- Beranda
- Komunitas
- Sports
- Martial Arts
HEMA (Historical European Martial Arts) di Indonesia


TS
sasukesagara
HEMA (Historical European Martial Arts) di Indonesia
Apa itu HEMA?
Gambaran pertama yang muncul di benak kebanyakan orang jika kita berbicara tentang “ilmu bela diri” biasanya berupa beladiri dari Timur seperti pencak silat (Indonesia), karate dan kendo (Jepang), atau kung fu (Cina). Wajar saja, karena memang jenis-jenis ilmu beladiri di Timurlah yang masih diajarkan dan diamalkan secara turun-temurun hingga ke masa kini. Tetapi apakah itu berarti orang-orang di Barat zaman dulu sama sekali tidak memiliki ilmu beladiri yang serupa?
Tentu saja punya. Ada sejumlah naskah kuno yang mencatat dan/atau menggambarkan berbagai aliran bela diri di Eropa sejak Abad Pertengahan. Naskah tertua yang masih disimpan dan dilestarikan sampai sekarang adalah manuskrip I.33 (dibaca satu tiga-tiga) dari awal abad ke-14 (kurang-lebih sekitar tahun 1320). Kemudian ada juga aliran “guru besar Liechtenauer”di Jerman Selatan yang mulai meninggalkan jejak pada akhir abad ke-14 dan terus berkembang hingga masa kejayaannya di abad ke-15 dan ke-16 hingga perlahan-lahan surut dan menghilang pada abad ke-18. Di Italia Utara, Austria, dan Jerman Tenggara (daerah kekuasaan inti Kekaisaran Romawi Suci), ada lagi aliran yang digawangi Fiore dei Liberi, Ludwig von Eyb, dan beberapa guru/pendekar lainnya. Lalu pada abad ke-16, dengan munculnya teknologi percetakan baru dan meningkatnya angka melek huruf di kalangan orang biasa, mulai banyak aliran lain yang meninggalkan catatan atau buku panduan, misalnya aliran Bologna (Achille Marozzo, Antonio Manciolino, dkk.), aliran “rapier” baru yang menitikberatkan serangan menusuk (Ridolfo Capoferro, Salvator Fabris, dkk.), aliran La Verdadeira Destreza (“Ilmu Sejati”) di Spanyol dan Portugal yang sangat mengandalkan matematika dan geometri (Carranza, Narvaez, dsb.).
Spoiler for Liechtenauer:
Spoiler for "Fiore dei Liberi":
Lalu, jika ilmu beladiri berkembang dengan begitu subur di Eropa, mengapa kita tidak melihat banyak jejaknya di masa kini? Jawabannya lumayan rumit. Di satu sisi, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu cepat di Eropa menimbulkan serangkaian perubahan besar pada alat-alat dan cara berperang. Senjata api berkembang menjadi semakin tepat, semakin cepat, semakin andal (tidak mudah rusak), dan semakin mudah digunakan, sehingga senjata-senjata jarak dekat tergeser dari garis depan pertempuran dan hanya menjadi senjata cadangan semata. Dengan merajalelanya tentara negara-negara Eropa (dan belakangan Amerika Serikat) yang membawa senjata dan ilmu perang baru ke seluruh dunia, bisa dibilang bahwa hampir semua negara di dunia saat ini memakai dan mengembangkan ilmu beladiri Eropa yang berupa teknik, taktik, dan prosedur perang modern.
Di sisi lain, saat senjata-senjata kuno seperti pedang dan busur perlahan-lahan kehilangan peran di medan perang, ilmu beladiri dengan senjata-senjata tersebut berubah menjadi bentuk-bentuk olahraga yang dijalankan sebagai hobi, untuk menjaga kebugaran, atau sebagai ajang perlombaan. Hasilnya bisa dilihat dalam seni anggar, panahan, dan berkuda modern yang berbeda jauh dari akar-akarnya pada seni pertarungan zaman dulu.
Karena sebagian besar ilmu beladiri Eropa kuno sudah “mati,” untuk menghidupkannya kembali kita perlu mempelajari dan menafsirkan naskah-naskah kuno yang masih berhasil dilestarikan. Upaya-upaya semacam ini sudah dimulai pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 oleh sejumlah perwira militer dan instruktur anggar seperti Alfred Hutton, Egerton Castle, dan Albert Lacaze. Sayangnya upaya tersebut tidak berkembang pesat di tengah pergolakan yang terjadi di sepanjang abad ke-20 (terutama dua Perang Dunia diikuti dengan Perang Dingin). Akhirnya, pada dasawarsa 1980-an dan 1990-an, sejumlah orang dan kelompok di seluruh dunia mulai kembali mempelajari naskah-naskah beladiri Eropa kuno yang sudah lama terlupakan, dan dengan bantuan Internet mereka membangun hobi beladiri kuno Eropa yang kita kenal sekarang ini. Nama “HEMA” sendiri kemungkinan besar diusulkan oleh Matt Easton (pendiri Schola Gladiatoria di Inggris) pada sekitar tahun 2010, dan sejak saat itu telah menjadi istilah yang paling umum untuk menyebut kegiatan penelitian dan latihan beladiri Eropa kuno berdasar informasi yang digali dari naskah sumber.
Perbedaan utama antara HEMA dan kebanyakan ilmu beladiri tradisional (terutama dari Timur) terletak pada cara mempelajari dan mengajarkan jurus dan ilmu dasarnya. Dalam beladiri tradisional, pengetahuan tentang gerak dan jurus diturunkan secara turun-temurun dengan silsilah yang (seyogyanya) tak terputus dari guru besar atau pendiri aliran, jadi para murid bisa menerima saja tanpa banyak bertanya-tanya karena ilmu yang tidak dijelaskan sekarang pasti akan dijelaskan belakangan di tingkat yang lebih tinggi. Sebaliknya dengan HEMA, tak ada pewaris langsung dari sebagian besar ilmu yang dipelajari, jadi kita tidak tahu pasti tentang bentuk-bentuk jurus dan gerakan di masa lalu. Yang bisa kita lakukan hanyalah membaca naskah sumber, memperhatikan gambar-gambarnya, dan menafsirkannya dalam bentuk gerakan yang masuk akal. Seorang “murid” HEMA tidak bisa dan tidak boleh hanya percaya buta kepada “pengajar” atau murid lain yang lebih berpengalaman, dan setiap penafsiran yang dibuat/diajarkan harus diuji silang (cross-check) terhadap naskah aslinya. Terlebih lagi, jika jurus atau gerakan tertentu dapat ditafsirkan dengan lebih dari satu cara yang masuk akal, kita tak boleh hanya memperhatikan satu tafsiran saja dan menutup mata terhadap tafsiran-tafsiran lainnya yang mungkin akan terbukti lebih baik begitu kita mempelajari naskah sumber lebih dalam. Pendekatan yang digunakan untuk mempelajari naskah-naskah sumber HEMA dari berbagai sisi seperti ini biasanya dikenal dengan istilah triangulasi.
Terdengar rumit bukan? HEMA memang hobi yang tidak hanya melatih otot tetapi juga menguras otak. Tiadanya guru yang bisa mengajarkan ilmu ini tanpa keraguan bisa dianggap kelemahan, tetapi bisa juga menjadi kekuatan karena para peminat HEMA yang baru mulai mengikuti hobi ini pada umumnya disambut sebagai rekan setara yang dapat langsung terlibat dalam diskusi dan perdebatan tentang penafsiran jurus tanpa perlu malu-malu (walaupun tentu saja tetap harus menjaga kesopanan). Yang penting, jangan pernah berhenti belajar!
Sumber: Blog Gwaith-i-Megyr
HEMA di Indonesia
Di Indonesia saat ini terdapat beberapa HEMA study group, yaitu Gwaith-i-Megyrdi Jakarta dan Bandung dan HEMA Surabaya Silverpoint di -surprise surprise- Surabaya. Berhubung TS anggota dari Gwaith-i-Megyr, maka TS akan lebih banyak membahasnya.
Gwaith-i-Megyr
Kelompok ini awalnya didirikan oleh sejumlah penggemar karya-karya fiksi J.R.R. Tolkien (misalnya The Hobbit, Lord of the Rings) a.k.a Eorlingasyang penasaran tentang seni bertarung yang (mungkin) digunakan oleh tokoh-tokoh dalam karya-karya tersebut. Karena Tolkien banyak mengambil inspirasi dari kebudayaan Eropa kuno, terutama dari Abad Pertengahan, tentu saja kami merasa tertarik dengan naskah-naskah dan buku-buku yang menyimpan rekam jejak ilmu beladiri Eropa di Abad Pertengahan dan awal-awal masa Renaisans. Sayangnya sebagian besar ilmu beladiri yang tercatat dalam naskah-naskah tersebut sempat “mati” karena garis pewarisannya sudah terputus, tetapi untungnya sejak akhir abad ke-20 sudah ada serangkaian upaya untuk meneliti, menafsirkan, dan mempraktekkan ilmu-ilmu tersebut di bawah payung gerakan HEMA (Historical European Martial Arts – ilmu beladiri Eropa kuno). Begitulah latar belakang terbentuknya kelompok belajar HEMA kami yang dinamai Gwaith-i-Megyr (“paguyuban pendekar pedang” dalam bahasa Sindarin yang diciptakan Tolkien sebagai salah satu bahasa utama kaum Elf/Peri dalam karya-karya fiksinya).
Sumber: Tentang Kami
Spoiler for "Caution BWK":
Untuk info selanjutnya bisa menghubungi kami di media sosial berikut
Facebook: Gwaith-i-Megyr
Instagram: @gwaithimegyr
Diubah oleh sasukesagara 01-06-2018 03:37
0
3.4K
3


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan