- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
#Cerpenreligi Sampai Jadi Debu


TS
pog94
#Cerpenreligi Sampai Jadi Debu


Quote:

Quote:
Sampai Kita Tua
Sampai Jadi Debu
Ku di Liang Yang Satu
Ku di Sebelahmu
Sampai Jadi Debu
Ku di Liang Yang Satu
Ku di Sebelahmu
Quote:
Puasa tahun ini menjadi yang keempat kali gue lewati bersamanya. Dia cowok yang gak lebih tampan dari mantan-mantan gue, gak lebih perhatian daripada mereka yang pernah singgah di dalam hidup gue. Tapi dia punya satu hal yang membuat gue ingin terus berada di sisinya, melangkah bersama sebagai kawan; berbagi keluh dan kesah bersama untuk saling menguatkan satu sama lain. Bersama dia, hidup gue jadi lebih berwarna karena tingkah konyolnya yang tak jarang tiba-tiba datang. Dia si cowok dari Tanah Pasundan yang baru gue kenal saat MOS di salah satu universitas swasta di Kota ini. Dia adalah Barata Ardi Gunadhya.
“Yang abis buka ikut ke rumah ku ya? Sekalian kita ke cafe bareng nanti selesai tarawih” Ajak Ardi di warung makan dekat rumah gue
“iya Yang”
Adzan magrib terdengar dari semua penjuru Kota, waktu berbuka telah tiba. Gue dan Ardi menyantap makanan khas Sunda yang jadi favoritnya karena dia lahir dan tumbuh di Tanah Sunda. Banyak pasangan muda-mudi di warung makan ini. Di depan kami, ada dua pasangan yang dari tadi tak banyak berbicara. Satu sama lain sibuk dengan gawai mereka, dari gelagat mereka gue tahu kalau mereka sedang mengunduh foto di jejaring sosial mereka masing-masing. Kemudian di pojok warung makan, ada satu orang perempuan dengan laptop yang terbuka di depannya. Beberapa kertas juga makanan ada di mejanya. Para pekerja sibuk berjalan melayani pelanggan, sebagian mungkin sedang berbuka di dapur.
Gue dan Ardi tak pernah menyentuh gawai kami saat sedang bertemu, sejak dulu sudah seperti itu; untuk menghormati waktu kami yang telah kami sisihkan demi mengobati rindu. Toh sejak dulu gawai diciptakan untuk membantu komunikasi antara manusia yang terpisahkan oleh jarak, bukan untuk memamerkan berbagai macam hal di dunia maya.
Sebelum berangkat ke rumah Ardi, gue sempatkan memberi tahu orang tua agar mereka tahu gue sedang berada di mana. Oh iya, gue adalah anak perempuan satu-satunya di keluarga; kadang bapak dan ibu merasa khawatir kalau tak menerima kabar dari putri mereka ini.
Kami sampai di rumah Ardi tiga puluh menit kemudian karena jalanan di kota ini sedang baik jadi kami tak perlu bermacet-macetan terlebih dahulu. Di dalam rumah, mama-panggilan gue untuk ibunya Ardi-sedang duduk di ruang tamu sambil membereskan piring dan gelas kotor bekas buka puasa dia dan suaminya. Gue mengucapkan salam dan mencium tangan mama setelah beliau menyimpan piring dan gelas-gelas tadi. Mama kembali duduk di kursinya, sedangkan bapak-panggilan untuk bapaknya Ardi-pergi ke kamarnya, mungkin untuk shalat magrib.
“A duduk sini, mama mau bicara” mama meminta Ardi duduk di sampingnya.
Gue yang tidak diundang mama duduk di kursi dekat pintu. Jarak antara gue dan mereka kurang lebih 3 meter, dari sini gue masih bisa mendengar suara mereka.
Sambil memainkan gawai yang sejak tadi belum gue buka, mama dan Ardi berbicara menggunakan bahasa Sunda yang asing di telinga gue.
Sama seperti Ardi, gue juga berasal dari keluarga Sunda. Bapak dan Ibu orang Sunda asli. Bedanya, gue lahir dan besar di kota ini jadi bahasa Sunda bukan bahasa ibu-bahasa yang kita gunakan sejak pertama belajar berbicara-untuk gue. Hanya bapak dan ibu yang menggunakan bahasa Sunda untuk berkomunikasi satu sama lain, sedangkan gue dan Angga tetap menggunakan bahasa Indonesia. meskipun begitu, gue masih bisa mengerti apa yang bapak dan ibu bicarakan saat di rumah. Hanya saja kali ini, bahasa yang Ardi dan mama gunakan benar-benar asing buat gue.
Cukup lama Ardi dan mama berbicara, gue masih sempat mengecek akun jejaring sosial yang belum gue buka sejak tiga hari yang lalu sampai akhirnya mama datang menghampiri gue dengan wajah yang beda dari biasanya; seperti sedang menahan tangis.
“teteh udah tahu soal Bapak, belum?”
“...” gue diam sebentar, ada apa sama bapaknya Ardi?
“belum ma” jawab gue kemudian
“begini teh, katanya Ardi belum bilang sama teteh soal ini. Jadi biar mama saja yang bilang sama teteh ya.”
“sebenarnya, bapak bukan ayah kandung Ardi sama Idan teh.”
DEG!!
Gue bingung harus menjawab apa. Yang gue ketahui selama ini bapak adalah ayah kandung Ardi sama Idan. Tapi kenapa mama tiba-tiba bilang begitu?
Gue melihat Ardi sebentar; dia hanya diam dan memperhatikan kami berdua. Pandangannya kosong dan matanya melihat ke arah kami tapi bukan memperhatikan gue yang sedang kebingungan; matanya melihat ke arah-kekosongan.
Mungkin buat sebagian orang ini bukan hal yang penting, tapi buat gue ini jadi hal yang sangat penting. Gue merasa tidak dihargai Ardi sejak dulu dan gue merasa bodoh karena telah dibohongi selama 4 tahun ini.
Sejak awal kami berpacaran, gue dan Ardi ingin memulai semuanya dari awal tanpa masalah-masalah yang mungkin datang karena masa lalu kami. Dan untuk itu kami akhirnya memutuskan saling memberitahukan hal-hal yang bersifat rahasia dan pribadi dari masa lalu kami. Tentang keluarga, tentang mantan-mantan kami juga tentang kehidupan kami sebelumnya. Setelah 4 tahun berlalu, gue baru tahu kalau sejak awal Ardi membohongi gue. Apa gue benar-benar tak berharga buat dia sampai-sampai harus berbohong sejak awal? Atau memang sejak awal dia cuma ingin main-main dengan hubungan ini? Gue bingung... dan sakit.
Melihat gue yang diam tak bergeming, mama melanjutkan pembicaraan “udah gak usah dipikirin teh” ucapnya sambil cengengesan.
Sh*t! Mungkin gue benar-benar tak berharga buat Ardi begitupun mama, sampai-sampai mama membuat ini sebagai bahan candaan. Apalagi kalau bukan bercanda? Toh barusan juga dia tertawa, kan?
Akhirnya gue minta pada Ardi untuk mengantarkan gue pulang. Sambil berharap mendapatkan jawaban, gue sakali lagi bertanya lewat pandangan mata pada Ardi. Ardi hanya melihat ke arah gue sekilas tanpa memberi jawaban apapun sambil berjalan melewati gue yang berdiri di samping pintu,. Satu kata saja tak ada yang keluar dari mulutnya untuk menjawab pertanyaan tersirat tadi! Hati gue sakit. Baru sekali ini dia mendiamkan gue seperti sekarang selama 4 tahun kami bersama.
Niat awal kami untuk pergi ke cafe milik Ardi terpaksa kami urungkan, gue terlalu.... sakit dan bingung. Ardi masih mendiamkan gue sejak tadi, pertanyaan-pertanyaan lain datang satu persatu menghampiri gue yang sedang bingung. Mereka beranak-pinak di dalam kepala sampai gue pusing dan mencoba tak acuh.
Biasanya setelah shalat tarawih gue dan dia pergi ke cafe miliknya; menemani Ardi melayani pelanggan-pelanggan cafenya yang masih teman gue juga. Kadang gue bantu Ardi untuk sekedar memberikan pesanan ke pelanggan kalau sedang ramai, atau gue hanya duduk manis di belakang meja kasir sambil melihat Ardi yang sibuk mondar-mandir.
Jalanan kota ini kembali ramai seperti semula, macet sudah budaya untuk kota ini. Ramainya suara kendaraan dan suara dari speaker masjid-masjid yang masih melaksanakan shalat Tarawih atau tadarus Al-Quran tak berhasil menutupi keheningan yang ada di antara gue dan Ardi. Kami seperti terpisah jarak ratusan kilometer, sibuk dengan pikiran masing-masing tentang masalah yang baru saja muncul.
Begitu tiba di rumah gue, Ardi langsung pergi tanpa menemui bapak dan ibu. Gue sendiri masih sibuk dengan kebingungan ini dan langsung masuk ke dalam rumah, tanpa salam juga mengetuk pintu lebih dulu. Bapak dan ibu sedang duduk di depan tv sambil menonton akademi dangdut yang gak tahu sudah masuk season ke-berapa, sedangkan adik gue sibuk dengan gawai sambil cengengesanmirip orang gila.
“Ardinya kemana teh? Tumben gak mampir dulu” ibu bertanya tanpa memalingkan mukanya dari layar televisi
Gue diamkan ibu dan berlalu ke kamar gue yang terletak di lantai atas. Gue ingin segera masuk ke dalam kamar kemudian mengunci pintu rapat-rapat; membuat teritorial pribadi yang terlindungi dari segala hal yang ada di luar sana. Gue butuh waktu untuk sendirian, tanpa bapak, ibu ataupun Ardi.
Perasaan itu muncul lagi selama gue mengurung diri di kamar. Sakit, sedih, bingung, dan merasa dikhianati. Entah harus bagaimana lagi caranya untuk membuat hati gue tenang seperti sebelumnya. Gue coba membohongi diri gue sendiri dengan meyakinkan kalau apa yang sekarang terjadi bukan hal yang terlalu penting. Toh gue dan dia juga masih pacaran, belum melangkah ke arah yang lebih jauh lagi. Mau dia hidup bareng bapak asli atau bukan, gue tak punya hak untuk mencampuri hal tersebut dengan keegoisan yang gue miliki. Tapi hati memang tak bisa dibohongi, setiap kalimat bohong itu keluar selalu ada suara lain yang membantahnya; begitu terus sampai akhirnya gue lelah dan pergi tidur. mungkin ada jawaban nanti setelah gue lebih tenang.
Sudah satu minggu sejak kejadian itu, selama itu pula gue dan Ardi menjaga jarak. Kami berhenti berkomunikasi dan bertemu untuk kebaikan kami, terlalu berat buat gue dan mungkin terlalu cepat buat Ardi. Gue tahu dia butuh waktu untuk sendiri dan memikirkan hal ini, meskipun ingin gue bertanya apa alasan dia menyembunyikan ini selama 4 tahun dan pertanyaan-pertanyaan lainnya tapi gue tetap menghormati dia yang sengaja menghindari gue. Pernah sekali, kalau tidak salah dua hari setelah kejadian itu, gue menghubungi Ardi lewat telfon. Gue ingin meminta penjelasan Ardi tapi hasilnya nihil. Gue coba cari ke cafe miliknya pun sama saja, Ardi menghilang tak tahu kemana.
Sore hari ini langit cerah dan cahaya matahari tak terlalu menyengat karena sebagian tertutupi awan. Gue ingin sedikit menghilangkan penat dan pergi ke alun-alun kota, ngabuburit sambil melihat orang-orang di sana. Di alun-alun ternyata sedang ada kegiatan pengajian di masjid agung dan suara ustadz terdengar lewat speaker.Gue sedang memperhatikan seorang anak muda seumuran gue yang berkostum iron man menghibur anak kecil yang lewat saat gue mendengar sesuatu menarik perhatian gue dari speaker masjid.
“Barang siapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka akan mendapatkan bumi ini di tempat hijrah yang luas dan (rezeki) yang banyak. Barang siapa keluar dar rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh, pahalanya telah ditetapkan di sisi Allah. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Q.S. An-Nisaa’: 100)
Gue masih tetap memperhatikan apa yang disampaikan ustadz sambil duduk di dekat iron man tadi, gue memfokuskan pendengaran ini pada setiap kalimat yang gue dengar.
“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbatan yang keji dan suatu jalan yang buruk. (Q.S. Al-Israa’: 32)
Dan entah kenapa pikiran gue tiba-tiba mengingat kejadian satu minggu yang lalu. Kejadian yang menyakitkan itu perlahan-lahan gue ingat lagi sampai kemudian gue tersadar; mungkin ini teguran Allah untuk gue yang terlalu mencintai Ardi dan terlalu lama mendekati zina.
Sejak hari itu gue mulai perjalanan hijrah untuk mendapatkan ridho dan ampunan Sang Pemilik Hidup, juga untuk memantaskan diri jika nanti ada laki-laki yang berani datang ke rumah gue. Jodoh itu cerminan diri kita kan? Daripada sibuk mencari-cari lelaki yang sesuai dengan apa yang gue inginkan lebih baik memantaskan diri dan menyerahkan sisanya pada-Nya.
Perjalanan ini gue mulai dengan merubah penampilan menjadi lebih tertutup lagi sesuai ajaran Islam. Sejak lulus SMA gue sudah memutuskan memakai jilbab kok, hanya fungsinya sebagai penutup kepala sampai leher saja. Sedangkan sekarang gue ingin jilbab yang gue pakai bukan hanya menutup kepala dan leher gue, tapi juga menutupi dada. Perlahan-lahan mulai gue tinggalkan jeans karena sejak kecil gue kurang suka jika harus memakai rok tapi sekarang dengan niat gue paksakan untuk suka dan alhamdulillah berhasil.
Hijrah memang bukan perkara mudah, membutuhkan niat yang kuat serta keteguhan hati. Orang bilang semakin tinggi pohon maka semakin besar pula angin yang menimpanya, tapi semakin tinggi pohon semakin besar pula batangnya. Cobaan yang gue rasakan saat memutuskan untuk hijrah datang silih berganti. Pertama-tama gue mulai kehilangan teman-teman yang belum siap menerima perubahan gue, kemudian ada juga sedikit penolakan dari bapak dan ibu karena mereka khawatir jika gue terbawa aliran sesat. Gue sempat bertengkar dengan bapak sambil menangis di pelukan ibu saat gue disidang di rumah oleh beliau. Namun gue sudah memantapkan hati ini lalu meminta pertolongan-Nya agar bapak juga ibu bisa menerima keputusan gue untuk hijrah.
Butuh satu tahun lebih gue membiasakan dengan kehidupan setelah hijrah ini.
Gue juga mulai bekerja menjadi tenaga pengajar di salah satu SMP Negeri kota ini setelah lulus kuliah, cita-cita gue untuk mencerdaskan dan membawa bangsa ini lebih maju harus tetap gue lanjutkan bersamaan dengan usaha gue untuk terus berada di jalan-Nya. Sampai sekarang, dua tahun setelah kejadian di rumah Ardi, gue masih mencintai Ardi.
Sudah tak terhitung berapa kali namanya gue sebut di dalam doa-doa yang gue panjatkan pada-Nya. Di sepertiga malam, gue meminta bantuan Sang Pemilik Hati untuk menjaga Ardi dari segala hal buruk sambil gue terus memantaskan diri.
Sampai tiga bulan yang lalu dia datang ke rumah gue. Barata Ardi Gunadhya datang seorang diri dan mengutarakan niatnya untuk melamar gue pada bapak dan ibu.
“Teh.. teteh.. ayo cepet itu a Ardi udah sampe” adik gue datang ke rumah
“iya sebentar dek, ini tetehmu masih dandan, bentar lagi selesai” kata ibu gue
“naaaah udah beres. Yuk keluar teh”
Gue perhatikan sejenak penampilan gue di depan cermin sebelum pergi keluar rumah bersama ibu. Di depan rumah paman dan tante juga keponakan gue sudah menunggu, gue seperti ratu yang selalu diantar oleh para pengawalnya.
Suara shalawat terdengar dari arah panggung. Tamu-tamu yang ikut mengantarkan Ardi sudah memenuhi tempat duduk yang disediakan. Teman-teman Ardi dari kampung yang gue kenal ternyata ikut datang ke sini, beberapa teman kami di masa kuliah dulu juga ada yang datang sejak pagi. Para tetangga berkumpul sepanjang jalan sambil menaburkan bunga melati.
Di tempat yang gue tuju, keluarga besar Ardi sudah memenuhi tempat ini. Beberapa dari mereka sedang mengambil posisi yang pas untuk mengabadikan momen paling sakral dalam hidup gue dan Ardi.
Kami berdua duduk di depan penghulu, dengan dua orang saksi dan bapak sebagai wali gue yang ikut berada di sekitar meja ini. Orang-orang yang hadir mulai tenang saat penghulu mulai membaca bismillah. Gue lihat sekilas, wajah Ardi pucat, tubuhnya tak bisa diam. Gue tahu dia sedang gugup saat ini. Penghulu memimpin kami untuk berdoa sebelum memulai Ijab Qobul. Jantung gue terus berdebar kencang. Setiap tarikan nafas terasa begitu berat, beberapa kali kaki gue gemetaran.
Sampai pada saat bapak selaku wali gue menjabat tangan Ardi gue ingin menangis menyaksikan ini, namun tetap gue tahan sekuat tenaga sampai proses Ijab Qabul selesai.
“Saudara Barata Ardi Gunadhya Bin Hasan Gunadhya”
“Saya”
“Saya nikahkan dan kimpoikan anda dengan anak perempuan saya Afriani Saraswati Binti Bimasena Candrakumara dengan mas kimpoi uang tunai sebesar Rp. 2.042.019 dan seperangkat alat shalat, tunai.”
“Saya terima nikah dan kimpoinya Afriani Saraswati Binti Bimasena Candrakumara dengan mas kimpoi yang tersebut dibayar tunai.”
Alhamdulillah semua doa dan perjuangan gue selama ini diakhiri dengan suatu keindahan, dan mulai hari ini gue dan Ardi akan menghababiskan sisa waktu kami bersama-sama, sampai nanti kita tua sampai kami menjadi debu.
“Yang abis buka ikut ke rumah ku ya? Sekalian kita ke cafe bareng nanti selesai tarawih” Ajak Ardi di warung makan dekat rumah gue
“iya Yang”
Adzan magrib terdengar dari semua penjuru Kota, waktu berbuka telah tiba. Gue dan Ardi menyantap makanan khas Sunda yang jadi favoritnya karena dia lahir dan tumbuh di Tanah Sunda. Banyak pasangan muda-mudi di warung makan ini. Di depan kami, ada dua pasangan yang dari tadi tak banyak berbicara. Satu sama lain sibuk dengan gawai mereka, dari gelagat mereka gue tahu kalau mereka sedang mengunduh foto di jejaring sosial mereka masing-masing. Kemudian di pojok warung makan, ada satu orang perempuan dengan laptop yang terbuka di depannya. Beberapa kertas juga makanan ada di mejanya. Para pekerja sibuk berjalan melayani pelanggan, sebagian mungkin sedang berbuka di dapur.
Gue dan Ardi tak pernah menyentuh gawai kami saat sedang bertemu, sejak dulu sudah seperti itu; untuk menghormati waktu kami yang telah kami sisihkan demi mengobati rindu. Toh sejak dulu gawai diciptakan untuk membantu komunikasi antara manusia yang terpisahkan oleh jarak, bukan untuk memamerkan berbagai macam hal di dunia maya.
Spoiler for :

Sebelum berangkat ke rumah Ardi, gue sempatkan memberi tahu orang tua agar mereka tahu gue sedang berada di mana. Oh iya, gue adalah anak perempuan satu-satunya di keluarga; kadang bapak dan ibu merasa khawatir kalau tak menerima kabar dari putri mereka ini.
Kami sampai di rumah Ardi tiga puluh menit kemudian karena jalanan di kota ini sedang baik jadi kami tak perlu bermacet-macetan terlebih dahulu. Di dalam rumah, mama-panggilan gue untuk ibunya Ardi-sedang duduk di ruang tamu sambil membereskan piring dan gelas kotor bekas buka puasa dia dan suaminya. Gue mengucapkan salam dan mencium tangan mama setelah beliau menyimpan piring dan gelas-gelas tadi. Mama kembali duduk di kursinya, sedangkan bapak-panggilan untuk bapaknya Ardi-pergi ke kamarnya, mungkin untuk shalat magrib.
“A duduk sini, mama mau bicara” mama meminta Ardi duduk di sampingnya.
Gue yang tidak diundang mama duduk di kursi dekat pintu. Jarak antara gue dan mereka kurang lebih 3 meter, dari sini gue masih bisa mendengar suara mereka.
Sambil memainkan gawai yang sejak tadi belum gue buka, mama dan Ardi berbicara menggunakan bahasa Sunda yang asing di telinga gue.
Sama seperti Ardi, gue juga berasal dari keluarga Sunda. Bapak dan Ibu orang Sunda asli. Bedanya, gue lahir dan besar di kota ini jadi bahasa Sunda bukan bahasa ibu-bahasa yang kita gunakan sejak pertama belajar berbicara-untuk gue. Hanya bapak dan ibu yang menggunakan bahasa Sunda untuk berkomunikasi satu sama lain, sedangkan gue dan Angga tetap menggunakan bahasa Indonesia. meskipun begitu, gue masih bisa mengerti apa yang bapak dan ibu bicarakan saat di rumah. Hanya saja kali ini, bahasa yang Ardi dan mama gunakan benar-benar asing buat gue.
Cukup lama Ardi dan mama berbicara, gue masih sempat mengecek akun jejaring sosial yang belum gue buka sejak tiga hari yang lalu sampai akhirnya mama datang menghampiri gue dengan wajah yang beda dari biasanya; seperti sedang menahan tangis.
“teteh udah tahu soal Bapak, belum?”
“...” gue diam sebentar, ada apa sama bapaknya Ardi?
“belum ma” jawab gue kemudian
“begini teh, katanya Ardi belum bilang sama teteh soal ini. Jadi biar mama saja yang bilang sama teteh ya.”
“sebenarnya, bapak bukan ayah kandung Ardi sama Idan teh.”
DEG!!
Gue bingung harus menjawab apa. Yang gue ketahui selama ini bapak adalah ayah kandung Ardi sama Idan. Tapi kenapa mama tiba-tiba bilang begitu?
Gue melihat Ardi sebentar; dia hanya diam dan memperhatikan kami berdua. Pandangannya kosong dan matanya melihat ke arah kami tapi bukan memperhatikan gue yang sedang kebingungan; matanya melihat ke arah-kekosongan.
Mungkin buat sebagian orang ini bukan hal yang penting, tapi buat gue ini jadi hal yang sangat penting. Gue merasa tidak dihargai Ardi sejak dulu dan gue merasa bodoh karena telah dibohongi selama 4 tahun ini.
Sejak awal kami berpacaran, gue dan Ardi ingin memulai semuanya dari awal tanpa masalah-masalah yang mungkin datang karena masa lalu kami. Dan untuk itu kami akhirnya memutuskan saling memberitahukan hal-hal yang bersifat rahasia dan pribadi dari masa lalu kami. Tentang keluarga, tentang mantan-mantan kami juga tentang kehidupan kami sebelumnya. Setelah 4 tahun berlalu, gue baru tahu kalau sejak awal Ardi membohongi gue. Apa gue benar-benar tak berharga buat dia sampai-sampai harus berbohong sejak awal? Atau memang sejak awal dia cuma ingin main-main dengan hubungan ini? Gue bingung... dan sakit.
Melihat gue yang diam tak bergeming, mama melanjutkan pembicaraan “udah gak usah dipikirin teh” ucapnya sambil cengengesan.
Sh*t! Mungkin gue benar-benar tak berharga buat Ardi begitupun mama, sampai-sampai mama membuat ini sebagai bahan candaan. Apalagi kalau bukan bercanda? Toh barusan juga dia tertawa, kan?
Akhirnya gue minta pada Ardi untuk mengantarkan gue pulang. Sambil berharap mendapatkan jawaban, gue sakali lagi bertanya lewat pandangan mata pada Ardi. Ardi hanya melihat ke arah gue sekilas tanpa memberi jawaban apapun sambil berjalan melewati gue yang berdiri di samping pintu,. Satu kata saja tak ada yang keluar dari mulutnya untuk menjawab pertanyaan tersirat tadi! Hati gue sakit. Baru sekali ini dia mendiamkan gue seperti sekarang selama 4 tahun kami bersama.
Niat awal kami untuk pergi ke cafe milik Ardi terpaksa kami urungkan, gue terlalu.... sakit dan bingung. Ardi masih mendiamkan gue sejak tadi, pertanyaan-pertanyaan lain datang satu persatu menghampiri gue yang sedang bingung. Mereka beranak-pinak di dalam kepala sampai gue pusing dan mencoba tak acuh.
Biasanya setelah shalat tarawih gue dan dia pergi ke cafe miliknya; menemani Ardi melayani pelanggan-pelanggan cafenya yang masih teman gue juga. Kadang gue bantu Ardi untuk sekedar memberikan pesanan ke pelanggan kalau sedang ramai, atau gue hanya duduk manis di belakang meja kasir sambil melihat Ardi yang sibuk mondar-mandir.
Jalanan kota ini kembali ramai seperti semula, macet sudah budaya untuk kota ini. Ramainya suara kendaraan dan suara dari speaker masjid-masjid yang masih melaksanakan shalat Tarawih atau tadarus Al-Quran tak berhasil menutupi keheningan yang ada di antara gue dan Ardi. Kami seperti terpisah jarak ratusan kilometer, sibuk dengan pikiran masing-masing tentang masalah yang baru saja muncul.
Begitu tiba di rumah gue, Ardi langsung pergi tanpa menemui bapak dan ibu. Gue sendiri masih sibuk dengan kebingungan ini dan langsung masuk ke dalam rumah, tanpa salam juga mengetuk pintu lebih dulu. Bapak dan ibu sedang duduk di depan tv sambil menonton akademi dangdut yang gak tahu sudah masuk season ke-berapa, sedangkan adik gue sibuk dengan gawai sambil cengengesanmirip orang gila.
“Ardinya kemana teh? Tumben gak mampir dulu” ibu bertanya tanpa memalingkan mukanya dari layar televisi
Gue diamkan ibu dan berlalu ke kamar gue yang terletak di lantai atas. Gue ingin segera masuk ke dalam kamar kemudian mengunci pintu rapat-rapat; membuat teritorial pribadi yang terlindungi dari segala hal yang ada di luar sana. Gue butuh waktu untuk sendirian, tanpa bapak, ibu ataupun Ardi.
Perasaan itu muncul lagi selama gue mengurung diri di kamar. Sakit, sedih, bingung, dan merasa dikhianati. Entah harus bagaimana lagi caranya untuk membuat hati gue tenang seperti sebelumnya. Gue coba membohongi diri gue sendiri dengan meyakinkan kalau apa yang sekarang terjadi bukan hal yang terlalu penting. Toh gue dan dia juga masih pacaran, belum melangkah ke arah yang lebih jauh lagi. Mau dia hidup bareng bapak asli atau bukan, gue tak punya hak untuk mencampuri hal tersebut dengan keegoisan yang gue miliki. Tapi hati memang tak bisa dibohongi, setiap kalimat bohong itu keluar selalu ada suara lain yang membantahnya; begitu terus sampai akhirnya gue lelah dan pergi tidur. mungkin ada jawaban nanti setelah gue lebih tenang.
***
Sudah satu minggu sejak kejadian itu, selama itu pula gue dan Ardi menjaga jarak. Kami berhenti berkomunikasi dan bertemu untuk kebaikan kami, terlalu berat buat gue dan mungkin terlalu cepat buat Ardi. Gue tahu dia butuh waktu untuk sendiri dan memikirkan hal ini, meskipun ingin gue bertanya apa alasan dia menyembunyikan ini selama 4 tahun dan pertanyaan-pertanyaan lainnya tapi gue tetap menghormati dia yang sengaja menghindari gue. Pernah sekali, kalau tidak salah dua hari setelah kejadian itu, gue menghubungi Ardi lewat telfon. Gue ingin meminta penjelasan Ardi tapi hasilnya nihil. Gue coba cari ke cafe miliknya pun sama saja, Ardi menghilang tak tahu kemana.
Sore hari ini langit cerah dan cahaya matahari tak terlalu menyengat karena sebagian tertutupi awan. Gue ingin sedikit menghilangkan penat dan pergi ke alun-alun kota, ngabuburit sambil melihat orang-orang di sana. Di alun-alun ternyata sedang ada kegiatan pengajian di masjid agung dan suara ustadz terdengar lewat speaker.Gue sedang memperhatikan seorang anak muda seumuran gue yang berkostum iron man menghibur anak kecil yang lewat saat gue mendengar sesuatu menarik perhatian gue dari speaker masjid.
“Barang siapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka akan mendapatkan bumi ini di tempat hijrah yang luas dan (rezeki) yang banyak. Barang siapa keluar dar rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh, pahalanya telah ditetapkan di sisi Allah. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Q.S. An-Nisaa’: 100)
Gue masih tetap memperhatikan apa yang disampaikan ustadz sambil duduk di dekat iron man tadi, gue memfokuskan pendengaran ini pada setiap kalimat yang gue dengar.
“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbatan yang keji dan suatu jalan yang buruk. (Q.S. Al-Israa’: 32)
Dan entah kenapa pikiran gue tiba-tiba mengingat kejadian satu minggu yang lalu. Kejadian yang menyakitkan itu perlahan-lahan gue ingat lagi sampai kemudian gue tersadar; mungkin ini teguran Allah untuk gue yang terlalu mencintai Ardi dan terlalu lama mendekati zina.
Sejak hari itu gue mulai perjalanan hijrah untuk mendapatkan ridho dan ampunan Sang Pemilik Hidup, juga untuk memantaskan diri jika nanti ada laki-laki yang berani datang ke rumah gue. Jodoh itu cerminan diri kita kan? Daripada sibuk mencari-cari lelaki yang sesuai dengan apa yang gue inginkan lebih baik memantaskan diri dan menyerahkan sisanya pada-Nya.
Perjalanan ini gue mulai dengan merubah penampilan menjadi lebih tertutup lagi sesuai ajaran Islam. Sejak lulus SMA gue sudah memutuskan memakai jilbab kok, hanya fungsinya sebagai penutup kepala sampai leher saja. Sedangkan sekarang gue ingin jilbab yang gue pakai bukan hanya menutup kepala dan leher gue, tapi juga menutupi dada. Perlahan-lahan mulai gue tinggalkan jeans karena sejak kecil gue kurang suka jika harus memakai rok tapi sekarang dengan niat gue paksakan untuk suka dan alhamdulillah berhasil.
Hijrah memang bukan perkara mudah, membutuhkan niat yang kuat serta keteguhan hati. Orang bilang semakin tinggi pohon maka semakin besar pula angin yang menimpanya, tapi semakin tinggi pohon semakin besar pula batangnya. Cobaan yang gue rasakan saat memutuskan untuk hijrah datang silih berganti. Pertama-tama gue mulai kehilangan teman-teman yang belum siap menerima perubahan gue, kemudian ada juga sedikit penolakan dari bapak dan ibu karena mereka khawatir jika gue terbawa aliran sesat. Gue sempat bertengkar dengan bapak sambil menangis di pelukan ibu saat gue disidang di rumah oleh beliau. Namun gue sudah memantapkan hati ini lalu meminta pertolongan-Nya agar bapak juga ibu bisa menerima keputusan gue untuk hijrah.
Butuh satu tahun lebih gue membiasakan dengan kehidupan setelah hijrah ini.
Gue juga mulai bekerja menjadi tenaga pengajar di salah satu SMP Negeri kota ini setelah lulus kuliah, cita-cita gue untuk mencerdaskan dan membawa bangsa ini lebih maju harus tetap gue lanjutkan bersamaan dengan usaha gue untuk terus berada di jalan-Nya. Sampai sekarang, dua tahun setelah kejadian di rumah Ardi, gue masih mencintai Ardi.
Sudah tak terhitung berapa kali namanya gue sebut di dalam doa-doa yang gue panjatkan pada-Nya. Di sepertiga malam, gue meminta bantuan Sang Pemilik Hati untuk menjaga Ardi dari segala hal buruk sambil gue terus memantaskan diri.
Sampai tiga bulan yang lalu dia datang ke rumah gue. Barata Ardi Gunadhya datang seorang diri dan mengutarakan niatnya untuk melamar gue pada bapak dan ibu.
***
“Teh.. teteh.. ayo cepet itu a Ardi udah sampe” adik gue datang ke rumah
“iya sebentar dek, ini tetehmu masih dandan, bentar lagi selesai” kata ibu gue
“naaaah udah beres. Yuk keluar teh”
Gue perhatikan sejenak penampilan gue di depan cermin sebelum pergi keluar rumah bersama ibu. Di depan rumah paman dan tante juga keponakan gue sudah menunggu, gue seperti ratu yang selalu diantar oleh para pengawalnya.
Suara shalawat terdengar dari arah panggung. Tamu-tamu yang ikut mengantarkan Ardi sudah memenuhi tempat duduk yang disediakan. Teman-teman Ardi dari kampung yang gue kenal ternyata ikut datang ke sini, beberapa teman kami di masa kuliah dulu juga ada yang datang sejak pagi. Para tetangga berkumpul sepanjang jalan sambil menaburkan bunga melati.
Di tempat yang gue tuju, keluarga besar Ardi sudah memenuhi tempat ini. Beberapa dari mereka sedang mengambil posisi yang pas untuk mengabadikan momen paling sakral dalam hidup gue dan Ardi.
Kami berdua duduk di depan penghulu, dengan dua orang saksi dan bapak sebagai wali gue yang ikut berada di sekitar meja ini. Orang-orang yang hadir mulai tenang saat penghulu mulai membaca bismillah. Gue lihat sekilas, wajah Ardi pucat, tubuhnya tak bisa diam. Gue tahu dia sedang gugup saat ini. Penghulu memimpin kami untuk berdoa sebelum memulai Ijab Qobul. Jantung gue terus berdebar kencang. Setiap tarikan nafas terasa begitu berat, beberapa kali kaki gue gemetaran.
Sampai pada saat bapak selaku wali gue menjabat tangan Ardi gue ingin menangis menyaksikan ini, namun tetap gue tahan sekuat tenaga sampai proses Ijab Qabul selesai.
“Saudara Barata Ardi Gunadhya Bin Hasan Gunadhya”
“Saya”
“Saya nikahkan dan kimpoikan anda dengan anak perempuan saya Afriani Saraswati Binti Bimasena Candrakumara dengan mas kimpoi uang tunai sebesar Rp. 2.042.019 dan seperangkat alat shalat, tunai.”
“Saya terima nikah dan kimpoinya Afriani Saraswati Binti Bimasena Candrakumara dengan mas kimpoi yang tersebut dibayar tunai.”
Alhamdulillah semua doa dan perjuangan gue selama ini diakhiri dengan suatu keindahan, dan mulai hari ini gue dan Ardi akan menghababiskan sisa waktu kami bersama-sama, sampai nanti kita tua sampai kami menjadi debu.
-THE END-


anasabila memberi reputasi
1
1.1K
Kutip
1
Balasan
Thread Digembok
Urutan
Terbaru
Terlama
Thread Digembok
Komunitas Pilihan