bossbplnAvatar border
TS
bossbpln
Ita Martadinata Korban rudapaksaan Mei 98 Yang Dibunuh Sebelum Kesaksian
JAKARTA, Indonesia — Pada 13 Mei 1998 sore, Ita F Nadia baru tiba di markas Kalyanamitra, Jalan Kaca Jendela, Pancoran, Jakarta Selatan.

Sesaat setelah tiba, tepatnya pukul 19:00 malam, telepon kantor tempat ia bekerja berdering. Saat diangkat, sebuah suara yang tak asing lagi menyapanya.

“Mbak Ita, ini ada laporan pemerkosaan,” kata seorang pria di ujung telepon. Pria itu adalah Sandyawan Sumardi, atau yang akrab disapa Romo Sandy.

Sandy meminta Ita meluncur ke tempat kejadian perkara di Glodok, Jakarta Barat, namun Ita tidak bisa berangkat. Sebagai gantinya. dia menugaskan seorang anggota tim relawan Kalyanamitra, sebuah pusat komunikasi dan informasi bagi perempuan, untuk berangkat menemui Sandy di lokasi.

Saat staf Kalyanamitra itu masih di perjalanan menuju tempat kejadian perkara, Ita kembali mendapat panggilan telepon. Kali ini dari orang yang berbeda. Tetapi beritanya sama: terjadi pemerkosaan. Kali ini, lokasinya di daerah Jembatan Dua dan Jembatan Tiga di Jakarta Utara, dan Jembatan Lima, Jakarta Barat.

Ita memutuskan untuk menuju ke lokasi itu. Dalam perjalanan, Ita melihat Jakarta sudah porak-poranda, pembakaran dan penjarahan oleh kelompok "preman tak dikenal" terjadi bukan hanya di kantor pemerintah, tapi juga pertokoan dan pusat perbelanjaan.

Pada malam itu, ia menyadari, puncak kerusuhan di ibu kota sudah dimulai.

“Kami waktu itu sudah mulai panik,” ujar Ita kepada Rappler, Rabu, 18 Mei 2016, belasan tahun setelah kejadian tersebut. Kepanikan itu ia rasakan selama tiga hari, yakni 12-14 Mei.

Pola pemerkosaan yang terjadi saat itu hampir sama. Korban tidak hanya dirudapaksa, tetapi juga diserang dengan benda-benda keras, baik tajam maupun tumpul.

Relawan Kalyanamitra juga mendapat laporan pemerkosaan di Mal Cengkareng. Tim Kalyanamitra menerima informasi bahwa perempuan di sana tidak hanya dirudapaksa tetapi juga diserang secara seksual.

“Ibu-ibu Tionghoa diserang. Jadi ini bukan soal gadis, tapi persoalannya perempuan Tionghoa,” kata Ita.

Lexy Rambadeta, jurnalis yang saat itu mengambil gambar untuk kantor berita Associated Press TV, juga mendengar kabar segerombolan pria mendatangi sebuah apartemen di Pantai Indah Kapuk (PIK).

"Mereka masuk dari lantai bawah, menyingkirkan pihak keamanan, dan warga Tionghoa pun panik," ujar Lexy.

Petugas keamanan sempat memberitahu warga etnis Tionghoa yang tinggal di tempat itu. "Maaf, kami enggak bisa membantu, kami kalah jumlah," katanya menirukan perkataan seorang satpam.

Massa yang beringas kemudian menyisir apartemen itu lantai demi lantai, merudapaksa dan menganiaya setiap perempuan etnis Tionghoa yang mereka temui.

Ia juga melihat massa mencegat orang-orang Tionghoa di jalanan. Jika ada perempuan di antara mereka, langsung diboyong. "Sampai bajunya robek-robek. Ada rekamannya di stasiun ABC Australia," katanya.

Beberapa bulan kemudian, tepatnya pada Oktober 1998, tim relawan kembali tertimpa bencana dengan terbunuhnya satu-satunya saksi untuk PBB yang juga korban pemerkosaan Mei 1998, Ita Martadinata.

Ita saat itu diminta menjadi saksi oleh PBB. Wiwin Haryono, ibunda Ita Martadinata, mengizinkan anak perempuannya yang masih berusia 18 tahun itu untuk pergi ke Amerika Serikat untuk memberikan kesaksian. Media massa saat itu pun tak luput untuk memberitakan kabar ini.

Sepekan sebelum berangkat, Ita Martadinata yang masih duduk di kelas 2 Sekolah Menengah Atas (SMA) menjalani aktivitas seperti biasa. Usai jam sekolah, ia pulang ke rumah.

Saat Ita Martadinata pulang, gadis belia itu langsung naik ke lantai dua menuju kamarnya.

Ternyata di kamar itu sudah menunggu seorang laki-laki yang kemudian menyerangnya dengan benda tajam. Ita Martadinata tewas seketika. Tubuhnya ditemukan tertelungkup.

Jenazahnya pun langsung dibawa ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Setelah divisum, dokter rumah sakit, Mun’im Idris, alih-alih mengungkap temuan tentang luka yang diderita Ita, tapi malah mengeluarkan pernyataan bahwa saksi untuk PBB itu menderita kelainan seksual.

Hasil otopsi ini membuat tim relawan geram. Tim pun menggugat hasil otopsi ke pengadilan.

Setelah kematian Ita Martadinata, tak ada lagi saksi dan korban yang dapat memberikan keterangan di PBB. Laporan di PBB juga tak dapat dilanjutkan, karena negara menolak mengakui.

Meski demikian tim relawan tak patah arang. Mereka terus berjuang untuk korban hingga 2007.

Tapi suara-suara keadilan untuk korban mulai senyap. Korban pun akhirnya memilih bungkam dan menemukan penyelesaian versi mereka sendiri-sendiri.



https://www.rappler.com/indonesia/13...osaan-mei-1998

Menolak lupa emoticon-Smilie

0
47.9K
210
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan