azizm795Avatar border
TS
azizm795
Reformasi di Mata Milenial
 Senin (21 Mei 2018) sore di pelataran samping pagar Monumen Nasional (Monas) Jakarta Pusat. Petikan gitar Alviani sabillah mengiringi dengan harmoni puisi dua rekannya, mahasiswa Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera.
Baca juga : Klarifikasi HMI MPO Terkait Kabar Kadernya Meninggal Karena Unjuk Rasa
Puisi berjudul “Cahaya Dalam Gelap” mampu menyedot perhatian ratusan orang yang menyemut di lokasi itu. Devy Kusumawati dan Yogi Prastia nama pembaca puisi tersebut.
Alviani, Devy dan Yogi merupakan generasi milenial yang menjadi bagian dari puluhan mahasiswa yang tergabung dalam aksi peringatan 20 tahun reformasi.
Baca juga : Sri Bintang Pamungkas: Ganti Rezim Ganti Sistim, Presiden Tidak Ada yang Beres

Alviani, Devy dan Yogi. Foto: BEM STHI Jentera
Baca juga : 20 Tahun Reformasi Ala Rizal Ramli, "Tuntaskan Jangan khianati Lagi".
Berikut isi musikalisasi puisi yang dihadirkan ketiga mahasiswa Jentera tersebut:
                                                              Cahaya Dalam Gelap
                                         (Melawan lupa: Peringatan 20 Tahun Reformasi)
                                                                 Karya: Yogi Prastia
Teriakan dan jeritan kepiluan
Sayup terdengar menembus kabut-kabut hitam
Suara ledakan dan tembakan
Seakan mengiringi sejarah yang kelam....
             Terdengar suara rentakan langkah-langkah kaki
             Menuju ratusan kuburan masal tanpa identitas
             Taburan bunga mawar seakan mengingatkan kembali kepada masa kelam
             Mengingatkan kembali betapa kejam dan biadabnya masa itu.....
             Seolah membawa kegetiran dan Dendam yang berguncang.......
Perempuan-perempuan tanpa kebaya
Telanjang...... kehilangan muka...
Menggigil di kolong langit-langit Senja
Meratapi nasib hidup yang luka
Tersedu tanpa isak kata-kata
              Merah putih yang setengah tiang ini
              Merunduk, dibawah garang
              Matahari tak mampu mengibarkan diri
              Karena angin lama bersembunyi
Dengan mudahnya hak-hak kami dirampas
yang berujung duka dan nestapa
Seribu jiwa yang teramuk angkara
Seribu jiwa yang teramuk durjana
                Apakah kau rela melihat wanita dirudapaksa, lalu mati
                Dengan cucuran darah diaekujur tubuhnya yang terbaring ditepi jalan??
Apakah kau masih bungkam melihat pembantaian,
dengan alasan yang tidak masuk akal?
Aakah kau mau peristiwa pilu itu terulang kembali?
Apakah kau mau peristiwa pahit itu terjadi kembali di tanah pertiwi?
                 20 Tahun masa reformasi......??
                  Reformasi hanya reforlusi......
                  Mimpi yang tak selesai karena tetap saja kita kembali
                  Merasa diri paling suci, benar sendiri
                  Tanpa tahu cara membenahi negeri untuk hari ini dan nanti
Puluhan memang jumlah mahasiswa yang hadir sore itu di pelataran samping pagar Monas yang berhadapan dengan Istana Presiden Jokowi yang megah dengan pembatas kawat berduri.
Jauh dibandingkan dengan jumlah mahasiswa kala menduduki Gedung DPR/MPR pada 1998 yang mencapai hampir 7 ribu mahasiswa dari 50an lebih kampus. Sementara sore pada 20 tahun reformasi hanya sekitar 3-4 kampus.
“Reformasi menurut saya erat kaitannya dengan mahasiswa. Setidaknya itu yang saya dengar dari dosen saya. Jadi sudah saatnya saya ikut aksi,” tutur Alviani sabillah kepada law-justice.co.
Bukan perkara mudah bagi Alvi ikut aksi sore itu. Sebab godaan menenggak minuman dingin seperti sebagian peserta aksi lainnya di kala bulan puasa begitu terasa.
“Sedikit tergoda kalau orang lain pada minum es jeruk,” kata perempuan milenial sambal tertawa.
Alvi menilai sedikitnya mahasiswa yang mengikuti aksi peringatan 20 tahun reformasi kemungkinan dikarenakan luputnya para senior memberi pemahaman kepada adik-adiknya tentang reformasi.
“Bisa jadi kurang kaderisasi dari para senior, sebelum di Jentera itu tidak tahu. Tahunya demo-demo saja. Kurang informasi tentang reformasi. Menurutku pentingnya reformasi di era sekarang kurang dapat,” jelasnya.
Sementara itu, Jaringan Kaum Muda (Jarkam) yang sore itu juga turun aksi dalam peringatan 20 tahun reformasi mengaku gerakan mahasiswa saat ini terpecah belah. Koordinator Humas dan Jarkam, Lukman Abdul Hakim mengatakan perlu ada kepeloporan untuk menyatukan kembali gerakan mahasiswa saat ini.
“Konsolidasi yang matang biasanya akan muncul ketika momentum perjuangan rakyat juga muncul. Tapi tentu tidak bisa hanya menunggu, gerakan mahasiswa harus bersiap menyatukan kekuatan untuk menyambut momen tersebut,” jelas Lukman kepada law-justice.co.
Law-justice.co juga melakukan survei kepada 20 mahasiswa dari berbagai universitas untuk melihat pandangan mahasiswa terhadap reformasi. Universitas itu adalah Institut Bisnis Dan Informatika Kosgoro 1957, Universitas Negeri Makassar, STHI Jentera, Universitas Indonesia, UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Universitas Negeri Jakarta, Universitas Al Azhar Indonesia, Universitas Tanjungpura, dan Universitas Katolik Parahyangan.
Hasilnya 95 persen mahasiswa yang merupakan generasi milenial menyebut reformasi belum berjalan sesuai dengan harapan mereka. Menurut mereka masih banyak yang perlu dibenahi pemerintah dan masyarakat meski reformasi telah berlangsung 20 tahun.

Tiga puluh enam persen milenial menilai pemerintah perlu menggalakkan pemberantasan korupsi. Empat belas persen lainnya menilai kebebasan berpendapat perlu dikuatkan, meski reformasi sudah berjalan 2 dasawarsa.
Sementara perbaikan birokrasi, kesejahteraan buruh dan perbaikan di sektor pertanian mendapat 9 persen. Empat belas persen milenial lainnya memilih lain-lain seperti perlunya perubahan Indonesia, kekompakan partai politik dan toleransi antar umat beragama.

Berdasarkan hasil survei juga diketahui, tiga hal yang paling melekat di benak milenial tentang reformasi yaitu demo mahasiswa (18%), penataan ulang (16%), Soeharto (14%), kemudian disusul kerusuhan, pemerkosaan dan tragedi ’98 dengan (12 persen).

Terkait tokoh yang patut disalahkan dalam sejumlah tragedi yang terjadi menjelang jatuhnya orde baru, sebagian besar milenial kompak menilai Soeharto (35%), Wiranto (21%) dan Prabowo Subianto (19%). Lima persen lainnya milenial menyalahkan aparat dan pemerintah atas jatuhnya korban dalam sejumlah tragedi seperti Semanggi dan Trisakti.
Sisanya menjawab sejumlah tokoh seperti Ali Moertopo, Harmoko dan warga yang mendiskriminasi kelompok lain bertanggung jawab dalam jatuhnya korban jelang reformasi 1998.

Di sisi lain, Amien Rais muncul sebagai tokoh dengan persentase terbesar yang dinilai milenial dalam melahirkan reformasi dengan 22 persen. Disusul Abdurrahman Wahid atau Gus Dur (15%), Megawati Soekarnoputri (13%) dan BJ Habibie (11 persen).
Sementara sejumlah anggota DPR seperti Fadli Zon, Fahri Hamzah dan Adian Napitupulu memperoleh 4 persen. Sejumlah nama lain seperti Sri Sultan Hamengku Buwono X, Ubedillah Badrun, Munir, Rocky Gerung dan Dono Warkop juga muncul dalam survei ini dengan persentase 2 persen.

(Sasmito Madrim\Editor)



Share:







Tags:



[hr]
SEBELUMNYA
Ini Skenario Perlindungan Borobudur Antisipasi Merapi


[hr]
BERITA TERKAIT

Klarifikasi HMI MPO Terkait Kabar Kadernya Meninggal Karena Unjuk Rasa

Sri Bintang Pamungkas: Ganti Rezim Ganti Sistim, Presiden Tidak Ada yang Beres

20 Tahun Reformasi Ala Rizal Ramli, "Tuntaskan Jangan khianati Lagi".
Komentar



NEWS UPDATE


Organisasi Buruh Harus Kuat dan Sehat



POPULAR







Sumber: www:law-justice.co
0
925
4
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan