- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Makanan Buka Puasa untuk...


TS
999999999
Makanan Buka Puasa untuk...
Pergi adalah datang dengan cara yang berbeda...
Quote:
I can't stand to fly
I'm not that naive
I'm just out to find
The better part of me
"Jen, kita cari bukaan di mana?" tanya Sarah.
I'm more than a bird
I'm more than a plane
I'm more than some pretty face beside a train
And it's not easy to be me
"Jen!"ulang Sarah kali ini sambil nepuk bahu Jen dan seketika membuyarkan lamunan Jen pada lagu Five for Fighting yang dinyanyikan mas pengamen. Puasa hari pertama tahun lalu.
Sementara suara klakson di belakang mobil mereka makin terdengar setelah kereta lewat, palang pintu terbuka dan satu persatu kendaraanpun bergerak maju.
"Sorry, Sar...," sahut Jen sambil menekan pedal persneling kuat-kuat dan mengoper gigi dari netral ke gigi satu.
"Lu lagi kenapa dah?" Sarah penasaran. "Kalau lagi gak fokus biar gue yang nyetir sini."
"Gapapa kok. Belum penyesuaian aja kali body ini. Kan baru hari pertama puasa," Jen berusaha menutupi dari Sarah ingatan dia pada mas mas pengamen yaaaang, 'Argh! Kenapa sih jadi keinget dia lagi?' batin Jen gak tau juga kenapa bisa mendadak keinget sama cowok yang tahun lalu ia jumpai di pintu kereta ini.
"Mau buka puasa di mana, Sar?" tanya Jen.
"Ngelamun mulu sih. Tadi gue tanya mau cari bukaan di mana?"
I'm not that naive
I'm just out to find
The better part of me
"Jen, kita cari bukaan di mana?" tanya Sarah.
I'm more than a bird
I'm more than a plane
I'm more than some pretty face beside a train
And it's not easy to be me
"Jen!"ulang Sarah kali ini sambil nepuk bahu Jen dan seketika membuyarkan lamunan Jen pada lagu Five for Fighting yang dinyanyikan mas pengamen. Puasa hari pertama tahun lalu.
Sementara suara klakson di belakang mobil mereka makin terdengar setelah kereta lewat, palang pintu terbuka dan satu persatu kendaraanpun bergerak maju.
"Sorry, Sar...," sahut Jen sambil menekan pedal persneling kuat-kuat dan mengoper gigi dari netral ke gigi satu.
"Lu lagi kenapa dah?" Sarah penasaran. "Kalau lagi gak fokus biar gue yang nyetir sini."
"Gapapa kok. Belum penyesuaian aja kali body ini. Kan baru hari pertama puasa," Jen berusaha menutupi dari Sarah ingatan dia pada mas mas pengamen yaaaang, 'Argh! Kenapa sih jadi keinget dia lagi?' batin Jen gak tau juga kenapa bisa mendadak keinget sama cowok yang tahun lalu ia jumpai di pintu kereta ini.
"Mau buka puasa di mana, Sar?" tanya Jen.
"Ngelamun mulu sih. Tadi gue tanya mau cari bukaan di mana?"
Quote:
Hari pertama puasa tahun lalu bisa dikatakan adalah hari paling berat yang dialamin oleh Jen. Hari itu dia benar-benar mengalami kejadian tidak menyenangkan secara beruntun. Diawali oleh client potensial yang sudah confirm untuk menginap di hotel tempat ia bekerja membatalkan bookingan, di mana sang client tidak mau dikenakan cancel fee; berdebat dengan Pak Tejo -Marketing Managernya- karena masalah ini; ditelpon Bik Wati-si mbak di rumah- yang mengabarkan kalau Si Grey -kucing ras madura peliharaan dia- kupingnya berdarah karena berantem dengan kucing tetangga; dan terberat adalah saat Roxie -pacar dia, seorang barista di coffee shop langganan dan sedang tugas di Jogja- skype-an dan mengaku telah menghamili one night stand-nya di sana!
Hari itu, Jen ngerasa menahan lapar dan haus karena puasa tidak ada artinya dibanding harus menahan emosi, marah, kesal, dan perasaan gak enak lainnya. Pacar bajingannya yang tugas keluar kota kenapa pakai acara one night stand di sana dan si cewek harus hamil! Kenapa gak pake kondom, bodoh! Eh, pake kondom pun tetap tidak akan mengurangi kekecewaan dia pada pria yang semula ia harapkan bisa jadi imamnya dia kelak.
Hari itu, Jen ngerasa menahan lapar dan haus karena puasa tidak ada artinya dibanding harus menahan emosi, marah, kesal, dan perasaan gak enak lainnya. Pacar bajingannya yang tugas keluar kota kenapa pakai acara one night stand di sana dan si cewek harus hamil! Kenapa gak pake kondom, bodoh! Eh, pake kondom pun tetap tidak akan mengurangi kekecewaan dia pada pria yang semula ia harapkan bisa jadi imamnya dia kelak.
Quote:
Jen dan Sarah keluar dari mobil setelah berhasil mendapatkan tempat parkir meski di ujung. Waktu belum menunjukkan jam 5 lewat. Tapi parkiran sudah penuh. Entah apa yang harus dilakukan selama kurang lebih satu jam di dalam pikir Jen dan Sarah. Asal dapat tempat sambil menunggu bedug maghrib.
Setelah mendapatkan tempat duduk untuk dua orang, seorang waitress cewek muda datang membawakan menu.
"Harus langsung pesen apa boleh entar, Mbak? Menjelang Maghrib?" tanya Sarah.
Waitress menjawab, "Untuk makan berat bisa nanti sih, Kak. Tapi meja tetap gak boleh kosong. Minimal minuman atau makanan ringan."
"Oh gitu?" sahut Sarah. "Yaudah, kita lihat dulu ya menunya. Nanti saya panggil kalau kita udah putusin mau pesen apa."
Waitress melempar senyum dan pergi. Meninggalkan Sarah yang melihat-lihat menu daaaaan, Jen yang mulai melamun lagi...
Setelah mendapatkan tempat duduk untuk dua orang, seorang waitress cewek muda datang membawakan menu.
"Harus langsung pesen apa boleh entar, Mbak? Menjelang Maghrib?" tanya Sarah.
Waitress menjawab, "Untuk makan berat bisa nanti sih, Kak. Tapi meja tetap gak boleh kosong. Minimal minuman atau makanan ringan."
"Oh gitu?" sahut Sarah. "Yaudah, kita lihat dulu ya menunya. Nanti saya panggil kalau kita udah putusin mau pesen apa."
Waitress melempar senyum dan pergi. Meninggalkan Sarah yang melihat-lihat menu daaaaan, Jen yang mulai melamun lagi...
Quote:
Perlintasan kereta memang ujian berat Jen setiap pulang kerja. Stuck di situ bisa 30 menit bahkan lebih. Kombinasi lampu merah dan perlintasan kereja benar-benar duet menyebalkan untuk melengkapi penat setelah seharian bekerja sebagi marketing hotel. Apalagi sore itu, di mana kejadian tidak menyenangkan datang silih berganti.
"Permisi, Mbaaaak, maaf numpang ngamen," ujar seorang pengamen sopan. Sejenak setelah Jen menurunkan kaca mobil sekedar mencari udara segar karena AC mobil terasa gak mempan untuk mengusir kepenatan.
Seorang cowok usianya sekitar 25-an tahun. Berkacamata. Dengan gitar akustik. Memakai kupluk warna abu-abu dan sesekali mengangguk dan melempar senyum ramah ke arah dirinya setiap Jen menoleh ke arahnya yang sibuk bersenandung.
Lampu menyala hijau di depan serasa tidak berguna karena berganti dengan kereta yang lewat. Jen pasrah sambil menarik kuat rem tangan dengan tangan kirinya. Dalam perasaan tidak menentu dia baru sadar kalau pengamen ini menyanyikan lagu It's Not Easy-nya Five for Fighting.
Wish that I could cry
Fall upon my knees
Find a way to lie
About a home I'll never see
It may sound absurd, but don't be naive
Even heroes have the right to bleed
I may be disturbed, but won't you concede
Even heroes have the right to dream
And it's not easy to be me
Jen tercenung. Selain suara si mas pengamen ini emang enak dan begitu menghayati, kata-kata di liriknya pun menyadarkan dia bahwa Superman saja menjalani hidupnya tidak lah mudah. Dengan kemampuan supernya gak menjamin segala sesuatunya bisa menjadi mudah. Tetap bisa sedih, menangis dan juga...
Sayup-sayup terdengar suara Adzan Maghrib dari pengeras suara sebuah masjid yang tidak jauh dari situ. Jen baru sadar kalau dia lupa beli minum atau sekedar snack atau permen untuk membatalkan puasanya.
Mas Pengamen berhenti memaikan gitar dan bertanya pada Jen. "Maaf, Mbak puasa?" tanyanya sopan.
"Oh, iya. Saya puasa," sambil celingukan mencari tukang minum asongan yang biasanya seliweran.
Mas Pengamen mengambil dua plastik kurma dari tas selempangnya. Satu ia sodorkan kepada Jen. "Silakan, Mbak, dibatalin dulu puasanya." Dan sambungnya demi melihat Jen yang ragu-ragu untuk menerimanya, "Gapapa, Mbak, gak ada santet atau peletnya kok," sembari tersenyum.
"Makasih ya, Mas..." ujar Jen dan membuka kurma serta memakannya satu.
Lalu, "Suaranya enak," Jen polos.
"Makasih. Mba bisa aja," si masnya tersipu.
Anehnya adalah, Jen ngerasa kenal atau pernah ketemu cowok ini. Tapi dia sendiri ragu takut salah orang.
Adegan ini pun harus disudahi karena kali ini di depan lampu menyala hijau tanpa ada kereta yang lewat sehingga kendaraan bisa bergerak maju. Bahkan Jen sampai lupa memberi uang ke mas pengamen ini. Malu juga sih. Baru kali ini ketemu pengamen yang sopan, suaranya enak, bukan malah dia ngasih duit malah dapet kurma gratis untuk membatalkan puasanya. 'Semoga rejeki Si Mas dilipat gandakan Ya Allah. Aammin Ya Rabb...' doa Jen dalam hati.
Setelah pertemuan itu, Jen gak pernah ketemu lagi si mas pengamen ini setiap lewat lampu merah itu. Gak ada lagi nyanyian yang akhirnya setahun ini jadi theme song dia untuk move on dari Roxie. Mantan pacar brengseknya yang tega tidur dengan cewek lain sampai hamil. Anyway, nama si mas pengamen aja Jen gak sempet tau!
"Permisi, Mbaaaak, maaf numpang ngamen," ujar seorang pengamen sopan. Sejenak setelah Jen menurunkan kaca mobil sekedar mencari udara segar karena AC mobil terasa gak mempan untuk mengusir kepenatan.
Seorang cowok usianya sekitar 25-an tahun. Berkacamata. Dengan gitar akustik. Memakai kupluk warna abu-abu dan sesekali mengangguk dan melempar senyum ramah ke arah dirinya setiap Jen menoleh ke arahnya yang sibuk bersenandung.
Lampu menyala hijau di depan serasa tidak berguna karena berganti dengan kereta yang lewat. Jen pasrah sambil menarik kuat rem tangan dengan tangan kirinya. Dalam perasaan tidak menentu dia baru sadar kalau pengamen ini menyanyikan lagu It's Not Easy-nya Five for Fighting.
Wish that I could cry
Fall upon my knees
Find a way to lie
About a home I'll never see
It may sound absurd, but don't be naive
Even heroes have the right to bleed
I may be disturbed, but won't you concede
Even heroes have the right to dream
And it's not easy to be me
Jen tercenung. Selain suara si mas pengamen ini emang enak dan begitu menghayati, kata-kata di liriknya pun menyadarkan dia bahwa Superman saja menjalani hidupnya tidak lah mudah. Dengan kemampuan supernya gak menjamin segala sesuatunya bisa menjadi mudah. Tetap bisa sedih, menangis dan juga...
Sayup-sayup terdengar suara Adzan Maghrib dari pengeras suara sebuah masjid yang tidak jauh dari situ. Jen baru sadar kalau dia lupa beli minum atau sekedar snack atau permen untuk membatalkan puasanya.
Mas Pengamen berhenti memaikan gitar dan bertanya pada Jen. "Maaf, Mbak puasa?" tanyanya sopan.
"Oh, iya. Saya puasa," sambil celingukan mencari tukang minum asongan yang biasanya seliweran.
Mas Pengamen mengambil dua plastik kurma dari tas selempangnya. Satu ia sodorkan kepada Jen. "Silakan, Mbak, dibatalin dulu puasanya." Dan sambungnya demi melihat Jen yang ragu-ragu untuk menerimanya, "Gapapa, Mbak, gak ada santet atau peletnya kok," sembari tersenyum.
"Makasih ya, Mas..." ujar Jen dan membuka kurma serta memakannya satu.
Lalu, "Suaranya enak," Jen polos.
"Makasih. Mba bisa aja," si masnya tersipu.
Anehnya adalah, Jen ngerasa kenal atau pernah ketemu cowok ini. Tapi dia sendiri ragu takut salah orang.
Adegan ini pun harus disudahi karena kali ini di depan lampu menyala hijau tanpa ada kereta yang lewat sehingga kendaraan bisa bergerak maju. Bahkan Jen sampai lupa memberi uang ke mas pengamen ini. Malu juga sih. Baru kali ini ketemu pengamen yang sopan, suaranya enak, bukan malah dia ngasih duit malah dapet kurma gratis untuk membatalkan puasanya. 'Semoga rejeki Si Mas dilipat gandakan Ya Allah. Aammin Ya Rabb...' doa Jen dalam hati.
Setelah pertemuan itu, Jen gak pernah ketemu lagi si mas pengamen ini setiap lewat lampu merah itu. Gak ada lagi nyanyian yang akhirnya setahun ini jadi theme song dia untuk move on dari Roxie. Mantan pacar brengseknya yang tega tidur dengan cewek lain sampai hamil. Anyway, nama si mas pengamen aja Jen gak sempet tau!
Quote:
"Gue minta bill ya, Jen?" ujar Sarah. "Gak enak, meja kita diantriin tuh."
Jen yang tidak menghabiskan makannya terkesiap dari ingatannya pada mas pengamen. "Bentar, Sar, gue mau take away."
Jen bangkit dan berjalan menghampiri waitress yang sedang sibuk membereskan meja lain untuk memesan makan untuk take away.
"Buat...?" tanya Sarah saat Jen kembali. "Orang rumah? Nyokap gak masak?"
"Buaaaat, siapa ya. Gue juga gak tau, Sar, siapa namanya."
"Loh kok?" Sarah gak paham.
"Panjang, Sar, ceritanya. Intinya, tahun lalu dia udah kasih gue kurma untuk buka puasa. Dia juga yang menginspirasi gue untuk move on dari Roxie, Sar."
Jen memang tidak pernah menceritakan perihal pertemuannya dengan si mas pengamen kepada siapapun. Termasuk ke Sarah yang notabene temen deketnya.
Jen yang tidak menghabiskan makannya terkesiap dari ingatannya pada mas pengamen. "Bentar, Sar, gue mau take away."
Jen bangkit dan berjalan menghampiri waitress yang sedang sibuk membereskan meja lain untuk memesan makan untuk take away.
"Buat...?" tanya Sarah saat Jen kembali. "Orang rumah? Nyokap gak masak?"
"Buaaaat, siapa ya. Gue juga gak tau, Sar, siapa namanya."
"Loh kok?" Sarah gak paham.
"Panjang, Sar, ceritanya. Intinya, tahun lalu dia udah kasih gue kurma untuk buka puasa. Dia juga yang menginspirasi gue untuk move on dari Roxie, Sar."
Jen memang tidak pernah menceritakan perihal pertemuannya dengan si mas pengamen kepada siapapun. Termasuk ke Sarah yang notabene temen deketnya.
Quote:
Jen keluar dari mobil dan bergegas menuju ke arah lampu merah diikuti Sarah yang kebingungan dengan kelakuan temennya ini. Jen menenteng makanan yang tadi ia pesan di restoran tempat ia dan Sarah berbuka puasa.
"Gapapa tuh, Jen, parkir di seberang?" tanya Sarah.
"Gapapa, Sar. Bentar doang ini," sambil melihat ke ujung kemacetan di mana beberapa pengamen, pengasong koran dan pengasong rokok menawarkan dagangannya.
"Elu nyari siapa sih sebenernya?" Sarah makin penasaran.
Jen tidak menjawab. Dia justru menghampiri seorang pengasong koran yang sedang duduk di trotoar sembari melepas lelah.
"Dek, maaf. Kamu liat seorang pengamen seumuran saya yang suka pake kupluk dan kacamata, gak?" tanya Jen.
"Eee, yang Kakak maksud Mas Arga bukan?" si pengasong ini memverifikasi.
"Aduh maaf, saya gak tau namanya. Eh, emang namanya Arga?" Jen teringat teman kecilnya yang juga bernama Arga. Teringat cinta monyetnya kala kelas 5 SD. Di mana Arga harus pergi ke Kalimantan karena ayahnya pindah tugas ke sana.
'Kenapa kamu gak di sini saja sih, Ga? Tinggal sama nenek mu?' Jen gak rela Arga pergi.
'Aku pengennya juga gitu, Jen. Tapi ayahku maunya aku ikut. Ayah justru kuatir aku ikut ibu dan ayah tiriku.'
'Kenapa sih ayah sama ibumu harus bercerai?' protes polos Jen kala itu.
'Sudahlah, Jen, kamu jangan bersedih. Suatu saat aku pasti datang dan kembali padamu. Semoga saat itu tiba kamu belum punya anak,' Arga bercanda. Entah kenapa saat itu bocah seusia mereka sudah terlintas hal-hal seperti itu.
"Kak?!"
"Jen!"
Sarah dan pengasong koran ini membuyarkan lamunan Jen.
"Oh iya, sorry." Ke Sarah, "Pantes gue kayak kenal sama dia, Sar. Dia temen SD gue yang harus pindah ke Kalimantan ikut bokapnya." Lalu ke tukang koran, "Kamu liat dia gak? Oh ya, maaf, nama kamu siapa?"
"Anto, kak."
"Iya, Anto, kamu lihat Arga gak? Sekarang dia di mana? Hari ini dia ngamen apa gak?" kejar Jen.
"Aku kuatir yang kakak temuin tahun lalu itu arwahnya Mas Arga..." Anto nampak takut.
Sarah dan terutama Jen langsung shock. "Arwahnya?!"Jen dan Sarah berbarengan.
"Maksud kamu Arga..." Jen ragu, "Arga itu sudah meninggal?"
Anto menarik nafas berat.
"Tiga tahun lalu pas bulan puasa juga, ada kejadian di pintu kereta." Anto mulau bercerita. "Ada nenek-nenek pemulung gerobaknya mogok di tengah rel. Padahal saat itu ada kereta mau lewat. Mas Arga yang kebetulan melihatnya buru-buru menolong. Orang-orang udah pada panik teriak-teriak ke si nenek.
Mas Arga berhasil mendorong gerobak melewati kedua rel. Si nenek juga sudah berhasil menyeberang. Tapi Mas Arga balik lagi karena plastik isi kurma si nenek jatuh dari gerobak. Pas kereta lewat..." Anto tidak melanjutkan ceritanya. Kengerian terlihat jelas dari raut wajahnya.
Jen dan Sarah ngeri membayangkan kejadian yang menimpa Arga. Jen merinding mengingat pertemuannya dengan Arga tahun lalu di situ. Bergegas dia memberikan makanan yang ia bawa untuk Anto dan setengah berlari balik menuju mobilnya.
"Gapapa tuh, Jen, parkir di seberang?" tanya Sarah.
"Gapapa, Sar. Bentar doang ini," sambil melihat ke ujung kemacetan di mana beberapa pengamen, pengasong koran dan pengasong rokok menawarkan dagangannya.
"Elu nyari siapa sih sebenernya?" Sarah makin penasaran.
Jen tidak menjawab. Dia justru menghampiri seorang pengasong koran yang sedang duduk di trotoar sembari melepas lelah.
"Dek, maaf. Kamu liat seorang pengamen seumuran saya yang suka pake kupluk dan kacamata, gak?" tanya Jen.
"Eee, yang Kakak maksud Mas Arga bukan?" si pengasong ini memverifikasi.
"Aduh maaf, saya gak tau namanya. Eh, emang namanya Arga?" Jen teringat teman kecilnya yang juga bernama Arga. Teringat cinta monyetnya kala kelas 5 SD. Di mana Arga harus pergi ke Kalimantan karena ayahnya pindah tugas ke sana.
'Kenapa kamu gak di sini saja sih, Ga? Tinggal sama nenek mu?' Jen gak rela Arga pergi.
'Aku pengennya juga gitu, Jen. Tapi ayahku maunya aku ikut. Ayah justru kuatir aku ikut ibu dan ayah tiriku.'
'Kenapa sih ayah sama ibumu harus bercerai?' protes polos Jen kala itu.
'Sudahlah, Jen, kamu jangan bersedih. Suatu saat aku pasti datang dan kembali padamu. Semoga saat itu tiba kamu belum punya anak,' Arga bercanda. Entah kenapa saat itu bocah seusia mereka sudah terlintas hal-hal seperti itu.
"Kak?!"
"Jen!"
Sarah dan pengasong koran ini membuyarkan lamunan Jen.
"Oh iya, sorry." Ke Sarah, "Pantes gue kayak kenal sama dia, Sar. Dia temen SD gue yang harus pindah ke Kalimantan ikut bokapnya." Lalu ke tukang koran, "Kamu liat dia gak? Oh ya, maaf, nama kamu siapa?"
"Anto, kak."
"Iya, Anto, kamu lihat Arga gak? Sekarang dia di mana? Hari ini dia ngamen apa gak?" kejar Jen.
"Aku kuatir yang kakak temuin tahun lalu itu arwahnya Mas Arga..." Anto nampak takut.
Sarah dan terutama Jen langsung shock. "Arwahnya?!"Jen dan Sarah berbarengan.
"Maksud kamu Arga..." Jen ragu, "Arga itu sudah meninggal?"
Anto menarik nafas berat.
"Tiga tahun lalu pas bulan puasa juga, ada kejadian di pintu kereta." Anto mulau bercerita. "Ada nenek-nenek pemulung gerobaknya mogok di tengah rel. Padahal saat itu ada kereta mau lewat. Mas Arga yang kebetulan melihatnya buru-buru menolong. Orang-orang udah pada panik teriak-teriak ke si nenek.
Mas Arga berhasil mendorong gerobak melewati kedua rel. Si nenek juga sudah berhasil menyeberang. Tapi Mas Arga balik lagi karena plastik isi kurma si nenek jatuh dari gerobak. Pas kereta lewat..." Anto tidak melanjutkan ceritanya. Kengerian terlihat jelas dari raut wajahnya.
Jen dan Sarah ngeri membayangkan kejadian yang menimpa Arga. Jen merinding mengingat pertemuannya dengan Arga tahun lalu di situ. Bergegas dia memberikan makanan yang ia bawa untuk Anto dan setengah berlari balik menuju mobilnya.
Quote:
"Sar, lu tadi beli kurma?" tanya Jen bersiap memutar kunci kontak.
"Kurma? Enggak ah," jawab Sarah.
"Itu kurma siapa?"tunjuk Jen ke kotak kurma di atas dashboard.
"Kurma? Enggak ah," jawab Sarah.
"Itu kurma siapa?"tunjuk Jen ke kotak kurma di atas dashboard.
-the end-

Diubah oleh 999999999 18-05-2018 17:21




tien212700 dan anasabila memberi reputasi
2
797
Kutip
4
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan