Invite to the way of your Lord with wisdom and good instruction, and argue with them in a way that is best. Indeed, your Lord is most knowing of who has strayed from His way, and He is most knowing of who is [rightly] guided. (Q.S An Nahl 125)
Sekarang bukan perkara rahasia lagi kalau para pengungsi dari negara-negara konflik seperti Suriah, Irak, Iran, Mesir, dan sebagainya menyerbu negara-negara Eropa Barat, terutama Jerman, setelah Kanselir Jerman membuka perbatasan untuk para pengungsi. Jelas dong ini pengaruh ke tatanan sosial di Jerman bagi warga Jerman sendiri. Bukan rahasia lagi kalau di London, mulai disebut sebagai Londonistan oleh warganya sendiri karena banyaknya warga muslim yang berasal dari negara berakhiran -istan di sana.
Oleh sebab itu, Jerman pun sekarang nggak luput dari sebutan Germanistan karena kebijakan Kanselir Angela Merkel. Sebenernya apa sih yang terjadi? Apa bener orang-orang muslim di negara Eropa berniat mengubah seluruh masyarakat Eropa jadi muslim?
Cerita pendek berikut ini bersinggungan dengan orang-orang nyata, namun alur ceritanya TS ubah. Identitas nama dan tempat sudah diubah. Dan TS sudah mendapat ijin dari orang-orang yang ceritanya TS angkat untuk diposting dimari.
Spoiler for "Cerita dimulai":
“Kalau mukamu jelek memang harus kau tutupi!” Aku tengah berjalan memasuki sebuah Toko Asia di pusat kota ketika seorang wanita paruh baya meneriakiku. Hanya sekilas saja aku melihat ke arahnya, mengenakan blus merah lengan pendek, membawa banyak barang bawaan. “Dia jelek bisa operasi, tapi tidak ada dokter yang bisa menyembuhkan kelakuan burukmu!” suamiku balas berteriak padanya. Aku lebih syok dengan balasan suamiku pada wanita itu, daripada teriakan wanita itu padaku. Sebagai wanita bercadar di negeri asing, aku terkadang mendapatkan komentar-komentar unik tentang cara berpakaianku. Tapi berkat kemampuan bahasa Jermanku yang masih dibawah rata-rata, aku tidak terlalu menangkap percakapan mereka saat itu juga. Aku bertanya pada suamiku apa yang mereka berdua katakan satu sama lain setelah kami masuk ke dalam Toko. “Schatz”, panggilan sayangku padanya, “aku tahu kamu ga terima aku dikatain begitu. Tapi gak gitu juga balesannya.” Suamiku, seorang pria mualaf keturunan Eropa, berjenggot tebal dan memakai kopiah timur tengah, benar-benar terlihat tidak senang. Saat itu di penghujung sore dan kami baru saja menghabiskan hari berdua dengan berjalan-jalan di tepi sungai Neckar. “Padahal hari ini berjalan baik, sampai wanita itu menghancurkannya,” komplainnya dalam bahasa Inggris. “Nah, jangan dipikirin. Rasulullah saw juga dulu dikatain. Kalau kita sekarang juga dikatain, artinya kita menjalani sunnah rasul. Iya gak?” Suamiku tertawa. “Kayaknya aku harus minta maaf. Gak seharusnya aku balas ngatain ibu-ibu itu kayak gitu.” “Istighfar, minta ampun sama Tuhan. Berdoa supaya ibu-ibu itu dikasi petunjuk yang terbaik.” Suamiku memejamkan matanya dan terdiam sebentar. Aku tahu dia sedang berdoa pada Rabb-Nya, atas apa yang telah ia lakukan terhadap anak-cucu Adam di muka bumi ini. Meski ibu-ibu itu bukan seorang muslimah, ia tetaplah seorang manusia keturunan Adam. Dan itu cukup bagi seorang muslim yang patuh, untuk menghargai dan mendoakan yang terbaik. “Done.” Aku balas tersenyum dan mengelus pipinya yang berjenggot. “You are the best.” “And you are my better half.” Sorenya, kami menemui teman suamiku di restoran Turki. David namanya. Dari yang suamiku bilang, David ingin masuk Islam. Banyak yang ingin kutanyakan soal David, tapi aku memutuskan untuk bertanya padanya langsung. “Hei, David. Wie geht’s dir?” suamiku menyapa temannya itu dengan berpelukan. Mereka lanjut berbicara dalam bahasa Jerman. Sementara aku menyapa istri David. “Hei. Ich bin Maryna,” katanya berkenalan dan kubalas dengan bahasa Jerman pula. Kalau cuma perkenalan mah nenek-nenek saolto juga bisa. “So, idenya adalah aku ingin berubah jadi Islam,” jelas David padaku dan suamiku. “Well,” tanggapku, “kamu nggak bisa berubah jadi Islam. Maksudmu ingin jadi muslim, ya? Kami orang muslim bukan manusia dari dimensi lain kok.” “Ya. Ingin convert jadi seorang muslim,” lanjut David. “Tapi istriku gak setuju. Menurut dia Islam itu ketinggalan jaman dan tua. Gak cocok buat jaman sekarang.” “Oha, verstehe,” komentarku yang artinya kurang lebih oh ya ngerti. “Aku pengen Maryna masuk Islam juga. Tapi dia ini keras kepala,” David melirik ke istrrinya. “Please, Dita, bantu aku supaya dia mau masuk Islam.” “Bantu? Gimana caranya? Niup mukanya terus dibacain ayat al-quran gitu?” jawabku. “Aku bukan dukun. Apalagi Tuhan. Kami ini cuma manusia biasa sama kaya kamu. Bukan aku yang harus bantu dia masuk Islam, tapi kamu sendiri, David.” “Aku?” tanyanya keheranan. “Aku nggak ngerti apa-apa soal Islam. Kan, aku baru mau gabung kalian.” “Heh, kami ini bukan organisasi misterius. Jangan pake istilah ‘bergabung’ lah,” kata suamiku, tertawa. “Hidayah dan petunjuk itu datangnya dari Tuhan. Kamu bisa berdoa pada-Nya supaya istrimu dapat petunjuk, tapi kamu gak bisa paksa dia jadi muslimah.” “Darimana kamu tahu soal Islam, David?” tanyaku. “Sebenernya sih karena aku penasaran karena suamimu masuk Islam. Jadi aku cari tahu sendiri dan menurutku ide soal Tuhan cuma ada satu itu masuk akal buatku.” “Maryna,” aku beralih padanya, “apa kamu percaya Tuhan?” Dengan rambut pirang sepunggung dan mata abu-abu, aku menebak bahwa setidaknya Maryna besar di lingkungan orang-orang yang mengenal Tuhan. Entah Evangelis atau Kristen. “Aku gak peduli. Entah ada Tuhan atau nggak, gak ada pengaruhnya ke kehidupanku,” jawabnya ketus. Dalam suaranya aku menangkap kesan bahwa Maryna tidak terlalu suka padaku. Yah, kalau aku di posisi Maryna, aku pasti menganggap bahwa dua orang Islam di hadapannya inilah yang menanamkan ide soal Islam di kepala suaminya. Bisa dimengerti. “Dave,” panggil suamiku. “Jangan paksa Maryna untuk masuk Islam. Kalau kamu mau masuk Islam, tanpa paksaan, tanpa ancaman, maka lakukan. Tapi jangan paksa istrimu.” Suamiku berubah serius. “Pelajari bagaimana rasulullah sebagai seorang suami, lalu praktekan ke kehidupan rumah tanggamu. Jangan diskusi soal larangan-larangan dalam Islam. Cukup jadi suami terbaik yang kamu bisa, meniru Muhammad. Semoga rahmat Tuhan tercurah padanya.” David termenung, aku mengalihkan perhatianku kembali ke Maryna. “Apa kamu percaya kalau ada yang menciptakan kita di dunia ini?” tanyaku lagi. “Aku percaya sains. Dunia ini tuh terjadi karena Big Bang. Tuhan itu cuma akal-akalan manusia untuk satu hal yang belum bisa dijelasin oleh sains. Makanya kalian itu gampang dikibulin pakai Tuhan,” ujarnya. “Karena alesan bidadari surga kalian itu banyak orang jadi korban bom dan terorisme!” “Huwaduh, kok jadi kesana arahnya,” batinku. “Bakal berat nih dikusinya kalo udah nyangkut ISIS dan ideologi amburadul mereka.” “Aku pikr kamu udah bosen soal muslim yang membela diri dengan bilang bahwa ISIS itu bukan Islam. Dan bahwa mereka salah mentafsirkan Al-Quran. Jadi aku gak akan bilang begitu,” terangku padanya. “Daripada kita bahas soal itu, gimana kalau kita bahas soal hak-hak perempuan dalam Islam? Soal bagaimana kita memperlakukan orang tua dan tetangga? You know, hal-hal yang mendasar dalam kegiatan sehari-hari.” “Aku gak tertarik sama sekali. Aku kesini karena suamiku bilang kalau ketemu kalian bakal mengubah pandanganku soal Islam,” Maryna berdiri dari kursinya . “Kalian itu cuma orang fanatik yang berlebihan! Dengan pakaian berlapis-lapis di musim panas dan penutup wajahmu itu!” “Maryna!” David beranjak dari kursinya dan mengejar istrinya. Di sebelahku, suamiku menatapku. “What did you say?” “I swear to God, aku gak bicara macem-macem,” kataku, sambil teringat di kepalaku kata-kata yang sempat viral di Indonesia. “Demi. Tuhaaan.” Dua hari berikutnya suamiku mendapat surat dari David yang berisi permintaan maaf dan bahwa ia akan ke Masjid sore ini untuk mengucapkan kalimat Syahadat. Suamiku langsung menuju ke Masjid dan mendampingi David, menjadi saksi kembalinya seorang anak Adam ke fitrahnya. Hari-hari berikutnya David sering menemui suamiku untuk belajar lebih lanjut mengenai sholat dan hukum-hukum syariah. Namun beberapa hari setelahnya, David tidak pernah datang lagi. Suamiku tidak terlalu memikirkannya, hingga ia melihat David di sebuah klub malam di pusat kota, dengan satu botol wiski di tangannya. Suamiku sudah hendak mendatangi David dan menceramahinya, namun aku tahan. “Schatz,” panggilku memperingatkan. “Jangan. Dia baru aja masuk Islam. Butuh waktu buat dia untuk berubah. Para sahabat rasul pun memerlukan waktu bertahun-tahun untuk bisa sepenuhnya taat pada aturan Islam. Iya memang ada yang langsung jadi baik dalam semalam, tapi lebih banyak yang jatuh bangun ketika Rasulullah saw menerangkan aturan Islam pada mereka. Beri David waktu, sambil kamu terus berusaha mengajaknya pelan-pelan.” Aku tahu suamiku sedih dan marah. Tapi aku juga tahu bahwa suamiku ingin temannya itu menjadi temannya di surga. Maka kami pun lanjut berjalan. Berbulan-bulan waktu berlalu dan perihal soal Maryna dan David hilang dari kepalaku. Aku sudah fasih berbahasa Jerman dan memiliki banyak teman baru. Suamiku hanya terkadang menceritakan soal David. Ramadhan tahun ini, aku sholat Tarawih di Masjid dan bersebelahan dengan seorang wanita dengan hijab sederhana. Aku menyapanya dan menawarinya air minum yang kubawa. Dia hanya tersenyum dan meraih tanganku, berterima kasih. Aku tidak terlalu menyadari apa yang terjadi hingga kami berdiri untuk memulai sholat Tarawih. Untuk meluruskan shaf, aku menegok di sebelahku, seorang wanita yang tadi kutawari minum. Dia tersenyum padaku. “Dita. Wie geht’s dir?” sapanya. Aku kebingungan. “Maaf, apa kita pernah ketemu sebelumnya?” “Aku Maryna,” ujarnya sambil tersenyum. Aku tidak sanggup membalas kata-kata apapun karena imam sudah bertakbir, sebagai tanda memulai shalat Tarawih. “Allahu Akbar!”
SELESAI
Yah, begitulah gan sis. Hidayah dan petunjuk itu datangnya bukan dari manusia. Kita gak bisa paksa siapapun untuk masuk Islam. Kalau ingin mengajak orang lain jadi baik, kitanya harus baik terlebih dahulu. Ketika kita sebagai seorang muslim hidup di dunia ini nyaman, aman, tenang,, disiplin dan jujur dalam hal apapun, maka orang lain pun akan pensaran. Mereka akan ingin hidup seperti kita yang tahu bahwa Tuhan selalu menjaga kita dan selalu dekat dengan kita.
Dalam Al-Quran Tuhan berfirman.
Quote:
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. (Q.S An Nahl 125)
Ajakan Islam adalah ajakan ke JALAN, bukan TEMPAT. Ketika seseorang berada di JALAN, kecepatan mereka akan berbeda-beda dan mungkin akan mampir sana-sini. Tapi yang penting mereka sudah di JALAN. Lalu biarkan mereka memulai perjalanannya dan temani mereka.