rhsrofiqAvatar border
TS
rhsrofiq
Pengurai Seteguk Madu

          Sejauh bisu tak menjadi kelu, seberapa pijakan tak pernah menghentikanmu melangkah. Aku menamaimu keadaan. Tempat ku berbaring dalam genggaman tangan yang masih kuat. Tak ada asa yang tercipta untuk diagung-agungkan. Apalagi sampai menghardiknya. Kukira kau akan menerima getah dari pohon yang sama sekali engkau tak harapkan keberadaannya. Kau menerima kelengketan dan hal-hal yang membuatmu bersandar di tempat yang sama. Getah-getah itu membuatmu tak menjadi apa-apa. Bahkan hingga saat tuamu datang. Kau menjelma kecewa yang tak ubahnya seperti engkau-engkau terdahulu. Kau membuat diriku iba atas semua kekecewaan dalam hidupmu yang kau tuangkan dalam uraian-uraian khasmu.
Aku bersimpuh pada sebuah gunung tempatku mencari sisa dan jejak-jejak namamu yang hampir tak pernah ku bayangkan bentuknya. Tak pernah ku tahu asalnya. Aku hanya berharap pada setiap telaga yang mampu meneduhkanku dari kepenatan hidup. Di sisi-sisinya tumbuh pohon rindang yang tak pula pernah kau ketahui apakah memang pohon itu tumbuh dan hidup begitu saja. Yang kau percaya adalah anganmu untuk menemukan keteduhan.

        Selayaknya manusia di belahan bumi manapun, aku tak menjadikan sebuah angan-angan sebagai Tuhan dan semerta-merta menuhankan apa saja yang diinginkan. Aku tak pernah paham apabila setiap darimu bukanlah diriku yang satu. Dan aku selalu bertanya-tanya mengapa engkau tak menjadi aku saja. Memberikan kesempatanku untuk menjadimu.
       

         Apabila kau pernah mendengar negeri yang indah. Mengapa engkau tak pernah hidup dalam derita? Padahal aku selalu menjalani penderitaan yang tak kau rasakan. Atau mungkin kau hanya menutupi setiap penderitaanmu yang mungkin juga lebih parah dariku. Namun, kemungkinan-kemungkinan tersebut harusnya dapat dikaji kembali bahwa sebenarnya memang engkau tak pernah menderita. Sesekalinya penderitaanmu ya hanya pada saat kau menemuiku. Kau menemukan kegersangan di tengah paru-paru dunia. Kata orang, paru-paru dunia ada disini. Di tempat adanya hutan yang tak akan habis tujuh turunan. Tempatku menjalani hidupku.


        Aku rasa hutanku tak pernah menjadi apa-apa. Bukankah kau yang telah mengambil hutan-hutanku dan menggerogotinya satu persatu. Sudahlah jujur saja. Aku tak perlu alasan dan pembelaan darimu. Kau tak pernah tahu betapa beruntungnya dirimu dari segala kemewahan yang tak pernah kudapatkan di tempatku berpijak. Dari kilas balik kasihku kepada asa dan angan-angan yang hampir tak pernah muncul. Sekalipun tak pernah.
           Kau datangkan sebuah ekspansi besar-besaran dari tempatmu berasal. Sebagai hadiah yang tak pernah aku lupakan. Sebab kau telah membuat bekas yang tak mungkin dapat kau sembuhkan. Bekas itu ada pada lesung pipiku yang tak lagi membentuk lesung pipi. Kau tak pernah ingat tentang bagaimana kita merajut asa. Bukan hanya aku. Kau pura-pura lupa tentang hitungan langkah yang kau dan aku asah bersama-sama. Kau dengan teganya datang tanpa membawa ketulusan hati. Sebagaimana kau telah simpan sesuatu itu di dalam rakmu bersama sepatu-sepatu usang. Adakah ketulusan hatimu di sejajarkan dengan alas kakimu?
            Lalu, kumulai setiap sesuatu yang kau sejajarkan dengan kaki menjadi sandaran dalam penentuan hidupku untuk ke depannya. Aku tak pernah hentinya mencari sebuah keyakinan hati pada diriku yang tak percaya bahwa engkaulah yang melakukan semuanya. Aku sadar dan paham bahwa kau membentuk hujan-hujan orografis dari puncak tertinggimu. Memberikan aku dan kawan-kawanku sebuah kesempatan. Sayangnya hujanmu hanya datang di saat kau benar-benar berada di puncak tertingginya. Selain itu, aku hanya merasakan hujan-hujan buatan. Dari beberapa pesawat yang menghiasi angkasa dengan asap dan kepulan bau yang tidak sedap. Aku pun baru tesadar bahwa pesawat-pesawatmu itu pun hanya berusaha memadamkan api. Api yang telah membakar hutan-hutanku.
            Hujan selalu membuatku terbiasa dalam menghadapi berbagai penyakit dan kedinginan. Saat hujan, tak seorangpun yang mampu membuatku menggigil. Namun hujan yang kau buat tak ayal membuatku amat kedinginan dan sekaligus membuatku gigil. Airnya yang menyentuh tubuhku amat menusuk dan menyakitkan. Pada hal yang suatu itu aku amat mensyukurinya meski amat menyakitkan. Karena hujan-hujan disini tak pernah menjadi berarti. Apalagi bau-baunya yang busuk telah menggenangiku dalam beberapa tahun kau disana. Berbeda dengan air yang kau hujani pada tubuhku. Seluruhnya membuatku sakit. Sehingga dengan sakit itu aku mampu bersyukur.
                                                               
                                                                                                     ***
Mengeja sebuah namamu adalah mengingat-ingat kepedihan. Aku tak pernah mengerti kepedihan yang seperti apa. Ketika disebutkan namamu maka seluruh bibirku menjadi lemah. Tak berdaya mengucapakan satu atau dua kata. Aku selalu saja dibuatmu terperdaya. Kau yang berasal dari tempat yang tak pernah menjadi asal keberadaanmu itu. Kau hanya menjelaskan bahwa kau berasal dari sebuah tempat yang amat manis. Semanis madu. Di tempat itu kau membuat manis yang tak seperti biasanya.

Kau tak pernah menambahkan sedikit garam atau sejumlah buah asam ke dalam dirimu. Manismu saja sudah cukup dan tak akan pernah dapat digantikan apapun. Kau selalu saja membangga-banggakan kemanisanmu itu. Karena pada akhirnya yang manis akan tetaplah manis. Tak ada hujan atau fenomena apapun jua yang dapat menggantikan sesuatu yang murni menjadi sesuatu yang selain murni. Begitu juga tentang manis yang telah kau miliki. Madu yang setiap orang inginkan murninya kemanisanmu.

Apabila kau menanyakan tentang keirianku kepadamu. Sudah barang tentu aku amat iri kepada kemanisanmu. Kau yang sedari dulu menjadi sebuah pesona yang selalu banyak orang inginkan keberadaannya. Kau tahu betapa mulianya dirimu di antara aku dan kawan-kawanku disini. Kau dengan izin dan keyakinanmu sendiri mampu menjadikan pohon-pohon mengeluarkan getah, membuat gunung-gunung memancarkan hujan yang nantinya menyebabkan pelangi dan kau dapat dengan mudahnya memancarkan kemanisan madu dalam setiap tetes air matamu.

Dan apa yang harus kuperbuat? Kau sudah amat besar bagiku. Aku telah lama menjadi suatu yang sayu. Telah bertahun-tahun menguncup. Tak pernah menghasilkan buah yang bisa dinikmati banyak orang. Tidak sepertimu. Aku hanyalah orang rendahan yang membutuhkan setiap hujan dari puncak-puncakmu, menginginkan melekat denganmu akibat getah-getah yang kau timbulkan, juga mengharap madu yang telah sejak lama kau hasilkan.

Kurasa hanya pelangi yang dapat menambahkan setiap warna dalam hidupku. Oleh sebab itu, aku tak akan mencari pelangi-pelangi lain di mata orang yang tidak aku kenal. Hanya kepadamulah pelangi yang sesungguhnya termaktub di dalam hatiku. Aku ini hanyalah seorang pengurai. Meskipun yang aku urai selama ini adalah madu-madu yang dihasilkan olehmu. Aku tak menginginkan engkau menjadi sesuatu yang lebih. Aku sudah teramat beruntung menjadi seorang pengurai. Apalagi jika itu menguraikan madu-madumu yang manis itu.

Aku memang tak seberuntung dirimu, tapi akulah orang yang tidak pernah mempertanyakan apa yang orang-orang pertanyakan. Tidak sebagaimanapun kau melihat aku begitu pesimis pada kenyataan diriku. Kau mengabdi pada dirimu yang tinggi itu. Dan aku mengabdi pada engkau yang memberikanku pelangi. Bahkan tepat di pelupuk mataku.

Aku akan memberitahumu tentang sampah-sampah yang menumpuk pada hari ini. Kau tak perlu mengurangi tumpukan sampah yang sudah segunung ini. Sebab memang sudah menjadi tugas pengurai untuk mendaur kembali segala apa-apa yang terbuang bahkan tidak terpakai. Pengurai menjadi tokoh utama di dalam keberadaanmu. Aku tak mau menuntut dan memohon agar sampah-sampah yang kusebut gunung ini menjadi bongkahan mutiara dan emas. Apabila aku mencari dan mencari sebuah tahapan hidup. Aku pasti akan mendapat gunung itu. Yang daripadanya bermunculan daratan emas dan buah mutiara di pohon-pohonnya. Serta mengalir air madu yang kau imingi waktu itu.

Kau tak pernah mengatakan suatu hujan akan terus membahasi diriku ini dengan limbah yang bau nan busuk. Kau membuatku bermimpi tentang aliran madu yang amat harum dan manis. Membuatku mengerti tentang kemanisan hidup. Tidak hanya kebusukan hidup. Kau pula yang mengajarkan pelangi di tengah pegunungan yang kau rancang sendiri. Sebab hujan tak pernah berakhir tanpa akibat dan juga tak pernah bermula tanpa sebab.


                                                                                               ***
Begitulah keseharian kami sebagai pemungut sampah plastik. Hari-hari kami penuh dengan wasiat, penuh dengan impian, penuh dengan cita-cita yang begitu tinggi. Tentang memaknai hidup. Adakalanya kami memang dicap sebagai makhluk rendahan. Tetapi, kami selalu melapangkan dada atas segala hinaan itu. Kami habiskan waktu untuk bekerja dan mengais rezeki. Yang penting apa yang kami lakukan tidak melanggar aturan hukum negara dan hukum agama kami. Setiap ada kesempatan untuk menjadi lebih baik—saat kami seharusnya melupakan Tuhan dan menghabiskan setiap menit dengan bekerja—Suara Sang Khalik kiranya lebih nyaring terdengar ketimbang suara perut yang merengek-rengek minta dijejali makanan. Dan kami meyakini itu adalah salah satu kelebihan kami dibanding kalian semua.

Duh manisnya...




Sumber foto:
http://jabar.tribunnews.com
https://nusantaranews.co
Diubah oleh rhsrofiq 04-06-2018 01:58
anasabilaAvatar border
bukhoriganAvatar border
bukhorigan dan anasabila memberi reputasi
2
1.2K
4
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan