Kaskus

News

BeritagarIDAvatar border
TS
BeritagarID
Sama macetnya, beda kualitas udaranya
Sama macetnya, beda kualitas udaranya
Pengendara melintas di dekat galian kabel listrik di tengah Jalan Gajah Mada, Jakarta, Selasa (15/5/2018)
Setiap hari, penghuni Jakarta dan sekitarnya menghabiskan rata-rata 68 menit di jalan, menurut laporan Uber dan Boston Consulting Group. Mereka yang di jalan berpotensi terpapar udara tak sehat dari emisi kendaraan atau polutan lainnya.

Dari 50 kota termacet di dunia, kualitas udara kota-kota di Asia cenderung sedang (skor indeks 51-100), tidak sehat buat kelompok tertentu (101-150), hingga tidak sehat buat semua kalangan (skor indeks 151-200).

Jakarta, sebagai kota termacet ketiga di dunia menurut Tomtom Traffic Index, punya catatan kualitas udara yang termasuk buruk. Indeks kualitas udaranya mencapai 116. Polutan yang dominan yakni PM10, atau berdiameter 10 mikrometer.

Artinya, kualitas udaranya membahayakan sebagian orang yang menderita penyakit pernafasan. Warga Jakarta tak direkomendasikan untuk beraktivitas di luar ruangan secara terus menerus.

Lembaga pencatat kualitas udara World Air Quality yang berbasis di Tiongkok menunjukkan kawasan di sekitar Kwitang, Jakarta Pusat, paling parah dibandingkan kawasan Kemayoran, dan Kebayoran di Jakarta Selatan.

Pada 5 Juni 2018 sekitar siang hari, Indeks Kualitas Udara di Kwitang menunjukkan angka 160, sementara di Kebayoran 134, dan Kemayoran 76.

Buat semua orang, kualitas udara di Kwitang sudah tak lagi manusiawi untuk dihirup. Di Kebayoran, penderita penyakit pernafasan perlu berhati-hati, sementara kualitas udara di Kemayoran masih bisa ditolerir.

“Kalau yang sedang naik ojek, sebaiknya pakai masker,” ujar Manajer Urban dan Energi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Dwi Sawung, kepada Beritagar.id, Selasa (5/6/2018).

Tim Lokadata Beritagar.id mengolah data kualitas udara di 50 kota termacet di dunia dari World Quality Air. Tiap negara punya detektor untuk mengukur kualitas udara di sekitar alat tersebut. Sayangnya tak semua alat mampu mengukur kadar beragam polutan yang ada di udara.

Di Indonesia, misalnya, alat deteksi hanya mampu mendeteksi polutan jenis partikel PM10. Sementara di London, Inggris atau New York, Amerika Serikat, mampu mendeteksi polutan berdiameter kurang dari PM2,5 dan jenis lain seperti ozon (O3), nitrogen oksida (NO2), dan sulfur (SO2.).

“PM10 dan PM2,5 dominan dari PLTU (Pembangkit Listrik Tenaga Uap) dan solar, kalau untuk kendaraan biasanya adalah NOx dan SO2 serta timbal. Di Indonesia, penggunaan timbal sebenarnya sudah dilarang,” papar Sawung.
Sama macetnya, beda kualitas udaranya
Kualitas bahan bakar
Ukuran terkecil polutan berdiameter sama atau kurang dari 2,5 mikrometer (PM2,5), sesuai rekomendasi World Health Organization (WHO). Ambang batasnya 10 mikrogram per meter kubik (μg/m3) untuk kondisi tahunan, dan 25 μg/m3 untuk harian.

Polutan jenis terkecil tersebut bisa disebabkan oleh polusi udara hasil pembakaran pembangkit listrik, kendaraan bermotor, pesawat, pembakaran kayu di rumah, pembakaran hutan, erupsi volkanik, dan debu. Lantaran bentuknya sangat kecil, cenderung bertahan lama di udara.

Menghirup udara dengan kandungan emisi tersebut bisa menyebabkan peradangan pembuluh darah dan penyempitan arteri ke jantung, sehingga tak lagi mampu membawa oksigen. Dalam jangka panjang, bisa menyebabkan serangan jantung dan stroke.

Namun, kemacetan bukanlah penyebab utama buruknya kualitas udara. Kota dengan kualitas udara terburuk adalah Shanghai, Tiongkok (152) dengan dominasi polutan PM2,5. Padahal kota ini ada di peringkat ke-22 sebagai kota termacet.

Bangkok sebagai kota termacet kedua di dunia—setingkat lebih buruk dari Jakarta—kualitas udaranya justru lebih baik. Paling tidak, orang yang menghirup akan baik-baik saja meski ada polutan pencemar yang terkandung di dalamnya.

Menurut Sawung, kualitas udara di Bangkok lebih bagus, tetapi pada waktu tertentu seperti Maret, April dan Mei, faktor iklim menyebabkan polutan tidak bisa bergerak karena tidak ada angin. Tiongkok mengalami hal yang sama pada musim dingin.

Kota macet di Eropa dan Amerika juga punya kualitas udara yang baik. Di New York, Amerika Serikat, indeks kualitas udara tercatat sangat rendah (10) dibandingkan dengan Los Angeles, Amerika Serikat (70) dan London, Inggris (74).

Di kawasan Australia dan Pafisik, Selandia Baru mencatat rekor polutan terendah dengan indeks 0. Hampir tidak ada polutan yang terkandung di udara di kota Auckland, Selandia Baru. Meski termasuk 50 kota termacet di dunia, Auckland menjadi kota paling bersih dibandingkan yang lain. Apa pasal?

“Di Eropa dan Amerika, mereka menggunakan tipe kendaraan dengan standar emisi Euro IV atau Euro V. Jadi kadar NOx dan SO2 lebih rendan dan polutan lainnya juga. Kalau di Indonesia, standar masih rendah baik dari bahan bakar maupun kendaraan. Kualitas udara jadi lebih buruk,” jelas Sawung.

Uni Eropa mengatur standar emisi gas sejak 1991 dari Euro I hingga Euro VI. Semakin tinggi standar Euro maka semakin sedikit kandungan emisi nitrogen dan sulfur dari hasil pembakaran mesin kendaraan. Artinya, semakin sedikit polutan yang terbuang ke udara.

Standar Euro IV menentukan emisi kendaraan bermesin bensin sebanyak NOx 80 mg/km dan kendaraan bermesin diesel sebanyak NOx 250 mg/km. Untuk standar Euro V, emisi kendaraan mesin bensin dan diesel untuk NOx masing-masing 60 mg/km dan 180 mg/km.

Di Indonesia, tahun lalu Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) meneken beleid Permen KLHK No. 20 tahun 2017 tentang Baku Mutu Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor. Pemerintah menetapkan standar Euro IV di Indonesia.
Sama macetnya, beda kualitas udaranya
Butuh komitmen tinggi
Centre for Environment Law and Policy, University of Yale mengukur upaya negara mengurangi polusi udara dari nitrogen oksida dan sulfur oksida. Kedua polutan ini adalah emisi dominan dari kendaraan bermotor.

Negara maju yang berpendapatan tinggi, sebagian besar punya komitmen tinggi untuk mengurangi pencemaran polusi udara. Mereka pun mampu mengurangi emisi yang dihasilkan dari pembakaran termasuk di antaranya dari kendaraan bermotor.

Prancis sebagai salah satu negara dalam 50 kota termacet di dunia, mencapai pengurangan indeks pencemaran polusi udara hampir sempurna, 96,82.

Di Taiwan yang ibukota negaranya masuk dalam daftar termacet, mencatats skor 89,75. Hal yang sama juga berlaku di Inggris dan Belgia, yang menunjukkan upaya untuk mengurangi polusi udara dengan skor masing-masing 82,87 dan 79,02.

Sementara di negara berkembang, komitmennya cenderung rendah dalam mengurangi emisi pencemar udara itu. Indonesia, misalnya, hanya mencatat skor 47,62, hampir setara dengan Thailand dengan skor 48,79.

“Biasanya orang yang berpendapatan tinggi tidak memikirkan uang, tetapi kesehatan. Mereka menuntut kesehatan dan kondisi lingkungan yang lebih baik. Kalau di Indonesia, tuntutannya beda,” kata Sawung.

Menurut dia, untuk mengurangi emisi dan meningkatkan kualitas udara perlu ada kemauan politik dari pemerintah dan dukungan dari masyarakat. Setidaknya ada tiga hal yang dapat dilakukan.

Pertama, pemerintah perlu efektif dalam menerapkan aturan penggunaan kendaraan bermotor dengan standar emisi Euro IV. Penggunaan bahan bakar motor juga dialihkan menjadi yang lebih ramah lingkungan.

“Pemerintah juga perlu meningkatkan penggunaan transportasi publik. Selama ini transportasi didesain berbeda dengan pola bepergian orang, akhirnya banyak yang terpaksa naik motor,” kata dia.

Solusi kedua yakni penambahan ruang terbuka hijau dengan penanaman pohon yang benar. Untuk menghindari terpaan pejalan kaki terhadap polutan langsung dari kendaraan, perlu ada semak atau perdu di trotoar sebelum ke area pejalan kaki.

Terakhir, pemerintah juga perlu menerapkan biaya parkir yang tinggi di tengah kota. Ini akan menyebabkan orang semakin enggan menggunakan kendaraan pribadi karena biaya parkir yang tinggi. Terutama bila transportasi publik sudah mendukung.

“Di sini parkir murah dan tidak ada hubungannya dengan pengendalian polusi. Padahal, biaya parkir mahal di tengah kota sudah umum di Beijing, Tokyo, London, dan kota besar lainnya,” tutupnya.
Sama macetnya, beda kualitas udaranya


Sumber : https://beritagar.id/artikel/berita/...litas-udaranya

---

Baca juga dari kategori BERITA :

- Sama macetnya, beda kualitas udaranya Kejaksaan jadi penghalang peradilan HAM

- Sama macetnya, beda kualitas udaranya Taktis akan banding setelah gugatan "pidato pribumi" Anies ditolak

- Sama macetnya, beda kualitas udaranya Tak ada larangan polisi masuk kampus, apalagi saat darurat

anasabilaAvatar border
anasabila memberi reputasi
1
584
1
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan