- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Tarawih Akbar, Euforia 212 dan 'Pukulan' Untuk Anies-Sandi


TS
kelazcorro
Tarawih Akbar, Euforia 212 dan 'Pukulan' Untuk Anies-Sandi
Spoiler for img:

Quote:
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sempat ingin menggelar salat tarawih akbar bersama warga Jakarta di Monumen Nasional (Monas), pada Sabtu 26 Mei 2018. Rencana membuat salat tarawih pertama di Monas itu langsung memantik pro-kontra.
Setelah mendapat banyak penolakan dari sejumlah pihak, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dan Wakil Gubernur DKI Jakarta Sandiaga Uno selaku 'tuan rumah' akhirnya membatalkan acara itu dan memindahkannya ke Masjid Istiqlal.
Sandi, panggilan akrab Sandiaga, yang pertama kali melontarkan bahwa Pemprov DKI bakal mengadakan tarawih akbar di Monas. Ia menyebut Monas dipilih karena merupakan tempat pemersatu umat dan simbol Jakarta.
"Monas ini menjadi tempat pemersatu umat dan menjadi simbol Jakarta, yang mudah-mudahan bisa meningkatkan ketaqwaan kita selama bulan Ramadan," tutur Sandi, Jumat pekan lalu.
Sandi mengklaim sudah berkomunikasi dengan ulama terkait rencana tarawih akbar di Monas itu. Namun, usai dirinya melontarkan rencana itu, kritikan datang dari berbagai pihak di antaranya Majelis Ulama Indonesia (MUI), Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), dan Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah.
Menanggapi hal itu, mantan Wakil Sekjen Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Adnan Anwar mengkritik keras Anies-Sandi yang sempat ingin menggelar tarawih akbar di Monas.
Adnan menilai Anies-Sandi terburu-buru mengeluarkan kebijakan tanpa meminta masukan dari organisasi islam maupun ulama.
"Kalau pemerintah kan harusnya sebelum mengeluarkan satu kebijakan kan harus matang sekali, banyak pertimbangan yang harus dimasukkan gitu loh," kata Adnan kepada CNNIndonesia.com, Jumat (25/5).
Adnan justru menduga rencana Anies-Sandi yang ingin menggelar salat tarawih akbar di Monas, meskipun dibatalkan dan dipindahkan ke Masjid Istiqlal, untuk membangkitkan euforia aksi berjilid kelompok 212.
Menurut Adnan, Anies-Sandi seharusnya sudah tak memiliki rencana yang justru bisa menimbulkan pemisahan antara satu kelompok masyarakat dengan kelompok lainnya.
"Saya kira 212 itu sudah selesai. Nanti malah menimbulkan segregasi kalangan masyarakat kita. Ini sudah stabil kan, jadi enggak perlu lagi diungkap," tuturnya.
Lebih lanjut Adnan menyebut sejak awal Pemprov DKI tak berkonsultasi terlebih dahulu dengan MUI, PBNU, serta PP Muhammadiyah ketika memutuskan menggelar tarawih akbar di Monas.
Meskipun demikian, Adnan mengapresiasi Anies-Sandi yang akhirnya mengurungkan niat menggelar salat tarawih akbar di Monas usai mendapat kritikan dari sejumlah pihak.
"Akhirnya dicabut saya kira langkah terbaik lah. Kalau dipaksakan lebih banyak mudaratnya, berbahaya nanti malah akan menimbulkan dampak yang lain-lain," tuturnya.
Monas Jadi Panggung Aksi
Sebelum rencana Pemprov DKI menggelar tarawih akbar, Monas memang kerap menjadi panggung sejumlah aksi. Hal paling diingat tentu kegiatan salat berjamaah yang dilakukan ketika gelaran Aksi 212, Desember 2016. Kala itu massa aksi melaksanakan salat Jumat, yang masuk rangkaian aksi anti-Ahok.
Setelah itu, segala kegiatan keagamaan serta budaya, pendidikan, sosial sempat dilarang oleh Djarot Saiful Hidayat ketika menjabat Gubernur DKI Jakarta menggantikan Ahok. Djarot mengeluarkan Peraturan Gubernur Nomor 160 Tahun 2017 tentang Pengelolaan Kawasan Monumen Nasional, pada 13 Oktober 2017.
Namun, sebulan kemudian, saat Anies resmi menjadi orang nomor satu di Ibu Kota, merivisi aturan itu. Melalui Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 186 Tahun 2017 tentang Pengelolaan Kawasan Monumen Nasional, Anies membolehkan Monas untuk kegiatan pendidikan, sosial, budaya, dan keagamaan.
Anies mengeluarkan peraturan itu tak terlepas dari janjinya saat kampanye Pilkada DKI Jakarta 2017. Saat kampanye, mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayan itu mengatakan bakal membolehkan Monas menjadi lokasi kegiatan keagamaan.
Setelah Pergub itu diteken Anies, beberapa minggu kemudian Reuni Akbar Alumni 212 membuat kegiatan salat Subuh berjamaah, pada 2 Desember 2017 di kawasan Monas. Kala itu, Anies turut hadir dan memberikan sambutan.
Pemprov DKI juga sempat ingin menggelar ibadah Natal bersama 2017 di kawasan Monas. Namun, saat itu Persekutuan Gereja-gereja Indonesia Wilayah DKI Jakarta tak sepakat jika acara Natal bersama dilaksanakan di Monas. Akhirnya gelaran ibadah itu dipindahkan.
Terakhir, massa Aksi Bela Palestina yang menggunakan kawasan Monas untuk salat Subuh dan Jumat berjamaah, pada 11 Mei lalu. Anies kembali mengikuti aksi tersebut. Anies juga ikut bergabung bersama massa aksi.
Adnan melanjutkan sebaiknya Pemprov DKI ataupun Anies-Sandi sebagai pemimpin Jakarta mulai memikirkan kembali untuk melarang kegiatan keagamaan dihelat di kawasan Monas. Menurut dia, kegiatan keagamaan lebih baik digelar di rumah ibadah.
Khusus Islam, kata Adnan, terdapat banyak masjid yang cukup besar dan bisa menampung ribuan orang, seperti Masjid Istiqlal, Jakarta Pusat dan Masjid Raya KH Hasyim Asy'ari, Jakarta Barat. Kegiatan-kegiatan keagamaan yang dibuat Pemprov DKI atau kelompok lain nantinya bisa digelar di masjid tersebut.
"Lebih baik pemerintah (DKI Jakarta) fokus pada persoalan-persoalan, isu strategis masyarakat yang belum selesai. Lebih baik fokus ke sana daripada energinya diarahkan tadi, seolah-olah memang untuk dalam rangka menyatukan umat," kata dia.
Adnan mengingatkan Anies-Sandi untuk rutin melakukan silataruhmi dengan tokoh-tokoh agama dan masyarakat di Jakarta. Langkah itu perlu diambil Anies-Sandi agar kebijakan seperti ini, misal ingin menggelar tarawih akbar, tak terjadi di kemudian hari.
Adnan turut menepis pernyataan Sandi yang menyebut alasan pihaknya menggelar salat tarawih di Monas untuk persatuan umat. Menurut dia, mempersatukan umat bukan tugas pemerintah daerah, melainkan tugas Majelis Ulama Indonesia, PBNU, PP Muhammadiyah, dan organisasi Islam lainnya.
Lebih lanjut Adnan meminta Anies untuk mencabut Pergub Nomor 186 Tahun 2017 tentang Pengelolaan Kawasan Monumen Nasional. Menurut dia, lebih baik kawasan monumen yang dibangun era Presiden pertama Sukarno itu menjadi tempat yang netral.
"Ya itu kan Monas sebagai monumen ya, dipakai hanya untuk kegiatan, apakah itu pariwisata, simbol-simbol untuk perkotaan, itu sajalah, lebih netral,"kata dia.
Pengamat komunikasi politik Universitas Pelita Harapan Emrus Sihombing menambahkan Anies harus merevisi aturan agar kegiatan keagamaan kembali dilarang dihelat di kawasan Monas.
Lebih jauh dia menilai langkah Anies sejatinya hanya untuk memenuhi janji kampanye sehingga membolehkan kawasan Monas untuk kegiatan keagamaan.
"Tentu ingin dong sebagai seorang pemimpin konsisten. Itu saya pikir motif di balik itu (memberikan izin kegiatan keagamaan di kawasan Monas)," kata Emrus kepada CNNIndonesia.com.
Menurut Emrus, untuk ke depan lebih baik Pemprov DKI tak memberikan izin kegiatan-kegiatan keagamaan dari kelompok manapun digelar di kawasan Monas. Ia menilai keputusan itu untuk menghindari gesekan di antara masyarakat Ibu Kota.
"Segala sesuatu pelaksanaan ibadah keagamaan sejatinya dilakukan di rumah ibadah atau paling tidak di pelataran rumah ibadah. Jadi tidak di ruang ruang publik. Alangkah baiknya di rumah ibadah, di rumah suci," tuturnya.
sumur
merasa belum lunas hutang balas budi....
Dan bisa jadi acara tersebut buntutnya berbau kampanye politik... Ganti anu etc
merasa belum lunas hutang balas budi....
Dan bisa jadi acara tersebut buntutnya berbau kampanye politik... Ganti anu etc

Diubah oleh kelazcorro 25-05-2018 21:54
2
10.1K
Kutip
74
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan