BeritagarIDAvatar border
TS
MOD
BeritagarID
Tutuplah jalan bagi koruptor untuk menjadi caleg

Ilustrasi: Mantan narapidana kasus korupsi tak layak menjadi calon anggota legislatif.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) bersikukuh kepada pendiriannya. Ketentuan tentang larangan mantan narapidana kasus korupsi untuk menjadi calon anggota legislatif dalam Pemilu 2019 tetap akan dimasukkan ke dalam draf peraturan KPU (PKPU) tentang Pencalonan Anggota Legislatif.

Gagasan tentang larangan tersebut pertama kali disampaikan oleh KPU pada akhir Maret lalu.

"Nanti akan kita masukkan juga aturan, yang sebenarnya di UU tidak ada, mantan narapidana kasus korupsi dilarang nyaleg. Di PKPU pencalonan caleg, mau kita masukkan," kata Komisioner KPU Hasyim Asyari akhir Maret lalu.

Saat itu Hasyim menjelaskan, aturan itu dibuat untuk mendapatkan pemimpin yang bersih.

Aturan tersebut, seperti diakui oleh Ketua KPU, dilatarbelakangi oleh penetapan sejumlah calon dalam Pilkada 2018 sebagai tersangka dalam kasus korupsi. Aturan tersebut menjadi langkah pencegahan agar KPU bisa menyajikan calon-calon yang tidak terkait dengan kasus korupsi.

Gagasan itu disambut baik oleh kalangan masyarakat sipil. Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini, misal, memandang peraturan itu sangat mendukung perwujudan Pemilu yang berintegritas. Selain Perludem, Indonesian Corruption Watch (ICW) dan Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) juga memberi apresiasi atas rencana aturan tersebut.

Beberapa partai politik baru, seperti Partai Solidaritas Indonesia dan Partai Berkarya, menyatakan dukungannya atas rencana aturan tersebut.

“Ini tafsir progresif KPU terhadap Undang-undang Pemilu," kata Sekretaris Jenderal Partai Solidaritas Indonesia Raja Juli Antoni.

"KPU membantu pemerintah, membantu KPK untuk memberantas korupsi. Kalau seperti itu, kami sangat setuju sekali," kata Sekretaris Jenderal Partai Berkarya Baddarudin Andi Picunang.

Tapi tidak semua pihak setuju dengan rencana aturan tersebut. Banyak politisi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyatakan ketidaksetujuannya atas rencana peraturan tersebut. Pemerintah –lewat Menteri Dalam Negeri- juga memberikan pernyataan senada. Begitu pula Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu).

"Menurut saya perlu dikaji karena kan proses menjadi UU melalui proses panjang. Selain itu karena hak untuk dipilih dan memilih adalah hak yang dijamin konstitusi. Jangan kemudian karena ada ide baru atau hal yang kemudian menjadi perhatian publik (jadi melanggar hak konstitusional)," kata Fadzli Zon, Wakil Ketua DPR, seperti dikutip Kompas.

“Melarang orang untuk mencalonkan itu kan termasuk pembatasan HAM. Itu harus dengan UU atau paling tidak dengan putusan pengadilan. Tidak bisa dengan putusan penyelenggara Pemilu saja," kata Anggota Komisi III DPR RI Arsul Sani pada kesempatan berbeda.

Dasar hukum adalah hal yang dipersoalkan oleh para pihak yang menolak rencana aturan larangan mantan narapida kasus korupsi mencalonkan menjadi anggota legislatif; termasuk oleh Menteri Dalam Negeri dan Bawaslu.

Terkait dengan narapidana, Undang-undang No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu hanya memberi syarat kepada para caleg: “tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana.”

KPU tidak melihat usulan larangan mantan narapidana untuk menjadi caleg bertabrakan dengan ketentuan undang-undang. Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan menyebut usulan tersebut sebagai perluasan tafsir undang-undang.

"KPU memperluas tafsir dari undang-undang, yakni dengan menambahkan norma baru berupa ketentuan larangan mantan narapidana korupsi menjadi caleg," kata Wahyu awal April lalu.

Dalam rapat pleno KPU yang berlangsung Selasa (22/5/2018) lalu, larangan mantan narapidana perkara korupsi menjadi calon anggota legislatif pada Pemilu 2019 tetap dimasukkan ke dalam draf PKPU tentang Pencalonan Anggota Legislatif. Meski DPR, pemerintah dan Bawaslu menolaknya.

Hampir bisa dipastikan, publik mendukung keputusan KPU untuk memasukkan ketentuan tersebut ke dalam PKPU. Publik terlanjur tahu bahwa korupsi adalah kejahatan yang bisa kambuh, dilakukan oleh orang yang sama, oleh koruptor kambuhan. Publik juga terlanjur selalu ingat bahwa anggota legislatif adalah salah satu pihak yang banyak terlibat korupsi.

Berkas korupsi Beritagar.id menunjukkan, berdasarkan putusan inkrah hingga 2015, terdapat 287 pelaku korupsi dari 88 kasus korupsi yang melibatkan anggota legislatif. Total kerugian negara mencapai Rp276,8 miliar. Itu bukanlah jumlah keseluruhan, karena dokumen putusan belum seluruhnya tersedia di situs MA.

Fakta-fakta semacam itu akan menggenapi dukungan publik atas keberanian KPU melakukan perluasan tafsir atas undang-undang. Bagaimanapun, korupsi bukanlah kejahatan biasa yang bisa dicegah dengan cara biasa. Keraguan hukum, jelaslah, bukan pilihan dalam upaya memerangi korupsi.

Kalaupun kelak akan ada gugatan hukum atas aturan tersebut, bolehlah kita berharap majelis hakim yang menanganinya bisa melihat betapa sudah genting kejahatan korupsi yang menggerogoti negara kita.



Sumber : https://beritagar.id/artikel/editori...-menjadi-caleg

---

Baca juga dari kategori EDITORIAL :

- Perjelas peruntukan daftar penceramah Kemenag

- Menghindari kekerasan terhadap jemaah Ahmadiyah

- Jangan buru-buru menyebut reformasi gagal

anasabilaAvatar border
anasabila memberi reputasi
1
549
2
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan