azizm795Avatar border
TS
azizm795
Anak Tentara yang Tewas di Ujung Peluru Aparat
Ibu Lasmiati memegang plakat gelar Pejuang Reformasi untuk putranya Heri Hartanto (Foto: Januardi Husin)

Law-Justice.co - Pengantar Redaksi:

Baca juga : Rizal Ramli Khawatir Terjadi Gerakan Reformasi Sebelum 2019

Peristiwa Tragedi Trisakti 22 Mei 1998 telah memakan korban empat orang mahasiswa ditembak mati oleh aparat. Keempat mahasiswa tersebut adalah Elang Mulia Lesmana, Hafidin Royan, Heri Hartanto dan Hendriawan Sie.

Hingga hari ini, penyelesaian kasus ini tidak kunjung berujung. Setelah 20 tahun, para orangtua korban masih tetap menunggu keadilan dan mencari jawaban, siapa otak dan pembunuh anak-anak mereka.

Baca juga : Memahami Bela Negara Masih 'Kaku'

Memeringati 20 Tahun Reformasi, law-justice.co menurunkan kisah-kisah seputar tragedi kemanusiaan tersebut. Kali ini, ibunda Heri Hartanto, Lasmiati, membagi cerita dukanya kepada reporter Januardi Husin, Teguh Vicky Andrew dan Hartanto Ardi Saputra, di kediamannya di Cempaka Putih, Jakarta. Berikut kisahnya:

Matahari hampir sampai di ufuk barat. Di kejauhan, tampak sinarnya mulai meredup. Awan mendung sisa hujan hari itu, masing menggelayut di langit. Jalan Letjen S Parman saat itu, sepi kendaraan, tapi dipenuhi oleh ribuan mahasiswa Trisakti yang baru saja selesai berdemonstrasi sedari siang.

Baca juga : Refleksi 20 Tahun, Reformasi Ekonomi Menuntut

Massa pun beringsut kembali ke kampus, karena senja semakin mendekati malam. Namun, ketika mereka mulai bergerak mundur, tidak disangka-sangka, suara letusan tembakan memecah udara.

Sejurus kemudian, aparat keamanan menjadi agresif. Mereka memburu dan memukul-mukulkan tongkat ke arah mahasiswa. Para mahasiswa yang tadinya tenang, sontak menyelamatkan diri dengan cara berebut masuk ke dalam kampus.

Namun persis di depan gerbang alamamater, sepasukan Brigade Mobil (Brimob) yang sudah membentuk formasi dua baris berdiri dan jongkok, mulai menembaki para mahasiswa, serta melemparkan gas air mata sekitar pukul 18.00 ke dalam kampus.

Tembakan juga dilancarkan dari jalan layang Grogol, jembatan penyebrangan, dan sebuah gedung separuh jadi yang ditengarai dilakukan oleh sniper. Hujan tembakan yang mengarah ke dalam kampus yang berkabut gas air mata berlangsung sekitar satu jam. Selama itu, para mahasiswa berkaburan dan mencari tempat perlindungan di dalam gedung-gedung perkuliahan yang juga rusak diterjang peluru.

Ketika hendak masuk ke Gedung Syarief Thayeb, seorang pemuda gempal berhenti sejenak untuk menyeka paparan gas air mata yang mengganggu penglihatannya. Pada saat itulah, persis di depan tiang bendera yang berdiri di depan gedung itu, sebutir peluru menembus bagian punggung dan bersarang di dadanya.

Kok kaki saya lemas, enggak bisa jalan gitu,” katanya kepada teman di sebelahnya yang juga hendak menyelamatkan diri. Ia pun sempat dipapah oleh rekannya itu, sebelum akhirnya meregang nyawa di depan gedung M, Rektorat Universitas Trisakti, kenang Lasmiati, ibu kandung Heri Hartanto, salah satu dari empat korban tewas tragedi Trisakti pada 12 Mei 1998.

Sejak akhir 1997 dan awal 1998, aksi demonstrasi mahasiswa telah terjadi di beberapa kota, termasuk Jakarta. Beberapa kampus yang memiliki rekam jejak aktivisme, seperti Universitas Indonesia (UI) dan Institut Teknologi Bandung (ITB) juga telah ikut ambil bagian dalam peristiwa semacam ini. Namun hal ini tidak berlaku bagi Universitas Trisakti.

Sebagai kampus swasta yang berbiaya mahal, dan diisi kaum kelas menengah, para mahasiswanya dianggap tak acuh terhadap isu kebobrokan Orde Baru. Alih-alih turun ke jalan untuk berdemonstrasi, mereka hanya sibuk dengan aktivitas akademik dan menghabiskan waktu luang seturut kegemarannya masing-masing.

Namun, ketertarikan Heri pada aksi demonstrasi itu muncul ketika kampus-kampus lain kerap menganggap mahasiswa Trisakti tidak berani ikut aksi demonstrasi. Beberapa hari sebelum terjadi tragedi Semanggi, Heri mengisahkan kepada ibunya ihwal kutang, celana, dan bra yang dipasang di pagar-pagar kampus Universitas Trisakti.

“Kan kata mahasiswa lain, mahasiswa Trisakti itu banci-banci,” ujar Lasmiati mengulang kalimat Heri.

Mendengar cerita itu, sang ibu berpesan agar Heri tak mengikut aksi-aksi semacam itu. Ia takut anaknya menjadi korban jika turun ke jalan dan mengikuti aksi demonstrasi.

Kekhawatiran Lasmiati kian menjadi-jadi, ketika sang anak yang telah duduk di semester enam Fakultas Teknik Mesin ini dalam sebuah obrolan di meja makan berkata miring ihwal pemerintahan Orde Baru. “Entar enggak lama lagi tuh Soeharto turun. Orang anaknya pada main judi di Singapura,” kata Heri seperti dikisahkan oleh sang Ibu.

Lasmiati lalu mengingatkan anaknya agar tidak berkata macam-macam. “Jangan ngomong sembarangan soal Soeharto turun, nanti kamu bisa ditangkap. Ini di rumah, coba kamu ngomong di luar, aduh janganlah ngomong begitu,” tutur Lasmiati pada anak sulungnya itu.

Tak Lekang oleh Waktu

Sehari sebelum peristiwa Trisakti, ketika magrib tiba, Heri meminta izin kepada ibunya untuk menginap di tempat kawannya bernama Aji. Ia beralasan, ingin belajar bersama untuk persiapan ujian. Ibu pun mengabulkan permintaan anaknya itu.

Cerita Aji, seperti dituturkan Lasmiati, Heri memang menginap di tempatnya malam itu. Keesokan harinya keduanya pun mengikuti ujian hingga sekitar pukul dua siang. Namun ketika diajak pulang bersama, Heri menampik karena ingin menyaksikan orasi yang digelar di kampusnya itu sejak pagi hari.

Tante, saya waktu itu mau ajak si Jubai (juragan bajaj)—panggilan akrab Heri—pulang. Tapi dia enggak mau pulang, katanya mau ikut orasi sama demo gitu,” seperti dituturkan Aji kepada Lasmiati.

Heri ternyata terus bertahan hingga sore menjelang malam hari ketika kampus Trisakti diberondong peluru oleh aparat dan memakan empat korban tewas, termasuk dirinya.

Setelah peristiwa , sekitar pukul 18.30, beberapa teman Heri menyambangi rumah sang Ibu di Jatibening. Kebetulan, Lasmiati bersama kedua anak perempuannya baru saja pulang berenang dan berniat untuk bermalam di rumah itu. Namun ketika itu, tidak ada yang berani mengungkapkan kabar buruk itu. Lasmiati dan keluarga hanya diminta untuk bergegas ke RS Sumber Waras.

“Tante, ayo ke rumah sakit. Tante enggak usah bawa mobil, saya yang bawa, kata seorang teman Heri. Maka segera setelah obrolan singkat itu , mereka pun meluncur ke rumah sakit yang berdekatan dengan kampus Trisakti itu. Dalam perjalanan, Lasmiati masih mengira anaknya hanya sekadar mengalami kecelakaan mobil.

Sampai di RS Sumber Waras, keluarga Heri kaget karena di sana telah berkumpul banyak orang. “Begitu saya datang, di Sumber Waras itu kan sudah ada lautan manusia, ada PM, polisi, mahasiswa juga banyak, penuh di situ”, kisah Lasmiati. Ia pun segera menuju Unit Gawat Darurat (UGD), namun ternyata sang anak tak berada di sana.

Lasmiati pun digiring ke bagian di belakang. Ternyata di depan ruangan yang tidak terlalu besar itu pun suasananya ramai. Namun tak ada yang berani menceritakan nasib Heri sampai seorang wartawan berkata bahwa, anaknya telah ditembak oleh aparat.
Namun Lasmiati masih belum percaya hingga ia melihat empat jenazah telah dibaringkan, termasuk Heri.



(Foto: Metro TV)

“Di kamar mayat, berempat berjejer. Mana darahnya ngocor gitu ke bawah tempat tidur, kan Heri itu kena di belakang terus tembus ke sini (menunjuk bagian dada),” tutur Lasmiati. Sadar anaknya telah tiada, ia pun lemas dan berteriak histeris. Kedua adiknya pun tampak terkejut, sementara sang ayah hanya terdiam.


Malam itu, jenazah Heri diinapkan hingga keesokan subuhnya. Setelah itu, bersama tiga jenazah lainya, disemayamkan di Gedung Rektorat Universitas Trisakti hingga sekitar pukul enam pagi. Kemudian setelah diberi penghormatan terakhir oleh berbagai pihak, termasuk para tokoh politik, mendiang Heri dibawa ke rumahnya untuk disalatkan hingga akhirnya dimakamkan di Tanah Kusir sekitar pukul 12 siang.

Meskipun telah 20 tahun berlalu, Lasmiati mengaku masih merinding jika teringat masa-masa itu. Kenangan ihwal kematian anaknya yang misterius itu masih begitu melekat dalam ingatannya.

Impian Mendirikan Bengkel Pun Sirna

Heri Hertanto, kelahiran Jakarta 5 Februari 1977, adalah putra sulung dari pasangan Sjahrir Mulyo Utomo dan Lasmiati. Anak muda bertubuh gempal itu tumbuh besar dalam lingkungan keluarga yang hangat. Kasih sayang, kedisiplinan, dan kejujuran melekat dalam kehidupan sehari-hari.

Lasmiati menceritakan bahwa putra sulungnya tersebut memiliki tiga panggilan akrab. Di kalangan keluarga, Heri Hertanto lebih kerap disapa dengan nama, Mamas. Sedangkan kalangan masyarakat sekitar rumah kerap memanggil almarhum dengan nama, Tanto. Sementara panggilan, Heri, digunakan di kalangan lingkungan sekolah.

“Heri itu anak yang penyayang keluarga. Meskipun sedikit bandel, dia orang yang bertanggung jawab,” kata Lasmiati.

Tanggung jawab itu dibuktikan Heri di bidang akademik. Sejak sekolah mulai dari itu SD Cempaka Ria, SMP Negeri 47 Jakarta, dan SMA Negri 30 Jakarta, Heri tak pernah tinggal kelas. Hingga kuliah di Fakultas Teknik Mesin, Universitas Tri Sakti pun ia selalu tanggung jawab atas pendidikannya.

“Sifat tanggung jawab itu mungkin karena didikan dari ayahnya, Sjahrir Mulyo Utomo, yang merupakan pensiunan TNI AD berpangkat letnan dua,” ujarnya.
Sebagai mahasiswa Fakultas Teknik Mesin, Heri dikenal sebagai mahasiswa baik-baik. Ia tak dikenal sebagai seorang aktivis mahasiswa yang kerap berdiskusi hingga larut malam dan turun ke jalan. Heri, kata Lasmiati, merupakan sosok anak yang lebih suka menghabiskan waktu sehari-hari untuk menyalurkan hobi.



Lasmiati dan mobil kesayangan Heri yang biasa dipakai untuk balapan (Foto: Januardi Husin)

“Heri itu tidak paham soal politik. Dia itu hobinya balapan mobil kok,” kata Lasmiati.

Heri hobi balap mobil sejak masih duduk di bangku SMA. Lasmiati menceritakan bahwa ia kerap mengikuti lomba mobil liar di kawasan Kemayoran, Jakarta Pusat yang sering dilakukan pada dini hari.

Meski tak aktif berorganisasi, Heri dikenal mudah bergaul dan memiliki banyak teman. Kepeduliannya terhadap teman-temannya, baik di kampus maupun di kampungnya, mengalahkan egonya dalam kehidupannya.

Itu terbukti ketika ia berencana merintis membuka usaha bengkel otomotif. Usahanya itu dimaksudkan untuk menampung teman-temannya yang menganggur dan temannya yang tak mampu meneruskan kuliah karena faktor biaya perkuliahan.

Untuk memulai usahanya, Heri pernah mengajukan proposal untuk meminta pinjaman dana ke sebuah bank swasta, Rp 200 juta. Tapi suratan takdir telah menggariskan bahwa ia gugur bersama cita-cita yang tengah dirintisnya.
Sebelum meninggal dunia, Heri sering curhat kepada saya kalau ingin menampung teman-temannya yang putus kuliah dengan membuka sebuah bengkel. Tapi sayang cita-cita mulia itu harus sirna karena mati ditembak,” ujar Lasmiati.

Tidak Percaya Pada Pemerintah

Seminggu setelah jenazah Heri dimakamkan, seorang anak buah Prabowo Subianto datang ke rumah. Ia mengabarkan, besok atasannya akan berkunjung untuk menyampaikan bela sungkawa. Saat itu, Prabowo menjabat sebagai Panglima Kostrad.

Kepada ayah Heri, Sjahrir Mulyo Utomo, Prabowo menyatakan bela sungkawanya sebagai sesama prajurit Tentara Nasional Indonesia. Prabowo lantas minta dicarikan al-Quran. Atas nama kitab suci yang diletakkan di atas kepalanya, Ketua Umum Partai Gerindra itu menyatakan bahwa ia tidak tahu-menahu tentang tragedi senja di Trisakti. Prabowo bersumpah bahwa bukan ia yang memerintahkan tentara bersenjata untuk memuntahkan peluru.

Ya kalau bapak sudah menyatakan begitu, saya mah sebagai umat beragama, percaya saja,” ujar Lasmiati menanggapi sumpah Prabowo.

Beberapa hari kemudian, banyak mahasiswa dan dosen berkunjung ke rumah Heri. Mendengar sumpah Prabowo, para tamu itu menanyakan, “Ibu percaya dengan sumpah Pak Prabowo?” Sumiati tidak tahu harus menjawab apa. Saat itu ia tidak tahu banyak tentang sosok Prabowo. Ia juga tidak banyak mengikuti pemberitaan di media massa. Singkatnya, Lasmiati masih polos dan tidak begitu mengetahui isu politik dan hukum di Indonesia.

“Kemudian kan banyak pemberitaan miring (tentang Prabowo). Tapi kalau sudah sumpah dengan al-Quran, mau bagaimana lagi,” kata dia.

Sejak itu, Lasmiati bertekad untuk mengungkap kebenaran atas apa yang telah menimpa putra sulungnya. Ia menjalin hubungan dengan para keluarga dari empat korban lainnya, yakni Elang Mulia Lesmana, Hafidhin Royan, dan Hendriawan Sie.

Lasmiati berubah menjadi pribadi yang tahu tentang hukum dan politik. Bersama dengan keluarga korban lainnya, Ia turut membantu Komnas HAM memperjuangkan terbentuknya pengadilan HAM ad hoc. Walaupun akhirnya mental di Kejaksaan, karena dianggap tidak memenuhi syarat sebagai kasus pelanggaran HAM berat.

Ia juga tahu tentang penolakan fraksi Golkar, ketika Pansus Trisakti-Semanggi I-Semanggi II (TSS) mendesak Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk membuat rekomendasi pengadilan HAM ad hoc kepada presiden, 9 Juli 2001.

“Ya jelas dia menolak. Golkar kan bagian dari Orde Baru,” ucapnya.

Perempuan kelahiran Klaten, 60 tahun lalu itu juga mengetahui tentang pengadilan militer yang berlangsung empat kali sejak Juni 1998 hingga Januari 2003. Hasil akhir dari pengadilan di Mahkamah Militer itu, menjatuhkan hukuman penjara kepada 15 anggota Brimob Polri, dengan kurungan antara dua bulan hingga enam tahun. Semua terhukum itu adalah petugas lapangan yang memang terbukti terlibat.

Bagi Lasmiati, pengadilan militer itu tidak membuktikan apa-apa, kecuali parodi penegakan hukum. Kesimpulan akhir yang menyatakan bahwa tragedi Trisakti hanyalah sebuah kesalahan prosedur begitu menyakitkan dan tidak bisa diterima akal sehat. Kalaupun sebuah kesalahan prosedur, seorang pimpinan tentara yang lebih tinggi semestinya juga turut dihukum.

“Kalau salah prosedur, begitu ada yang mati satu, sudah, berhenti. Ini jedar-jedor terus, sampai yang meninggal empat orang. Peluru sebanyak itu, masih ada bekasnya di kampus. Itu jelas-jelas pelanggaran HAM berat. Anak saya sedang berada di kampus, bukan sedang bentrok dengan aparat,” kata Lasmiati.

Di tengah kekecewaan yang mendalam pada proses penegakan hukum, Lasmiati, keluarga korban, dan pihak kampus Trisakti sedikit diberi angin segar berkat jamuan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di Istana Presiden, Selasa (28/6/2005). Dalam pertemuan itu, selain berjanji akan menyematkan gelar pahlawan bagi para korban, SBY juga mendukung terciptanya hukum yang seadil-adilnya.

Pada akhirnya, yang ditepati hanya pemberian gelar Pahlawan Reformasi. Penegakan hukum yang seadil-adilnya urung terwujud, bahkan sampai masa jabatan presiden setelah SBY akan berakhir.

Diplomasi politik bukan hanya diusahakan pada era SBY. Tahun 2017 lalu, melalui jaringan alumni Trisakti, keluarga korban juga berhasil mengadakan dialog dengan Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Jendral TNI (Purn.) Wiranto. Bagi para keluarga korban, pertemuan dengan Wiranto sangat penting, karena saat kejadian, Wiranto adalah seorang Panglima ABRI.

Lasmiati mengisahkan, saat bertemu Wiranto di kediamannya di daerah Kuningan, Jakarta Selatan, permintaan para keluarga korban lebih realistis. Mereka sadar bahwa pemerintah tidak pernah punya niatan untuk mengungkap tragedi Trisakti dengan menyeret pelaku utama ke pengadilan HAM ad hoc.

Kami minta pemerintah bertanggung jawab dengan cara menjamin hari tua para orang tua korban. Ibu (Alm.) Tety dan Ibu Karsiah memerlukan bantuan dari pemerintah,” pungkas Lasmiati.

Karsiah adalah ibunda Hendriawan Sie. Seorang janda yang tidak memiliki siapa-siapa lagi pasca anaknya meregang nyawa di ujung peluru tentara. Kini ia tinggal di rumah kos-kosan yang dihibahkan oleh pihak Universitas Trisakti.

Sementara alm. Hira Tety Yoga adalah ibunda Elang Mulia Lesmana, yang juga tidak lagi memiliki suami dan harus kehilangan anak laki-lakinya. Teti meninggal pada 25 Februari lalu, usai berjuang melawan kanker yang dideritanya cukup lama.

Di hadapan para keluarga korban, Wiranto berjanji akan menyampaikan hasil pertemuan tersebut kepada Presiden Jokowi karena semua keputusan ada di kepala negara. Untuk itu, tidak cukup hanya diadakan sekali pertemuan. Mereka dijanjikan akan dihubungi kembali jika pertemuan kedua, ketiga, dan keempat hendak diadakan.

Sampai hari ini, sudah setahun, tidak ada itu tindak lanjutnya. Sampai bu Tety meninggal. Sebelum meninggal, dia sering telepon saya menanyakan janji Pak Wiranto,” keluh Lasmiati.

“Biasanya, kalau prajurit sudah berjanji, pasti akan ditepati. Tunggu saja,” tambah Sjahrir, suami Lasmiati, saat ia menceritakan janji Wiranto.

Tapi Lasmiati terlanjur kecewa. Bukan hanya kepada SBY dan Wiranto, tapi juga kepada Megawati Soekarnoputri dan Amien Rais. Dua tokoh Reformasi yang punya nama dan kedudukan saat ini, namun tidak berusaha untuk membantu penegakan hukum bagi korban tragedi Trisakti.

“Sampai sekarang, negara itu berhutang pada kami. Hutang nyawa,” tegas Lasmiati.

Sumber: www.law-justice.co

0
5.7K
53
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan