantor pertanahan sambil mengajakku. Ketika kami memasuki kantor itu, ayah menghampiri seorang lelaki yang sedang bersantai di balik meja kerjanya sambil menyeruput kopi. Ayah menyapa beliau dengan sopan menjelaskan maksud kedatangannya.




Quote:



Lelaki yang berwajah sok tidak peduli itu mengangkat bahunya. Kemudian kami pulang dan ayah tampak kecewa dengan perasaan berkecamuk di hatinya. Entah karena soal tanah tersebut atau sikap si lelaki tersebut. 

Namun yang kuketahui dari berita yang beredar dari kantor lurah saban hari, terlihat jelas dari peta proyek yang ditempel pada mading depan kantor tersebut bahwa rumah kami berada di tengah proyek waduk tersebut. Dan imbasnya jika rumah kami terkena penggusuran, maka uang kompensasi yang diberikan hanya untuk biaya hidup selama 9 bulan, setelah itu tidak ada lagi uang ganti rugi lainnya. Belum lagi ayah seorang sortir surat di pelabuhan dan hanya digaji Rp 75.000 perbulannya. Sementara ibuku seorang penjual kue yang setiap jam 2 malam selalu menyiapkan segalanya agar paginya kue-kue tersebut bisa langsung dijual. Hal ini menjadi jalan pikirku agar aku bisa membantu kedua orang tuaku yang berada di tengah krisis. Kucoba setiap pekerjaan mulai dari loper koran, peniris bensin, pengamen, bahkan calo tiket kapal. Setiap pekerjaaan kukerjakan pada pagi hari agar siangnya aku bisa sekolah. Aku tidak ingin menjadi anak semata wayang yang hanya menjadi sampah di tengah orang-orang ini yang berjuang demi masa depanku. Walaupun kurasa diriku hanya akan bernasib sama seperti ayahku : bekerja selama 10 jam dan memelototi setiap alamat surat lalu menyortirnya berdasarkan wilayah agar setiap orang dapat memperoleh kabar dari keluarga, sahabat, atau orang terdekat mereka dalam jarak ratusan bahkan ribuan kilometer. Menurutku pekerjaan tersebut sangat mengerikan dan amanahnya jauh lebih berat ketimbang para wakil rakyat kita yang selalu meneriakkan omong kosongnya di setiap sidang. Namun jika aku mengatakan hal seperti itu dengan lantang, polisi akan siap menangkapku saat ini juga. Ajaib sekali bukan?

Om Ganteng, sebut saja begitu. 43 tahun usianya dan sudah menduda sejak 9 tahun silam. Ayahku sudah menganggap beliau seperti saudaranya. Aku sudah mengenal lelaki Betawi ini bahkan sejak diriku berumur 3 tahun. Ia agamais dan tilawah-nya begitu merdu. Dia sering datang ke kampung kami jika ada acara hajatan atau khitanan. 6 bulan terakhir ini ia menjadi marbot musholla di seberang kampung kami. Om Ganteng datang ke rumah kami dengan mengucapkan Assalamu’alaikumdan disambut oleh ayahku. Kemudian beliau berbicara mengenai perihal beliau kemari.




Quote:


Ayah menuju ke dapur menemui ibu dan mengajaknya berunding mengenai hal itu. Ibu merasa ada baiknya jika kita menunggu hingga pemerintah memberi ganti rugi. Akhirnya ayahku meminta maaf pada Om Ganteng karena belum bisa menyetujui penawarannya.

“Ya sudah, nanti kapan-kapan kalau butuh saya langsung hubungi saya aja ya.” Katanya.

Hari demi hari berlalu menuju sehari sebelum penggusuran kampung kami. Sebagian keluarga mulai mengemas barang-barang di rumahnya untuk dibawa ke kampung atau rumah kerabatnya, sebagian lagi masih bertahan di rumahnya masing-masing, termasuk kami. Pemerintah tak kunjung memberi ganti rugi. Ayahku kembali menghubungi Om Ganteng untuk bisa menumpang di rumahnya sebentar sembari menunggu ganti rugi. Om Ganteng merasa senang tak alang-kepalang. Akhirnya pada hari itu kami memborong beberapa barang seperti pakaian dan surat-surat penting. Ayahku berjanji bahwa kami akan banyak membantu pekerjaannya selagi kami menumpang di rumahnya.

Hari pertama di rumah Om Ganteng aku merasa diriku berada di kalangan agamais. Tiap hari selalu saja ada lantunan ayat al-Qur’an dan ceramah-ceramah. Aku mendengar beberapa kalimat yang diucapkan oleh Om Ganteng yang kuanggap sangat berharga.

“Setiap ucapan, tingkah, dan laku kita akan dicatat oleh Allah pada saat itu juga. Jadi jangan macem-macem hidup di dunia yang udah edan ini.”, katanya.

Di sela-sela waktuku, aku membantunya merapikan kebun musholla atau menyapu rumahnya. Om ganteng memberi upah padaku sebesar 200 perak, namun selalu kutolak pemberiannya. Namun setelah beberapa hari ini tatkala ia mengikuti sebuah ceramah yang mengkritisi kebijakan pemerintah yang saat itu sangat dilarang. Setelah ceramah itu datanglah seorang tentara masuk ke musholla tanpa melepaskan sepatunya dan menginjak al-Qur’an. Hal tersebut langsung diketahui Om Ganteng tatkala beliau sedang membersihkan sampah terkejut lalu menegurnya. Tentara tersebut kemudian marah-marah dan terjadilah pertengkaran mulut antara kedua belah pihak. Orang-orang yang melewati musholla itu langsung datang dan melerai mereka. Namun karena banyak yang sudah tahu mengapa kejadian itu terjadi, semua orang membela Om Ganteng. Tentara itu menerornya bahwa ia akan membunuh Om Ganteng dalam waktu dekat jika ia membocorkan masalah ini pada lurah kampung kami, lalu pergi begitu saja. Hal ini menimbulkan kegelisahaan bagi keluarga kami. Namun Om ganteng  tidak merasa gelisah karena ia yakin bahwa Tuhan akan membantunya dalam menghadapi masalah ini.


Berita tersebut tersampaikan dari mulut ke mulut hingga lurah tahu kejadian ini. Hal ini sebelumnya tidak diketahui Om Ganteng karena ia tidak merasa bersalah sehingga ia beraktivitas seperti biasanya. Tentara tersebut geram dan menyangka bahwa Om Ganteng yang telah membocorkan berita ini. Dini hari ketika aku, ayahku, dan Om Ganteng sedang mengambil air wudhu untuk melaksanakan shalat tahajud, tentara tersebut mengendap-endap di balik pagar musholla mengarahkan senapannya pada punggung Om Ganteng dan menarik pelatuknya. Peluru itu berdesing dan menembus punggung Om Ganteng . Beliau langsung roboh bersimbah darah. Sontak, aku dan ayahku langsung kaget lalu menggoyang-goyangkan badannya, namun beliau sudah pucat membisu. Di tengah derasnya darah yang memancar kami menangis sambil memeluk badannya yang sudah terbujur kaku. Kulihat tentara tersebut kabur mengendap-endap hingga tidak ada yang tahu selain kami berdua. Barulah ketika umat Islam datang menjalankan shalat shubuh semua orang tahu. 



Paginya banyak orang-orang berdatangan untuk melayat dan semua merasa bersedih dengan kepergian Om Ganteng.
 Di saat ku berada pada sebuah menara yang mendekatkan diriku pada Sang Khalik. Sebuah menara yang berasal dari sebuah keluarga, terus dibangun melalui pembelajaran al-Qur’an dan hadits serta kata-kata mutiara dari para kyai, ustadz, mubalig, hingga guru ngaji terus menjulang hingga Tuhan dapat menyentuh menara tersebut. Di saat menara tersebut mulai condong, banyak orang yang serta-merta menahannya. Ialah orang-orang seperti Om Ganteng yang terus menambal setiap dosa-dosa umat di zamannya. Sebuah dimensi telah membawanya menuju ruang dan waktu dimana ia berada pada derajatnya sangat rendah, kemudian diangkat derajatnya oleh Tuhan lalu dibawanya menuju pada derajat tertingginya sehingga Tuhan telah mencatat namanya agar ia berada di tempat terbaik di sisinya.


Sumber tulisan : Karangan pribadi
Sumber gambar : 1 , 2 , 3
 
anasabilaAvatar border
anasabila memberi reputasi
1
1.6K
1
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan